COSMIC TURN
Pameran Tunggal Dona Prawita Arissuta
Waktu : 21 Desember 2018 – 18 Januari 2019
Tempat : Miracle Prints, Suryodingratan MJ. II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
Penulis: : Faizal Kamandobat & Dessy Rachma Waryanti
Pembukaan : Jumat, 21 Desember 2018, pukul 16.00 (4 sore)
Dibuka oleh : DR. Edi Sunaryo
Contact person : Ria Novitri/WA: 0815 3981 6190
Galeri buka : Senin – Sabtu, pukul 10.00 – 17.00 (Minggu & hari besar tutup)
Website : www.terasprintstudiocom, Email : [email protected]
Fb : Miracle Art’s IG : Miracle_Art
Pengantar Galeri
Dona Prawita Arissuta pastilah seniman yang berkomitmen kuat. Betapa tidak, sebagai ibu dari dua anak kembarnya, dan disela kesibukannya mengajar di UNS Solo, ia tetap produktif membuat karya-karya baru. Setidaknya tercermin dalam pameran tunggalnya kali ini di ruang pamer Miracle Prints.
Ternyata ini merupakan pameran tunggalnya yang pertama. Sudah lama ia merencanakan membuat pameran tunggal karya-karyanya di beberapa ruang seni yang telah dipilihnya, namun ada saja penghalang sehingga rencananya tersebut kerap kandas. Namun kali ini, berhadapan dengan ruang pamer yang hanya seukuran total 3,5 x 7 m, Dona seakan tak kuasa menunda lagi keinginannya berpameran. Ia menata ulang standar sebuah pameran tunggalnya sebelum ini yang mensyaratkan harus begini harus begitu dan mengharuskan menghadirkan sekian banyak karya karena ruang pameran Miracle Prints tentu saja tidak mampu menampungnya. Tapi justru kondisi demikian memudahkan jalannya karena ia dapat leluasa memangkas semua hal yang jadi kendalanya selama ini dalam merencanakan pameran tunggal.
Ruang kecil pameran di Miracle Prints sejatinya memang disediakan bagi seniman untuk memudahkan segala hal. Seniman dapat mempresentasikan proyek-proyek kecilnya, proyek uji coba, hal remeh-temeh sampai yang dianggap bukan apa-apa. Tetapi juga ruang ini tidak menampik menampilkan proyek serius sampai hal-hal yang dianggap berat. Ruang ini fleksibel saja sepanjang seniman tersebut memiliki komitmen kuat dan tidak cepat puas.
Dona termasuk seniman yang tidak cepat puas. Ia mengotak-atik media utamanya, seni keramik, sehingga memiliki tampilan seni rupa keramik yang personal, khas miliknya. Ia melukisi keramiknya, melukisi latar belakang dan pinggirannya, menempel dan meleburkan batas-batas rupa dua dimensional dan tiga dimensional.
Pameran ini bertajuk “Cosmic Turn”. Penyair dan peminat seni rupa Faizal Kamandobat menuliskan sebagai berikut:, “Dengan kemasan penuh warna-warna riang, bentuk-bentuk naif dan judul-judul yang hangat, pameran Donna tak ubahnya sebuah festival yang mendamaikan ketegangan dari persinggungan berbagai kosmologi yang berbeda—baik tatanan, cara kerja dan orientasinya”. Bolehlah kita berharap, aura yang mendamaikan dari karya-karya Dona dapat sampai juga kepada kita para penonton.
Kami merasa bangga menjadi ruang pembuka bagi pameran tunggal pertama seniman ini. Semoga dalam waktu yang tidak lama lagi kita mendengar ada pameran tunggal-pameran tunggal berikutnya darinya.
Selamat menikmati pameran dan selamat menyambut Natal dan Tahun Baru 2019!
Miracle Prints
………………………..
Cosmic Turn:
Sahabat Imajiner Pereda Ketegangan
Oleh Faisal Kamandobat
I
Seniman Donna Arisutta menampilkan karya-karya dengan medium lukisan, terakota dan porselin yang dibingkai dengan tema Cosmic Turn. Judul tersebut di sisi lain merefleksikan hadirnya kosmologi yang telah hilang lewat karya-karyanya, dan di sisi lain kosmologi itu sebenarnya ada namun tidak lengkap atau telah jauh dari realitas sosial sehingga perlu diundang agar menjadi manifes kembali. Dalam pengertian pertama, Donna menampilkan karya-karyanya layaknya sesaji untuk mengundang sebuah wawasan yang telah lenyap, sedang dalam pengertian kedua ia sedang menyatakan kembali—secara lebih gamblang dan baru--sebuah wawasan yang telah semakin abstrak atau hampir punah.
Jika melihat kosa kata visual dan judul karya-karyanya, Donna tengah merasa berada dalam sejarah, peradaban atau kosmologi yang tidak ia inginkan namun harus dialami. Ia merasa terasing dan tidak nyaman di tengah realitas di mana ia berada, dengan segala sesuatu ditata dalam format yang kurang sesuai dengan struktur mental dan nalarnya. Karena itu ia merasa perlu menghadirkan tradisi dan kosmologi yang selaras dengan cara mengingat sebagaimana sosok Ganesha, dan bersama dengan itu muncul sosok Semar sebagai pusat mandala dari tata kosmologi Jawa—latar belakang kultural Donna.
Dengan mengingat itulah, bagi Donna, ia akan mampu bertahan menjalani hidup dalam realitas yang ditata tidak sebagaimana latar kulturalnya. Dalam ingatan Ganesha itulah, bagi Donna, warisan lama itu dipelihara—dengan sosok Semar sebagai bentuk “superkonduktor” yang merangkum bentang kosmologi tersebut. Setelah mengingat, Donna lantas mengejawentahkan ingatan tersebut dengan menampilkan Ganesha dan Semar di antara figur-figur dari peradaban yang berbeda. Dengan cara itu sebuah kosmologi yang perlahan hilang atau menguap, sebuah tradisi yang kian terasing, dapat hadir kembali dalam realitas kontemporer.
Hal yang menarik dari pameran Cosmic Turn Donna adalah adanya ambiguitas atau bahkan friksi antara Ganesha dan Semar di satu sisi dan di sisi lain figur-figur dari peradaban lain serta konteks kehadirannya dalam ruang seni rupa kontemprer. Hal tersebut di satu sisi menunjukkan adanya dialog antar entitas dari peradaban dengan kosmologi yang berbeda, namun di sisi lain bisa berarti alienasi dan bahkan “pertengkaran” antara—dalam kategori lebih umum dan sederhana—tradisi dan modernitas. Apapun yang sesungguhnya terjadi atau dialami oleh Donna, hal tersebut merefleksikan bahwa ia hidup dalam tarik-menarik antar kosmologi, peradaban dan tradisi yang berbeda, tidak hanya secara sosial namun juga secara mental dan intelektual.
Sebagai orang Jawa Donna hidup dalam tradisi dan kosmologi tradisionalnya, sebagai seniman modern ia hidup dengan materialitas, konseptualisasi dan mekanisme yang berbeda dari tradisinya. Bahkan lebih jauh lagi, modernitas dunia seni rupa Donna hanya bagian kecil dari tatanan modernitas yang lebih besar, dengan makna dan orientasi yang sama sekali berbeda dari tradisinya. Dalam konteks ini, sosok Donna adalah metafor dari banyak orang Indonesia lainnya yang hidup dalam dua atau tiga kosmologi yang berbeda. Di satu sisi ia adalah orang Jawa, dan di sisi lain ia hidup dalam tata nilai, benda-benda dan cita rasa modernitas yang bukan dari dan belum tentu selaras dengan latar kulturalnya. Namun begitu, dua budaya, kosmologi dan tradisi tersebut sama-sama tak bisa ditolak, sehingga alih-alih bertarung dalam benak lebih baik dilebur dalam karya-karyanya.
Dengan keterampilannya, Donna membuat figur-figur dua kosmologi tersebut dari keramik—buah inovasi klasik manusia yang bertahan hingga kini. Tokoh wayang dan gunungan bersanding dengan patung-patung fauna berlatar lukisan floral, juga manusia-manusia dalam gaya naif sebagai hasil deformasi realisme modern dengan pipa sebagai ungkapan empati pada nasib para petani tembakau. Dan bersamaan dengan karya-karya yang “bermakna”, juga muncul karya-karya yang “berfungsi” dalam rupa cangkir dan lodong alias toples. Dengan kemasan penuh warna-warna riang, bentuk-bentuk naif dan judul-judul yang hangat, pameran Donna tak ubahnya sebuah festival yang mendamaikan ketegangan dari persinggungan berbagai kosmologi yang berbeda—baik tatanan, cara kerja dan orientasinya.
II
Barangkali tidak ada fase dan jenis peradaban dengan volume benda-benda sebanyak peradaban saat ini. Populasi manusia yang terus meningkat membentuk daftar permintaan konsumsi yang tinggi, sehingga memaksa inovasi demi percepatan produksi dan distribusi menuju kantong-kantong hunian manusia. Bersamaan dengan itu, ekonomi pertumbuhan telah membentuk stratifikasi sosial dengan kebutuhan spesifik masing-masing, sehingga inovasi tidak semata pada aspek produk dan produksi, tetapi juga terkait pembentukan tata nilai demi rasionalisasi harga komoditas yang digulirkan kepada konsumen.
Dengan cara itulah, aneka ragam benda yang memenuhi perdaban ini hadir dalam persepsi kita sebagai sebuah struktur yang tertata dalam berbagai jenis, level dan segmen, terorganisir dengan baik sebagai sebuah sistem pengetahuan, sehingga peradaban ini menjadi masuk akal bagi sekitar tujuh miliar penganutnya. Seandainya benda-benda tersebut hadir sebagai kumpulan barang yang tidak tertata dan teratur, niscaya kapitalisme sebagai mesin penggerak peradaban ini sudah ditinggalkan dan diganti model-model yang lain, dan barang-barang produksinya tak ubahnya rongsokan yang memehuni bumi layaknya penampungan sampah raksasa.
Kecanggihan kapitalisme, dengan demikian, bukan hanya sebagai konsep ekonomi namun juga konsep kultural. Itulah yang membuat ia bisa menjadi tahapan lebih lanjut dari migrasi manusia setelah menghuni peradaban-peradaban lain dan dari fase sebelumnya karena keduanya memiliki karakteristik sebagai sebuah tatanan yang teratur sebagaimana tampak pada peradaban berbasis etnis dan agama atau gabungan dari keduanya. Bedanya adalah, dalam peradaban kapitalisme volume produksi barang lebih cepat dan massif dibanding produksi maknanya, sehingga manusia sendiri kemudian menjadi objek dan bukan subjek di dalamnya.
Sedang peradaban non-kapitalis, jumlah produksi barangnya tidak terlalu massif mengingat basis produksinya yang masih sederhana, biasanya berupa pertanian dan manufaktur kecil dengan teknologi secukupnya. Namun begitu, produksi kulturalnya bisa tumbuh luar biasa, sehingga sejenis makanan atau kain tenun sederhana bisa mengandung pengetahuan satu buku tersendiri. Dengan kata lain, peradaban tradisional defisit secara material sehingga membentuk ikatan solid dalam keterbatasan barangnya, sedang peradaban kapitalsme mengalami defisit secara kultural sehingga tidak sedikit orang yang memiliki kelimpahan harta benda namun tidak mengetahui dengan baik manfaat dan fungsinya.
Namun, apa yang membuat manusia dapat hidup dalam dua model peradaban tersebut adalah persamaan bahwa keduanya merupakan sebuah tatanan pengetahuan yang teratur sehingga dapat dipahami, dihuni,dan kemudian dikembangkan. Horison realitas dalam berbagai peradaban sebagai sistem pengetahuan yang teratur itulah, dengan karakteristik dan persoalannya masing-masing, membuat setiap peradaban disebut sebagai sebuah kosmologi, kendati basis ontologis dan kosmogoniknya berbeda-beda atau bahkan bertentangan.
Peradaban kapitalisme yang berjubel benda-benda berakar jauh pada era Pencerahan yang sekuler, di mana keberadaan manusia dan realitas merupakan sebuah lanskap yang terbentang tanpa campur tangan Ilahi. Sebaliknya, peradaban-peradaban tradisonal membentang realitas sebagai pancaran dari wawasan Ilahi yang bersifat suci. Dalam peradaban kapitalisme, sejarah bergerak tanpa kekuatan metafisis—katakanlah sebuah “narasi besar”—yang mengendalikan gerak dan orientasinya, sedang dalam peradaban-peradaban tradisional sejarah bergerak sebagai manifestasi dari kehendak Yang Maha Suci, sesuai siklus ekonomi alami—pertanian dan lautan.
III
Di bagian belakang rumah Donna berbagai kreasi keramik berjajar dan bertumpuk memenuhi meja, rak dan dinding. Beberapa dari mereka berupa manusia, beberapa yang lain binatang, dan sebagian lagi berupa wadah-wadah. Seluruh entitas itu adalah sebuah dunia yang sengaja diciptakan, hampir sebagai keharusan, agar Donna memiliki tradisi dalam kosmologi peradaban modern. Hanya dengan mencipta para sahabat itulah, baik dari kosmologi Jawa atau modernitasnya, ia akan mampu menjalani sejarah dan takdirnya secara lebih bermakna, selaras dan nyata. Semacam kontemplasi praktikal yang dilakukan bukan untuk mendapatkan ndaru atau pulung, tapi sebagai peleburan berbagai tatanan dalam dirinya, agar batinnya tenang.
Praktik semacam itu, selain sebagai jalan keluar dari ketegangan kultural atau kosmologis, juga merupakan manifestasi lebih lanjut dari kodrat Donna sebagai seorang perempuan yang dikaruniai keceradasan lebih mengelola benda-benda dari ukuran paling mikro seperti aneka bumbu hingga yang besar berupa rumah—wadah manusia, jelamaan artsitektural dari kosmos agung itu. Ia mengatur letak segala sesuatu, menempatkan mereka di sana, merawat dan menjaganya, sehingga semua benda berada dalam tatanan (kosmos) yang telah ditetapkan. Di tengah semua itu, Donna sendiri layaknya seorang ratu, pusat dunia dari kosmologi benda-benda ciptaanya.
Praktik semacam itu mungkin akan berbeda jika dilakukan oleh seorang laki-laki yang kerap kurang cermat dan sabar mengelola mulai bumbu dapur, suara ketel, gorden rumah sampai tagihan listrik sehingga, karena tak kuasa menjadi penguasa di rumah, banyak dari para lelaki pergi keluar dan tampil layaknya pemguasa atau sejenis “orang penting” di hadapan dunia. Dengan kata lain, kodrat Donna sebagai seorang perempuan yang dikaruniai kecerdasan dalam mengelola alam benda memungkinkan dia mampu mendamaikan perbedaan atau bahkan pertikaian kosmologis di ruang publik di dalam ruang laboratorium domistiknya dengan cara ditransformasikan dan diejawentahkan ke dalam benda-benda sebagai rupa tokoh-tokoh rekaannya.
Dalam salah satu karyanya, Hard Worker, si koboi dan mas raden merokok bersama, pula dalam Best Friend di mana boneka kelinci dan lelaki berkumis jalan berpelukan sambil menikmati pipa dari berbagai jenis dan cita rasa tembakau (Blended by Taste). Tak jauh dari sana, sosok berkuping panjang serupa kelinci itu menaiki para binatang pada berbagai talenan dalam Pilgrim, dan hadirlah tokoh wayang dan prajurit tardisional di antara bunga dan pohonan dalam Cosmic Turn, hingga dalam The Lovely of Few Thing Kakek Semar si pusat kosmologi dan Ganesha si perawat pengetahuan tampil di antara gunungan, flora dan fauna. Pada Sea Eyes Priceses, para ratu memandang dengan mata membelalak, muncul perlahan-lahan dari ceruk sebuah kapal, bersiap memasuki dunia baru—manakala kita membuka sejarah untuk mereka—kreasi menakjubkan dari Donna Arisutta.
Selamat berpameran!
Penulis adalah penyair, peminat seni rupa dan peneliti di Abdurrahman Wahid Centre Universitas Indonesia, Jakarta
………………….
Cosmic Turn:
Percakapan dengan Semesta.
Oleh:
Dessy Rachma Waryanti.
Tanah liat adalah tanah yang bercampur dengan air pada prosentase 70:30. Ia mengering melalui suhu ruangan, jika terpaksa berada di bawah sinar matahari ia perlu diawasi agar tak terlalu kering lalu retak di sisi tertentu dengan tidak bersamaan. Selama seminggu calon keramik didiamkan, masuklah ia ke dalam tungku untuk pembakaran tahap 1 hingga suhu 800°c, tanah liat yang plastis kemudian mengeras. Di hiasilah dengan bahan pewarna yang bernama glasir. Setelah kering suhu udara, ia masuk lagi ke tungku dan dibakar kembali hingga suhu 1200°c selama 6 hingga 8 jam. Mudah bukan?.
Secara teori saya dapat menjabarkan dalam satu paragraf besar berisi 5 kalimat. Namun prosesnya lebih dari 30 episode sinetron. Delapan jam bukanlah waktu yang singkat untuk menunggu proses kelahiran masterpiece ke dunia. Seniman keramik tak jarang bertanya apakah karya yang dikerjakan selama dua minggu, dikeringkan selama seminggu akan baik-baik saja di dalam tungku. Belum lagi jika ada suara “duk” dari dalam.
Kecemasan terbayar lunas saat tungku di buka dan tidak ada karya yang gagal. Semua baik, hati berlimpah syukur. Proses berkeramik adalah proses berkesenian yang kosmik dan estetis. Bermain dengan empat elemen abiotik yakni tanah, api, air, dan udara; seniman keramik bermusyawarah dengan kepekaan karsa yang dimiliki untuk dapat mewujudkan ekspresi melalui keramik.
Manusia dan alam, sebenarnya sudah menjadi isu yang terus menerus diulang. Keramik menawarkan keindahan lain yang bersifat kosmik dalam sebuah ‘kecemasan menunggu’ akan lahirnya masterpiece, seperti menanti anak yang telah dikandung selama Sembilan bulan.
Karya-karya yang dihasilkan Donna baik dalam pameran ini maupun pameran-pamerannya yang lalu telah memberi penawaran nilai estetis keramik dalam bentuk pembakaran paling modern dan maksimal. Warna-warna yang muncul tak jauh beda seperti pada lukisan. Keramik kemudian bisa memiliki warna merah, biru, kuning, dan lain-lain, bukan lagi warna alam. Teknik pewarnaan yang modern ini kemudian menghadirkan bukti bahwa proses kosmik selalu senada dengan adanya dimensi waktu. Daun tak selalu hijau, kan?
Rangkuman-rangkuman proses ini bersinergi secara dialektik, terus melakukan percakapan dengan unsur dan elemen yang berkembang. Kesadaran kosmik atas cara seniman bekerja dengan alam dan waktu dalam wacana modernitas tidak dapat dipahami hanya melalui kata-kata tentang deskripsi karya. Pameran ini memberi sinyal bahwa hal kosmik dari yang paling kosmik adalah cara seniman keramik bekerja dengan material lingkungan (tanah, air, api, udara) dalam dimensi waktu.
[fin].