teras
  • MIRACLE PRINTS
    • News >
      • PLEASURE-PASSION >
        • Ariswan Adhitama
        • M. Muhlis Lugis
        • Reno Megy Setiawan
        • Syahrizal Pahlevi
      • Archives >
        • Mini Residency >
          • Online Application
      • Home >
        • MEMBER of Miracle Prints >
          • Support
        • Gallery >
          • Merchandise
        • TERAS Management
        • TERAS PRINT DEALER
        • About
        • Links
        • Contact
  • Studio
    • Facilities
    • Editioning
    • Classes
    • History and Technique Printmaking
    • Articles on Printmaking from Art in Print
  • Printmaker Syahrizal Pahlevi
  • JIMB
  • Blog

miracle blog

cosmic turn

12/12/2018

0 Comments

 
Picture
Press release
COSMIC TURN
Pameran Tunggal Dona Prawita Arissuta
Waktu                   : 21 Desember 2018 – 18 Januari 2019
Tempat                                : Miracle Prints, Suryodingratan MJ. II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
Penulis:                                : Faizal Kamandobat & Dessy Rachma Waryanti
Pembukaan        : Jumat, 21 Desember 2018, pukul 16.00 (4 sore)
Dibuka oleh        : DR. Edi Sunaryo
Contact person : Ria Novitri/WA: 0815 3981 6190
Galeri buka         : Senin – Sabtu, pukul 10.00 – 17.00 (Minggu & hari besar tutup)
Website               : www.terasprintstudiocom,           Email                 : miracle8artshop@gmail.com
Fb                           : Miracle Art’s                                     IG                          : Miracle_Art
 
Pengantar Galeri
Dona Prawita Arissuta pastilah seniman yang berkomitmen kuat. Betapa tidak, sebagai ibu dari dua anak kembarnya, dan disela kesibukannya mengajar di UNS Solo, ia tetap produktif membuat karya-karya baru. Setidaknya tercermin dalam pameran tunggalnya kali ini di ruang pamer Miracle Prints.
Ternyata ini merupakan pameran tunggalnya yang pertama. Sudah lama ia merencanakan membuat pameran tunggal karya-karyanya di beberapa ruang seni yang telah dipilihnya, namun ada saja penghalang sehingga rencananya tersebut kerap kandas. Namun kali ini, berhadapan dengan ruang pamer yang hanya seukuran total 3,5 x 7 m, Dona seakan tak kuasa menunda lagi keinginannya berpameran. Ia menata ulang standar sebuah pameran tunggalnya sebelum ini yang mensyaratkan harus begini harus begitu dan mengharuskan menghadirkan sekian banyak karya karena ruang pameran Miracle Prints tentu saja tidak mampu menampungnya. Tapi justru kondisi demikian memudahkan jalannya karena ia dapat leluasa memangkas semua hal yang jadi kendalanya selama ini dalam merencanakan pameran tunggal.
Ruang kecil pameran di Miracle Prints sejatinya memang disediakan bagi seniman untuk memudahkan segala hal. Seniman dapat mempresentasikan proyek-proyek kecilnya, proyek uji coba, hal remeh-temeh sampai yang dianggap bukan apa-apa.  Tetapi juga ruang ini tidak menampik menampilkan proyek serius sampai hal-hal yang dianggap berat. Ruang ini fleksibel saja sepanjang seniman tersebut memiliki komitmen kuat dan tidak cepat puas.
Dona termasuk seniman yang tidak cepat puas. Ia mengotak-atik media utamanya, seni keramik, sehingga memiliki tampilan seni rupa keramik yang personal, khas miliknya. Ia melukisi keramiknya, melukisi latar belakang dan pinggirannya, menempel dan meleburkan batas-batas rupa dua dimensional dan tiga dimensional.
Pameran ini bertajuk “Cosmic Turn”. Penyair dan peminat seni rupa Faizal Kamandobat menuliskan sebagai berikut:, “Dengan kemasan penuh warna-warna riang, bentuk-bentuk naif dan judul-judul yang hangat, pameran Donna tak ubahnya sebuah festival yang mendamaikan ketegangan dari persinggungan berbagai kosmologi yang berbeda—baik tatanan, cara kerja dan orientasinya”. Bolehlah kita berharap, aura yang mendamaikan dari karya-karya Dona  dapat sampai juga kepada kita para penonton.
Kami merasa bangga menjadi ruang pembuka bagi pameran tunggal pertama seniman ini. Semoga dalam waktu yang tidak lama lagi kita mendengar ada pameran tunggal-pameran tunggal berikutnya darinya.
 
Selamat menikmati pameran dan selamat menyambut Natal dan Tahun Baru 2019!
Miracle Prints
………………………..
 
Cosmic Turn:
Sahabat Imajiner Pereda Ketegangan



Oleh Faisal Kamandobat
 
I
Seniman Donna Arisutta menampilkan karya-karya dengan medium lukisan, terakota dan porselin yang dibingkai dengan tema Cosmic Turn. Judul tersebut di sisi lain merefleksikan hadirnya kosmologi yang telah hilang lewat karya-karyanya, dan di sisi lain kosmologi itu sebenarnya ada namun tidak lengkap atau telah jauh dari realitas sosial sehingga perlu diundang agar menjadi manifes kembali. Dalam pengertian pertama, Donna menampilkan karya-karyanya layaknya sesaji untuk mengundang sebuah wawasan yang telah lenyap, sedang dalam pengertian kedua ia sedang menyatakan kembali—secara lebih gamblang dan baru--sebuah wawasan yang telah semakin abstrak atau hampir punah.
 
Jika melihat kosa kata visual dan judul karya-karyanya, Donna tengah merasa berada dalam sejarah, peradaban atau kosmologi yang tidak ia inginkan namun harus dialami. Ia merasa terasing dan tidak nyaman di tengah realitas di mana ia berada, dengan segala sesuatu ditata dalam format yang kurang sesuai dengan struktur mental dan nalarnya. Karena itu ia merasa perlu menghadirkan tradisi dan kosmologi yang selaras dengan cara mengingat sebagaimana sosok Ganesha, dan bersama dengan itu muncul sosok Semar sebagai pusat mandala dari tata kosmologi Jawa—latar belakang kultural Donna.
   
Dengan mengingat itulah, bagi Donna, ia akan mampu bertahan menjalani hidup dalam realitas yang ditata tidak sebagaimana latar kulturalnya. Dalam ingatan Ganesha itulah, bagi Donna, warisan lama itu dipelihara—dengan sosok Semar sebagai bentuk “superkonduktor” yang merangkum bentang kosmologi tersebut. Setelah mengingat, Donna lantas mengejawentahkan ingatan tersebut dengan menampilkan Ganesha dan Semar di antara figur-figur dari peradaban yang berbeda. Dengan cara itu sebuah kosmologi yang perlahan hilang atau menguap, sebuah tradisi yang kian terasing, dapat hadir kembali dalam realitas kontemporer.
 
Hal yang menarik dari pameran Cosmic Turn Donna adalah adanya ambiguitas atau bahkan friksi antara Ganesha dan Semar di satu sisi dan di sisi lain figur-figur dari peradaban lain serta konteks kehadirannya dalam ruang seni rupa kontemprer. Hal tersebut di satu sisi menunjukkan adanya dialog antar entitas dari peradaban dengan kosmologi yang berbeda, namun di sisi lain bisa berarti alienasi dan bahkan “pertengkaran” antara—dalam kategori lebih umum dan sederhana—tradisi dan modernitas. Apapun yang sesungguhnya terjadi atau dialami oleh Donna, hal tersebut merefleksikan bahwa ia hidup dalam tarik-menarik antar kosmologi, peradaban dan tradisi yang berbeda, tidak hanya secara sosial namun juga secara mental dan intelektual.
 
Sebagai orang Jawa Donna hidup dalam tradisi dan kosmologi tradisionalnya, sebagai seniman modern ia hidup dengan materialitas, konseptualisasi dan mekanisme yang berbeda dari tradisinya. Bahkan lebih jauh lagi, modernitas dunia seni rupa Donna hanya bagian kecil dari tatanan modernitas yang lebih besar, dengan makna dan orientasi yang sama sekali berbeda dari tradisinya. Dalam konteks ini, sosok Donna adalah metafor dari banyak orang Indonesia lainnya yang hidup dalam dua atau tiga kosmologi yang berbeda. Di satu sisi ia adalah orang Jawa, dan di sisi lain ia hidup dalam tata nilai, benda-benda dan cita rasa modernitas yang bukan dari dan belum tentu selaras dengan latar kulturalnya. Namun begitu, dua budaya, kosmologi dan tradisi tersebut sama-sama tak bisa ditolak, sehingga alih-alih bertarung dalam benak lebih baik dilebur dalam karya-karyanya.
 
Dengan keterampilannya, Donna membuat figur-figur dua kosmologi tersebut dari keramik—buah inovasi klasik manusia yang bertahan hingga kini. Tokoh wayang dan gunungan bersanding dengan patung-patung fauna berlatar lukisan floral, juga manusia-manusia dalam gaya naif sebagai hasil deformasi realisme modern dengan pipa sebagai ungkapan empati pada nasib para petani tembakau. Dan bersamaan dengan karya-karya yang “bermakna”, juga muncul karya-karya yang “berfungsi” dalam rupa cangkir dan lodong alias toples. Dengan kemasan penuh warna-warna riang, bentuk-bentuk naif dan judul-judul yang hangat, pameran Donna tak ubahnya sebuah festival yang mendamaikan ketegangan dari persinggungan berbagai kosmologi yang berbeda—baik tatanan, cara kerja dan orientasinya.     
 
II
Barangkali tidak ada fase dan jenis peradaban dengan volume benda-benda sebanyak peradaban saat ini. Populasi manusia yang terus meningkat membentuk daftar permintaan konsumsi yang tinggi, sehingga memaksa inovasi demi percepatan produksi dan distribusi menuju kantong-kantong hunian manusia. Bersamaan dengan itu, ekonomi pertumbuhan telah membentuk stratifikasi sosial dengan kebutuhan spesifik masing-masing, sehingga inovasi tidak semata pada aspek produk dan produksi, tetapi juga terkait pembentukan tata nilai demi rasionalisasi harga komoditas yang digulirkan kepada konsumen.

Dengan cara itulah, aneka ragam benda yang memenuhi perdaban ini hadir dalam persepsi kita sebagai sebuah struktur yang tertata dalam berbagai jenis, level dan segmen, terorganisir dengan baik sebagai sebuah sistem pengetahuan, sehingga peradaban ini menjadi masuk akal bagi sekitar tujuh miliar penganutnya. Seandainya benda-benda tersebut hadir sebagai kumpulan barang yang tidak tertata dan teratur, niscaya kapitalisme sebagai mesin penggerak peradaban ini sudah ditinggalkan dan diganti model-model yang lain, dan barang-barang produksinya tak ubahnya rongsokan yang memehuni bumi layaknya penampungan sampah raksasa.
 
Kecanggihan kapitalisme, dengan demikian, bukan hanya sebagai konsep ekonomi namun juga konsep kultural. Itulah yang membuat ia bisa menjadi tahapan lebih lanjut dari migrasi manusia setelah menghuni peradaban-peradaban lain dan dari fase sebelumnya karena keduanya memiliki karakteristik sebagai sebuah tatanan yang teratur sebagaimana tampak pada peradaban berbasis etnis dan agama atau gabungan dari keduanya. Bedanya adalah, dalam peradaban kapitalisme volume produksi barang lebih cepat dan massif dibanding produksi maknanya, sehingga manusia sendiri kemudian menjadi objek dan bukan subjek di dalamnya.
 
Sedang peradaban non-kapitalis, jumlah produksi barangnya tidak terlalu massif mengingat basis produksinya yang masih sederhana, biasanya berupa pertanian dan manufaktur kecil dengan teknologi secukupnya. Namun begitu, produksi kulturalnya bisa tumbuh luar biasa, sehingga sejenis makanan atau kain tenun sederhana bisa mengandung pengetahuan satu buku tersendiri. Dengan kata lain, peradaban tradisional defisit secara material sehingga membentuk ikatan solid dalam keterbatasan barangnya, sedang peradaban kapitalsme mengalami defisit secara kultural sehingga tidak sedikit orang yang memiliki kelimpahan harta benda namun tidak mengetahui dengan baik manfaat dan fungsinya.
 
Namun, apa yang membuat manusia dapat hidup dalam dua model peradaban tersebut adalah persamaan bahwa keduanya merupakan sebuah tatanan pengetahuan yang teratur sehingga dapat dipahami, dihuni,dan kemudian dikembangkan. Horison realitas dalam berbagai peradaban sebagai sistem pengetahuan yang teratur itulah, dengan karakteristik dan persoalannya masing-masing, membuat setiap peradaban disebut sebagai sebuah kosmologi, kendati basis ontologis dan kosmogoniknya berbeda-beda atau bahkan bertentangan.
 
Peradaban kapitalisme yang berjubel benda-benda berakar jauh pada era Pencerahan yang sekuler, di mana keberadaan manusia dan realitas merupakan sebuah lanskap yang terbentang tanpa campur tangan Ilahi. Sebaliknya, peradaban-peradaban tradisonal membentang realitas sebagai pancaran dari wawasan Ilahi yang bersifat suci. Dalam peradaban kapitalisme, sejarah bergerak tanpa kekuatan metafisis—katakanlah sebuah “narasi besar”—yang mengendalikan gerak dan orientasinya, sedang dalam peradaban-peradaban tradisional sejarah bergerak sebagai manifestasi dari kehendak Yang Maha Suci, sesuai siklus ekonomi alami—pertanian dan lautan.
       
III
Di bagian belakang rumah Donna berbagai kreasi keramik berjajar dan bertumpuk memenuhi meja, rak dan dinding. Beberapa dari mereka berupa manusia, beberapa yang lain binatang, dan sebagian lagi berupa wadah-wadah. Seluruh entitas itu adalah sebuah dunia yang sengaja diciptakan, hampir sebagai keharusan, agar Donna memiliki tradisi dalam kosmologi peradaban modern. Hanya dengan mencipta para sahabat itulah, baik dari kosmologi Jawa atau modernitasnya, ia akan mampu menjalani sejarah dan takdirnya secara lebih bermakna, selaras dan nyata. Semacam kontemplasi praktikal yang dilakukan bukan untuk mendapatkan ndaru atau pulung, tapi sebagai peleburan berbagai tatanan dalam dirinya, agar batinnya tenang.
 
Praktik semacam itu, selain sebagai jalan keluar dari ketegangan kultural atau kosmologis, juga merupakan manifestasi lebih lanjut dari kodrat Donna sebagai seorang perempuan yang dikaruniai keceradasan lebih mengelola benda-benda dari ukuran paling mikro seperti aneka bumbu hingga yang besar berupa rumah—wadah manusia, jelamaan artsitektural dari kosmos agung itu. Ia mengatur letak segala sesuatu, menempatkan mereka di sana, merawat dan menjaganya, sehingga semua benda berada dalam tatanan (kosmos) yang telah ditetapkan. Di tengah semua itu, Donna sendiri layaknya seorang ratu, pusat dunia dari kosmologi benda-benda ciptaanya.
 
Praktik semacam itu mungkin akan berbeda jika dilakukan oleh seorang laki-laki yang kerap kurang cermat dan sabar mengelola mulai bumbu dapur, suara ketel, gorden rumah sampai tagihan listrik sehingga, karena tak kuasa menjadi penguasa di rumah, banyak dari para lelaki pergi keluar dan tampil layaknya pemguasa atau sejenis “orang penting” di hadapan dunia. Dengan kata lain, kodrat Donna sebagai seorang perempuan yang dikaruniai kecerdasan dalam mengelola alam benda memungkinkan dia mampu mendamaikan perbedaan atau bahkan pertikaian kosmologis di ruang publik di dalam ruang laboratorium domistiknya dengan cara ditransformasikan dan diejawentahkan ke dalam benda-benda sebagai rupa tokoh-tokoh rekaannya.
 
Dalam salah satu karyanya, Hard Worker, si koboi dan mas raden merokok bersama, pula dalam Best Friend di mana boneka kelinci dan lelaki berkumis jalan berpelukan sambil menikmati pipa dari berbagai jenis dan cita rasa tembakau (Blended by Taste). Tak jauh dari sana, sosok berkuping panjang serupa kelinci itu menaiki para binatang pada berbagai talenan dalam Pilgrim, dan hadirlah tokoh wayang dan prajurit tardisional di antara bunga dan pohonan dalam Cosmic Turn, hingga dalam The Lovely of Few Thing Kakek Semar si pusat kosmologi dan Ganesha si perawat pengetahuan tampil di antara gunungan, flora dan fauna. Pada Sea Eyes Priceses, para ratu memandang dengan mata membelalak, muncul perlahan-lahan dari ceruk sebuah kapal, bersiap memasuki dunia baru—manakala kita membuka sejarah untuk mereka—kreasi menakjubkan dari Donna Arisutta.
 
Selamat berpameran! 
 
 
Penulis adalah penyair, peminat seni rupa dan peneliti di Abdurrahman Wahid Centre Universitas Indonesia, Jakarta
 
………………….
Cosmic Turn:
Percakapan dengan Semesta.
 
Oleh:
Dessy Rachma Waryanti.
Tanah liat adalah tanah yang bercampur dengan air pada prosentase 70:30. Ia mengering melalui suhu ruangan, jika terpaksa berada di bawah sinar matahari ia perlu diawasi agar tak terlalu kering lalu retak di sisi tertentu dengan tidak bersamaan. Selama seminggu calon keramik didiamkan, masuklah ia ke dalam tungku untuk pembakaran tahap 1 hingga suhu 800°c, tanah liat yang plastis kemudian mengeras. Di hiasilah dengan bahan pewarna yang bernama glasir. Setelah kering suhu udara, ia masuk lagi ke tungku dan dibakar kembali hingga suhu 1200°c selama 6 hingga 8 jam. Mudah bukan?.
Secara teori saya dapat menjabarkan dalam satu paragraf besar berisi 5 kalimat. Namun prosesnya lebih dari 30 episode sinetron. Delapan jam bukanlah waktu yang singkat untuk menunggu proses kelahiran masterpiece ke dunia. Seniman keramik tak jarang bertanya apakah karya yang dikerjakan selama dua minggu, dikeringkan selama seminggu akan baik-baik saja di dalam tungku. Belum lagi jika ada suara “duk” dari dalam. 
Kecemasan terbayar lunas saat tungku di buka dan tidak ada karya yang gagal. Semua baik, hati berlimpah syukur. Proses berkeramik adalah proses berkesenian yang kosmik dan estetis. Bermain dengan empat elemen abiotik yakni tanah, api, air, dan udara; seniman keramik bermusyawarah dengan kepekaan karsa yang dimiliki untuk dapat mewujudkan ekspresi melalui keramik.
Manusia dan alam, sebenarnya sudah menjadi isu yang terus menerus diulang. Keramik menawarkan keindahan lain yang bersifat kosmik dalam sebuah ‘kecemasan menunggu’ akan lahirnya masterpiece, seperti menanti anak yang telah dikandung selama Sembilan bulan.
Karya-karya yang dihasilkan Donna baik dalam pameran ini maupun pameran-pamerannya yang lalu telah memberi penawaran nilai estetis keramik dalam bentuk pembakaran paling modern dan maksimal. Warna-warna yang muncul tak jauh beda seperti pada lukisan. Keramik kemudian bisa memiliki warna merah, biru, kuning, dan  lain-lain, bukan lagi warna alam. Teknik pewarnaan yang modern ini kemudian menghadirkan bukti bahwa proses kosmik selalu senada dengan adanya dimensi waktu. Daun tak selalu hijau, kan?
Rangkuman-rangkuman proses ini bersinergi secara dialektik, terus melakukan percakapan dengan unsur dan elemen yang berkembang. Kesadaran kosmik atas cara seniman bekerja dengan alam dan waktu dalam wacana modernitas tidak dapat dipahami hanya melalui kata-kata tentang deskripsi karya. Pameran ini memberi sinyal bahwa hal kosmik dari yang paling kosmik adalah cara seniman keramik bekerja dengan material lingkungan (tanah, air, api, udara) dalam dimensi waktu.
[fin].
 

0 Comments

dialogue in print

12/10/2018

159 Comments

 
Picture

159 Comments

December 09th, 2018

12/9/2018

0 Comments

 
Picture
PRESS RELEASE
Pameran 3rd Jogja International Miniprint Biennale 2018
Tema                                                      :  Messages From The Matrix
Waktu                                                    :  20 - 30 November 2018
Tempat                                                  :  Museum Dan Tanah Liat (MDTL),
                                                                     Ds. Kersan Rt. 5, Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul, Yogyakarta
                                                                     55181
Peserta                                                  :  Finalis 3rd JIMB 2018 dengan 117 karya miniprint dari 65 seniman grafis 27 negara.
                                                                     Kelompok seniman grafis undangan dari China dan Filipina sebanyak 39 karya miniprint dari 29 seniman
Dibuka oleh                                         : Dr. Nasir Tamara MA, MSc.
Sambutan oleh                                   : Dr. Edi Sunaryo
Acara                                                      : ‘Monotype party’, art talk dan musik.
Marcom media                                  :  Ria Novitri/+62 815 39 806190
                                                                     miracle8artshop@gmail.com (e-mail)
 
Pameran 3 th Jogja International Miniprint Biennale 2018 : Messages From The Matrix
Setelah melewati proses penjurian oleh A. Sudjud Dartanto (ketua), Malcom Smith (anggota), Deni Rahman (anggota) pada Minggu (28/10) di Miracle prints - art shop Jalan Suryodiningratan MJ. II/853, Mantrijeron, Yogyakarta terpilih 117 karya grafis dari 65 seniman dengan perincian 15 seniman grafis berasal dari Indonesia dan 50 seniman dari luar negeri. Total negara yang lolos sebagai finalis ada 27 negara yaitu: ARGENTINA , AUSTRALIA , BANGLADESH,  BRAZIL, BULGARIA, CANADA, CROATIA, ESTONIA, FINLAND, FRANCE, GERMANY, HUNGARY, INDIA, INDONESIA, ITALY, JAPAN, MALAYSIA, NETHERLAND, POLAND, RUSSIA, SERBIA, SINGAPORE, SPAIN, THAILAND, UK, UKRAINE, USA
Dalam penjurian sebanyak 351 karya grafis ukuran kecil dari 42 seniman grafis Indonesia dan 107 seniman grafis luar negeri dari 32 negara yang masuk pada panitia 3rd JIMB 2018 dilakukan penjurian melibatkan tiga juri. Penjurian yang dilakukan untuk menyaring karya grafis yang lolos ke final. Dari keseluruhan karya grafis yang masuk, diambil 117 karya miniprint untuk masuk dalam tahap final 3 rd JIMB 2018. Ke-117 karya miniprint finalis akan dipamerkan bersama karya kelompok 29 seniman grafis dari China dan Filipina. Pada pameran 3 rd JIMB 2018 akan diumumkan Three Best Works, Three Excellent  Works.
"Aspek penjurian pada dua hal, pertama menyangkut teknis dimana seni grafis adalah hal yang tidak bisa terlepas dari urusan teknik (yang benar) untuk menghasilkan karya secara visual. Yang kedua berkaitan dengan tema yang ditawarkan. Bagaimana seniman merespon tema dengan tawaran-tawaran karya (baru) dalam kedalaman karyanya dimana kehidupan atau kebudayaan saat ini adalah abad citra/penanda. Karya dengan visual dan konsep (kesesuaian tema) yang kuat itu yang kita cari," ungkap ketua juri Sudjud Dartanto sesaat setelah selesai penjurian 3rd JIMB 2018, Minggu (28/10).
Lebih lanjut Sudjud menjelaskan dengan tema JIMB #3 yang mengangkat tajuk "Messages From The Matrix" menjadi penanda/citra yang lain untuk menghasilkan kostruksi/referensi baru yang bisa bersumber dari realitas itu sendiri.
Selain penghargaan, pemenang akan mendapat kesempatan pameran yang rencananya akan dilakukan pada tahun 2019 di Yogyakarta Berikut daftar pemenang dan pencapaian pada penyelenggaraan JIMB sebelumnya.
Sebagai informasi tambahan JIMB 2018 merupakan pelaksanaan yang ketiga. Pada pelaksanaan penyelenggaraan JIMB 2014 dilakukan di dua tempat, 6-13 Juni 2014 di Museum BI Jl. Senopati No 2 Yogyakarta dan 17-23 Juni 2014 di Mien Gallery, Jl. Cendana 13 Yogyakarta. Tercatat 142 seniman dengan 465 karya mengikuti seleksi JIMB 2014 terdiri dari 89 seniman Indonesia dan 53 seniman luar negeri. Dari jumlah tersebut dipilih 140 karya dari 72 seniman terdiri dari 34 seniman Indonesia dan 38 seniman Internasional asal 22 negara yang mengikuti pameran. Tiga karya terbaik dalam JIMB 2014 yakni:
  1. Agung Prabowo (Indonesia) dengan karya "Stoples I", reduction linocut print on hand beaten bark daluang paper, edisi 2/3, 20 cm x 12 cm. 2014.
  2. Deni Rahman (Indonesia) dengan karya "Learn to Squeezer", intaglio, edisi 3/20, 13 cm x 8,5 cm. 2014.
  3. Lidija Antasijevic (Serbia) dengan karya "Bliss", etching-rotogravure, edisi 10/10, 15 cm x 18,5 cm. 2014
Sementara pelaksanaan penyelenggaraan JIMB 2016 digelar 24 Mei - 10 Juni 2016 di Sangkring art project Jalan Nitiprayan No. 88 RT/RW 01/20 Kasihan-Bantul. Pada penyelenggaraan JIMB kedua ini mengangkat tema "Homo Habilis".
Pendaftar mencapai 167 peserta terdiri dari 68 seniman luar negeri asal dari 31 negara dan 99 peserta Indonesia. Sementara karya yang masuk sebanyak 331 karya. Dari jumlah tersebut dipilih 77 seniman dengan 110 karyanya yang berhak mengikuti pameran JIMB 2016. Mereka terdiri dari 28 seniman Indonesia dan 49 seniman luar negeri. Asal 22 negara.
Setelah melewati penjurian yang ketat selama pameran diputuskan tiga karya terbaik (The Three Best Works) dalam JIMB 2016 yakni:
  1. Deborah Chapman (Canada) dengan karya "Mumure", mezzopoint, edisi 4/17, 12 x 15 cm. 2016.
  2. Dimo Kolibarov (Bulgaria) dengan karya "Cycle 'The Diary of Child'- The Golden Fish", etching-aquatint, edisi 3/40, 20 x 16 cm. 2015.
  3. Paolo Ciampini (Itali) "The Woman", etching, edisi 8/30, 5 cm x 7 cm. 2014.
Pada penyelenggaraan JIMB 2016 kategori perlombaan ditambah untuk The Excellent Works yang diraih:
  1. Silvana Martignoni (Italia) dengan karya "Infinity Vortex", mezzopoint on copper plate, edisi 3/30, 17 cm x 17 cm. 2016.
  2. Weronika Siupka (Polandia) dengan karya "Gate V", etching, 16,5 cm x 13,5 cm. 2014.
Dalam hal jumlah peserta Pahlevi menjelaskan terjadi penurunan jumlah seniman yang ikut dari 167 peserta pada JIMB 2016 menjadi 149 peserta dalam JIMB 2018. Penurunan drasis justru pada peserta Indonesia yang hanya mencapai 42 peserta sementara peserta luar negeri melonjak menjadi 107 peserta dari JIMB 2016 yang diikuti 67 seniman. Jumlah ini masih ditambah 29 seniman dari China dan Philipina yang ikut serta sebagai seniman tamu, dimana karya-karya mereka tidak melalui tahapan seleksi untuk mengikuti pameran.
Batasan kompetisi miniprint dalam JIMB adalah ukuran medium/kertas maksimal 28 cm x 28 cm dengan ukuran karya tercetak maksimal 20 cm x 20 cm menggunakan teknik cetak konvensional meliputi cetak tinggi (relief print): wood cut, linocut, rubbercut, relief etching, engraving; cetak dalam (intaglio): etsa, drypoint, mezzotint, aquatint, photo intaglio, sugar print; cetak datar: lithography, photo lithography, allugraphy; cetak saring/halang: silk screen print, stensil; maupun gabungan teknik cetak konvensional yang ada. Karya dibuat dalam rentang waktu 2017-2018 dengan menerakan no edisi, tahun pembuatan, tanda tangan seniman. Setiap seniman diperbolehkan mengirim 1-4 karya.
Pameran 3 rd JIMB 2018 akan berlangsung pada 20 - 30 November 2018 di Museum Dan Tanah Liat (MDTL), Ds. Kersan Rt. 5, Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul, Yogyakarta. Pameran rncananya akan dibuka oleh Dr. Nasir Tamara dan diberi sambutan oleh Dr. Edi Sunaryo. Berlangsung pada Selasa (20/11) pukul 15.00 WIB – selesai.
Di pembukaan juga akan dimeriahkan dengan ‘Monotype Party’, yaitu pengenalan salah satu teknik dalam seni grafis yang dapat diikuti oleh semua pengunjung yang hadir. Teknik monotype secara prinsip adalah seniman/peserta melukis dengan media tinta cetak/cat di atas lembaran plastik mika, lalu hasil lukisan dicetakkan ke lembaran kertas yang sudah dilembabkan terlebih dahulu. Pencetakan menggunakan mesin press agar hasil gambar tercetak sempurna. Hasil gambar akan terbalik posisinya dan hanya dapat dicetak satu kali. Pengunjung akan diarahkan oleh para pegrafis Yogyakarta dalam mengerjakan teknik tersebut. Acara lainnya adalah art talk bersama finalis dan pemenang 3rd JIMB yang datang di acara pembukaan. Lalu ada penampilan Eman-Eman Band.
Sebelumnya pada pukul 14.00 – 14.30 akan dilakukan jumpa pers dengan wartawan cetak dan elektronik.
 
--= Tim komunikasi media 3th JIMB 2018 =--
 
NB:
Side JIMB Exhibition “DIALOGUE IN PRINT”
21 November – 14 Desember 2018
Miracle Prints, Suryodiningratan MJ II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
37 Seniman dengan 41 karya mini print dari 22 negara.
 
 ...............
TEMA:
Pesan dari Matrix (Messages from the Matrix)
Never send a human to do a machine's job
Agent Smith
Jogja International Miniprint Biennale(JIMB) 2018 mengajukan tema Pesan dari Matrix (Messages from the Matrix). Tema ini berangkat dari perspektif penjurian yang  melihat pentingnya isu atas sifat dan keunggulan duplikatif seni grafis, dimana setiap edisi cetaknya memiliki kualitas yang sama. Dalam kosakata seni grafis, matrix adalah nama lain untuk permukaan fisik di mana gambar yang ditulis, seperti woodblock, piring, batu atau layar dapat diproduksi dalam kelipatan. Dari sudut pandang itulah JIMB 2018 mengundang peserta untuk merespons isu matrix, baik dari isu ‘matrix’ sebagai istilah sifat duplikatif seni grafis hingga filsofi matrix itu sendiri.
Reproduksi cetak itu pada perkembangannya melahirkan  mesin cetak yang kemudian mengubah dunia. Pakar Benedict Anderson menjelaskan bagaimana mesin cetak menstandardisasi bahasa dan membentuk pemahaman baru tentang komunitas. Pada pertengahan abad kesembilan belas, mesin cetak memungkinkan surat kabar dapat diproduksi, yang berarti bahwa berita, cerita, dan gambar dapat dibagikan dari tempat-tempat di seluruh dunia kepada orang-orang di seluruh dunia. Pengetahuan tidak lagi dikendalikan oleh mereka yang berkuasa, tetapi dibagikan oleh semua orang.
Di dunia pra-modern, penguasa mengendalikan sejarah yang ditulis. Para penguasa media mengontrol berita dan perasaan manusia melalui media cetak. Penguasa media dapat mempengaruhi pemilihan umum dan kebijakan pemerintah, mereka bahkan dapat menghasilkan atau menghentikan revolusi. Hari ini, mereka yang mengendalikan matriks yaitu media, termasuk mesin cetak, tetapi juga jaringan informasi digital telah mengendalikan dunia. Mesin cetak menjadi salah satu teknologi di mana modernitas dapat dicapai, dan bersamaan dengan itu, pemahaman baru tentang bangsa, kewarganegaraan, kemajuan tercipta.
The Matrix is a system, Neo. That system is our enemy. But when you're inside, you look around, what do you see? Businessmen, teachers, lawyers, carpenters. The very minds of the people we are trying to save. But until we do, these people are still a part of that system and that makes them our enemy. You have to understand, most of these people are not ready to be unplugged. And many of them are so inured, so hopelessly dependent on the system, that they will fight to protect it.
Morpheus
Seniman dapat mengendalikan untuk membuat karya seni, sebaliknya, teknologi juga mengendalikan cara membuat karya seni. Matrix memungkinkan seseorang untuk menghasilkan pelipatgandaan karya, dimana hal itu telah mendemokrasikan citra, memungkinkannya untuk dibagikan ke seluruh dunia, kepada ribuan pemirsa, bukan hanya segelintir orang elit.
 
Baudrillard,  pakar posmodern menerangkan bahwa kini kita memasuki kebudayaan simulakra, yaitu situasi dimana citra menjadi yang utama. Orang lebih mempercayai citra daripada kenyataan sebenarnya, citra telah membangun dunia sosialnya sendiri, citra mendahului kenyataan, dan bahkan menghasilkan kategori realitas baru dengan praktik penggandaan penanda hingga tak berhingga banyaknya. Inilah situasi komunikasi posmodern yang menghasilkan berbagai bentuk komunikasi baru.
Esai penjurian ini dibuat untuk memberikan latar belakang tema, perspektif penjurian dengan harapan peserta dapat mengelaborasinya kedalam karya dan berangkat dari isu yang kami tawarkan. Kami menunggu partisipasi peserta dengan teknik, bentuk dan gagasan/ide/konsep terbaik dari peserta. Selamat berkarya.
 
*Kutipan dari film The Matrix, 1999
 
Yogyakarta, Mei 2018
 
Tim Juri JIMB 2018
 
  Messages from the Matrix
Never send a human to do a machine's job
Agent Smith
The 3rd Jogja International Miniprint Biennale(JIMB) 2018 jury has chosen “Message from the Matrix” as the theme of the Biennale. The theme reflects the jury’s perspective and indicates the importance of the question of character and quality in the practice of reproduction in the graphic arts, where each edition of a work is of the same quality as the original, because each edition of a print is itself an original, not a duplicate. In the vocabulary of graphic arts, matrix is another name for a physical surface where a picture which is drawn, like a woodblock, plate, stone, or screen can be reproduced in multiple quantities. It is from this point of view of that JIMB 2018 invites participants to respond to the issue of matrix, both ‘matrix’ as a term characteristic of graphic arts as well as to the philosophy of matrix itself.  
Reproduction through printing, as it developed, gave birth to the printing press which proceeded to change the world. The historian Benedict Anderson has described how the printing press standardized language and formed a new understanding about the notion of community. By the middle of the 19th century, the printing press had made possible the production of newspapers, meaning that news, stories, and pictures could be shared from anywhere in the world to people everywhere. Knowledge was no longer controlled by those in power but became the property of everyone.     
In the pre-modern world, those in authority controlled written history. Media magnates controlled the news as well as people’s thoughts through print media.  They could influence elections and government policy and could even foment - or halt - revolutions. Today, those who control the ‘matrix’ i.e. the media, including conventional printing presses, but also digital information networks, now control the world. The printing press has become a piece of technology where modernity can be achieved and with that, a new understanding of the nation state, citizenship, and progress realized.       
The Matrix is a system, Neo. That system is our enemy. But when you're inside, you look around, what do you see? Businessmen, teachers, lawyers, carpenters. The very minds of the people we are trying to save. But until we do, these people are still a part of that system and that makes them our enemy. You have to understand, most of these people are not ready to be unplugged. And many of them are so inured, so hopelessly dependent on the system, that they will fight to protect it.
Morpheus
Artists can control the making of works of art, though on the other hand, technology can also control the methods of creating art. A matrix makes it possible for a person to produce reproductions of a work and this fact has democratized the image, allowing it to be shared to the entire world, to thousands of viewers, not just an elite few.
The post-modernist theorist, Baudrillard, has suggested that we now live in a culture of simulacrum that is, a situation where the image is primary. People believe in the image more than the reality, the image has already developed its own social world; the image precedes reality and even produces a new category of reality with the practice of reproduction permitting unlimited impressions. This is the post-modern situation which has created new forms of communication      
This essay presents the background of the theme and the jury’s perspective as a starting point in the expectation it will be elaborated in the works submitted by JIMB 2018 artists. We are waiting to see outstanding ideas, forms, techniques, and concepts from printmakers everywhere.      
*From the film The Matrix, 1999
Yogyakarta, May 2018
Jury JIMB 2018

Tulisan:
Pengantar
 
3rd Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) 2018 hadir ditengah tarikan even-even pameran, artfair, lelang, bazar, kompetisi, bienal/trienal dari berbagai media seni rupa yang dianggap lebih ‘menjanjikan’ buat perupa Indonesia. Harap dimaklumi,  persoalan seni rupa di Indonesia setidaknya dalam dua dekade ini memang masih didominasi urusan market ketimbang membuka peluang lain yang menyentuh aspek sosial, edukasi dan kebudayaan secara luas. Media-media yang dianggap popular seperti lukisan, karya 3 dimensi, photography diserbu para perupa termasuk oleh mereka yang sebelumnya cukup militan dan memiliki kekuatan dalam hal membuat karya seni grafis.
 
Bienal miniprint ketiga ini kehilangan sebagian besar nama-nama ‘pegrafis menjanjikan’ di tanah air yang sempat mewarnai kepesertaan pegrafis dalam negeri di dua bienal sebelumnya. Celakanya pegrafis pendatang baru baik yang masih berstatus mahasiswa di perguruan tinggi seni maupun yang baru saja lulus tidak cukup punya keberanian untuk berkompetisi. Entah apa yang salah dari pendidikan seni rupa di kampus-kampus seni yang membuat mahasiswanya menjadi minder sentris. Atau mengutip pendapat salah satu dosen seni grafis di sebuah perguruan tinggi seni terkenal dengan istilah ‘cuma jago kandang’.
 
3rd JIMB kali ini total diikuti 178 seniman terdiri dari 149 seniman yang mendaftar sebagai peserta seleksi dan 29 seniman yang berpartisipasi sebagai seniman tamu dimana karya mereka tidak mengikuti seleksi dan kompetisi. Antusiasme peserta luar negeri begitu luar biasa. Tercatat 136 seniman internasional dari 32  negara  yang berpartisipasi, meningkat  hampir 200 % dari bienal 2016 yang diikuti 77 seniman internasional. Sementara seniman Indonesia diwakili hanya oleh 42 seniman atau menurun 60% dari angka 99 peserta di bienal 2016 lalu. Sebuah catatan yang buruk tentunya buat dunia seni grafis Indonesia.
 
Juri kali ini diketuai oleh A. Sudjud Dartanto, seorang pengajar dan kurator yang beberapa kali menangani pameran berskala internasional. Pada bienal miniprint kedua lalu ia menjadi juri anggota. Sementara juri anggota ada 2 yaitu: seniman Deni Rahman yang juga sebagai pengajar di ISI Solo dan Malcolm Smith, seniman, pengelola galeri/studio yang tinggal di Australia dan Yogyakarta. Mereka memilih tema “Pesan Dari Matrix / Messages From The Matrix”. Tema ini dibuat sebagai kelanjutan tema pada bienal sebelumnya “Homo Habilis” yang menekankan pada aspek craftmanship dari karya. Kali ini gagasan para peserta ditantang tentunya dengan tetap tidak melupakan aspek teknis yang kuat. Juri ingin karya peserta membuka ruang-ruang baru yang inspiratif bagi penonton lewat permainan idiom/simbol masing-masing yang telah mereka kuasai sebelumnya. Memang tidak begitu mudah menjabarkan tema tersebut secara verbal namun jika peserta membaca hati-hati essay tema tersebut apa yang diharapkan juri dapat terasakan.
 
Penjurian dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2018 dan dilanjutkan sampai tanggal 30 Oktober 2018 karena menunggu beberapa karya peseta luar negeri yang masih tertahan di bea cukai. Tempat penjurian di sekretariat 3rd JIMB di Miracle Prints, Suryodiningratan MJ II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141. Dari 149 seniman yang mengikuti kompetisi dengan 351 karya yang masuk juri memilih 65 seniman dengan 117 karya sebagai finalis. Mereka terdiri dari 50 seniman internasional dan 15 seniman dalam negeri asal Yogyakarta, Jakarta, Bandung. Sementara seniman tamu terdiri dari 18 seniman China dan 11 seniman Philipina anggota Asosiasi Pynoprintmakers. Total negara terlibat dalam pameran 3rd JIMB 2018 kali ini 29 negara yaitu 27 negara sebagai finalis: Argentina, Australia, Bangladesh, Brazil, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Hungaria, India, Indonesia, Italia, Jepang, Malaysia, Belanda, Polandia, Rusia, Serbia, Singapura, Spanyol, Thailand, Inggris, Ukraina dan Amerika Serikat. ditambah 2 negara China Tiongkok dan Philipina sebagai peserta tamu. Juri juga telah memilih 6 pemenang untuk 2 kategori: 3 untuk Best Work dan 3 untuk Exellent Work. Mereka yang terpilih adalah: Antoni Kowalski dari Polandia, Evee Eesmaa dari Estonia dan Maja Zemunik dari Kroasia sebagai 3 pemenang kategori Best Work. Sementara kategori Excellent Work diraih oleh: Thamrongsak Nimanussornkul dari Thailand, Silvana Martignoni dari Italia dan Giri Widananto dari Indonesia. Pegrafis dalam negeri menyeruak diantara dominasi pegrafis luar negeri dalam even internasional ini adalah prestasi yang cukup membanggakan. Ternyata juri masih melihat sacercah harapan dari karya-karya pegrafis dalam negeri. Selamat buat mereka semua!
 
Akhirnya kami ingin mengatakan bahwa bienal miniprint ini mendapat sokongan berbagai pihak. Ada sebagian bantuan pendanaan dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta sebagai wujud fasilitasi program Pameran Kelompok, sebagian dari administrasi peserta, donasi seniman yang dikumpulkan lewat pameran fundrising “Heading JIMB” di Miracle Prints 21 Agustus - 9 September 2018, donatur perorangan, sponsor, pemasang iklan. Kami akui masih sulit untuk mendapat sponsor sampai detik-detik menjelang pelaksanaan acara. Mungkin karena keterbatasan sumber daya kami, mungkin juga para sponsor masih wait and see dalam melihat acara ini sebagai sarana nvestasi.
 
Kepada penonton, selamat menikmati acara 3rd JIMB 2018.
 
Yogyakarta, 2 November 2018
 
Syahrizal Pahlevi/Direktur
 
 
Foreword
 
The Third Jogja International Miniprints Biennale (JIMB) is happening  in the midst of the hustle and bustle of many other art events in Yogyakarta, which partly explains the smaller number of local artists participating in the event this year.  Several promising artists who joined the first two Biennales are absent. Today we live in an environment in which the more commercial areas of fine arts such as painting, three –dimensional work, and photography are considered more lucrative and attractive. On the other hand, art students and recent graduates of art schools seem to be discouraged from taking part in the event. We also need to do something to overcome the mentality of—as a local lecturer and artist put it —“chickening out” among art students, as well as to broaden perspectives in art-making processes so as to not only meet market-driven demands, but also to respond to cultural, educational, and other social issues.
 
A total 178 artists consisting of 149 artists registered as candidates for selection in the Third JIMB 2018 and 29 artists who are participating as guest artists and whose work is not in competition. The enthusiasm of international artists is particularly striking. A total of 136 artists from 32 countries submitted work, an increase of 200% from JIMB 2016 where 77 artists participated. However, Indonesia is represented by only 43 artists, a decrease of 60% from the 99 Indonesian artists who participated in JIMB 2016; a sad commentary on the world of Indonesian graphic arts.  
The jury is led by A. Sudjud Dartanto, a lecturer at ISI Yogyakarta and an experienced curator who has participated in several international exhibitions. Previously, Mr. Dartanto also served as a jury member of the 2nd JIMB. The other jury members for this year’s event are Deni Rahman, an artist and lecturer at UNS Solo, and Malcolm Smith, an artist and gallery/studio owner who divides his time between Yogyakarta and Australia. The jury has chosen the theme “Message from the Matrix”. It is considered a continuation of the previous Biennale theme, “Homo Habilis” which stressed the aspect of craftsmanship in graphic art. This year’s theme aims to challenge artists to open new spaces of interpretation that will inspire visitors to the show through the manipulation of symbols which they have mastered. It is not a simple thing to do, but with a careful reading, the perspective and expectations of the jury can be understood.
 
The selection was held from 28 to 30 October at JIMB Secretariat: Miracle Prints, Suryodiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta. The jury has chosen 117 artworks from 65 artists as finalists consisting of 50 international participants and 15 Indonesian participants from Yogyakarta, Jakarta, Bekasi, Bandung and Bali. Guest artists, include 18 Chinese artists, and 11 Philippine artists, members of the Pynoprintmakers Association. Artists from the following countries took part in this year’s event: Argentina, Australia, Bangladesh, Brazil, Bulgaria, Canada, China Croatia, Estonia, Finland, France, Germany, Hungary, India, Indonesia, Italy, Japan, Malaysia, The Netherlands, the Philippines, Poland, Russia, Serbia, Singapore, Spain, Thailand, UK, Ukraine, and the USA.
 
We have six prize winners in the two categories of the competition; three winners for Best Work and another three for Excellent Work. The three Best Works chosen are: Antoni Kowalski (Poland), Evee Esman (Estonia), and Maja Zemunik (Croatia). For the three Excellent Works we have Thamrongsak Nimanussornkul (Thailand), Silvana Martignoni (Italy), and Giri Widananto (Indonesia). It is good to see that there is a local artist among the international winners. Congratulations to all!
 
We would like to thank everyone whose contributions enabled us to move forward with JIMB 2018. Dinas Kebudayaan Yogyakarta, all JIMB 2018 participants, the artists who participated in the “Heading to JIMB 2018” fundraising event at Miracle Prints from 21 August – 9 September 2018, our donors, event advertisers, and sponsors. Although obtaining sponsorships was difficult up to the last minute but here we are! Our gratitude goes to the participants who kept the faith in the event. Hopefully future Mini-print Biennales will be even better! Please enjoy the 3rd JIMB exhibition!
 
Yogyakarta, November 2nd, 2018
 
Syahrizal Pahlevi, Director
English translation by Rira Nurmaidah and Jerry Chamberland
 

 
 
Catatan Penjurian
 
Begitu sulit untuk menentukan pemenang. Seperti yang dikatakan oleh para juri, proses seleksi berlangsung dengan ketat, dengan pertimbangan teknis, dan tema. Bongkar pasang kandidat pemenang terjadi berkali-kali, dan terjadi diskusi cukup intens antara kami. Mencari yang terbaik dari yang baik sangatlah sulit dan pelik. Namun hasil harus ditentukan, dan dengan pertimbangan aspek teknik, tema dan karisma karya, maka kandidat pemenang telah diputuskan.
 
Bagi yang tidak menang bukan berarti Anda tidak mencapai keberhasilan teknik, bentuk dan tema penjurian, namun Anda menang dengan sudut pandang yang beragam, sebagaimana relativitas kebenaran dalam Film Matrix yang menunjukkan filosofi dunia simulasi dari dunia nyata. Apa yang justru nyata adalah dunia simulasi itu sendiri, namun bukan berarti ini sebuah surealisme, dunia simulasi menggunakan realisme sebagai dasarnya, dunia simulasi ini mempercepat kita memasuki abad pasca kebenaran(post thruth). Inilah dunia masa kini dimana yang nyata kabur dan yang palsu malah menjadi benar. Bagaimana itu ditafsir oleh peserta JIMB? Inilah yang menjadi bingkai pameran Jogja International Miniprint Biennale 2018 ini.
Selamat menikmati
 
Sudjud Dartanto
 
 
 
Jury Notes
 
It was exceptionally difficult to determine the winners of JIMB 2018. As members of the jury stated, the selection process was very strict particularly regarding technical considerations and handling of the theme. Rethinking the wining candidates happened again and again and intense discussions occurred among the jurors. Choosing the best of the best was difficult and complicated. Nonetheless, decisions had to be made and in consideration of technical aspects, realization of the theme, and the particular charisma of the individual works, the winning candidates were selected.      
 
For those artists who did not win it doesn’t mean that they were not technically successful, nor failed in regard to the form and handling of the theme. However the artists were successful from the point of diversity, insofar as the relativity of truth in the film Matrix exemplified a world view or philosophy, a simulation of the real world. What is real is the simulated world itself (although not a kind of surrealism) a simulated world uses realism as a base. This simulated world hastens our entry into the post-truth era. This is the world of today where the real is elusive and the false becomes real. How was this interpreted by JIMB participants? This is the exhibit frame of the Jogja International Miniprint Biennale 2018. 
 
Sudjud Dartanto
 
English translation by Jerry Chamberland

Thoughts on judging
I don’t really like competitions. There is no right or wrong artwork, so there is no better or worse artwork either. “Beauty is in the eye of the beholder”. An artwork means something different to everyone. So how can a “judge” claim to know what is good for everyone else? 
In the process of selecting the finalists and the three final “winners” of this competition, we had certain criteria that we discussed. Firstly we needed to knock out the entries that did not conform to the selection criteria – size, edition, technique etc. Then we chose all the works that we thought engaged technically with the medium of print in interesting ways. This was actually more than half of the works. Then we looked at how these works addressed the theme of the show – the idea of the “matrix”. Then we looked more closely at other criteria; aesthetics, composition, subject matter and so on.
We ended up with a shortlist of works that ticked all of the aforementioned boxes. But the problem is, I wasn’t really excited about many of these works. Just because an artwork ticks all the correct boxes doesn’t make it interesting. Actually, in my opinion, its always the artworks that break the rules, that don’t fit neatly into any category, that annoy me or offend me, that I think in the end are the most interesting ones. These artworks have a kind of transgressive charisma, a “fuck you” attitude that doesn’t really care if they are a “winner” or a “loser” in anybody else’s eyes.
So congratulations to everyone in this show. If you don’t care about winning, then you have already won. And if anyone should be judged, it is the judges.
Malcolm Smith
 
 
Sekelumit Pikiran Soal Penjurian
Saya tak suka kompetisi. Bagi saya, tak ada karya seni yang salah atau benar. Karena itu tak ada karya yang lebih baik maupun lebih buruk dari yang lainnya. Ada sebuah pepatah, “beauty is in the eye of the beholder”, indah itu tergantung mata yang memandang. Sebuah karya seni mengandung makna berbeda bagi setiap orang. Jadi, bagaimana bisa seorang juri dapat mengklaim dirinya tahu apa yang bagus untuk semua orang?
 
Pada proses seleksi finalis dan tiga karya “pemenang” dalam kompetisi ini, tim juri menentukan sejumlah kriteria untuk didiiskusikan. Pertama, kami harus mengeliminasi karya-karya yang tidak selaras dengan ketentuan seleksi—seperti ukuran, edisi, teknik, dll. Kemudian kami memilih sejumlah karya yang mengeksplorasi media cetak yang digunakan dengan cara-cara menarik. Kami menemukannya dalam lebih dari separuh karya yang masuk. Lalu kami mencoba menelaah bagaimana karya-karya ini merespon tema—ide tentang “matrix”. Setelah itu, barulah kami beranjak pada kriteria lain seperti estetika, komposisi, pesan/isi, dll.
 
Akhirnya kami mendapatkan daftar karya yang mencentang seluruh kriteria tersebut di atas. Hanya saja, saya tidak terlalu antusias dengan kebanyakan dari karya-karya ini. Karena sebuah karya lolos dalam semua kriteria seleksi, tidak otomatis menjadikannya menarik. Sebenarnya, menurut saya, karya-karya seni yang melanggar aturan, yang tidak mesti menepati pengkategorian apapun, yang menyebalkan, atau menyinggung saya, justru yang pada akhirnya saya anggap paling menarik. Karya-karya seperti ini memiliki kharisma “penerjang batas”, bersikap “masa bodoh”, tak peduli atas status pemenang atau pecundang dalam pandangan orang lain.
 
Baiklah, selamat bagi semua peserta dalam acara ini. Jika anda tak peduli untuk menang, maka anda sudah jadi pemenangnya. Kalaupun ada yang layak dihakimi, mereka adalah para juri itu sendiri.
 
Malcolm Smith
 
Diindonesiakan oleh Rira Nurmaidah
 

 
 
Karya Cetak Grafis:
Pesan Jujur dari Matrix
 
Hal yang paling mendasar yang membedakan seni cetak grafis dengan cabang seni rupa lainya adalah digunakanya matrix atau acuan cetak pada proses pembuatan karya cetak grafis. Matrix dalam seni cetak grafis ibarat rahim pada perempuan. Matrix akan ‘melahirkan’ cetak coba (proof) hingga edisi karya grafis yang identik dan otentik.
Ada banyak teknik dan bahan untuk menciptakan matrix. Para perupa telah mengenal empat prinsip dasar  teknik untuk membuat matrix cetak grafis, yaitu: cetak tinggi (relief print), cetak dalam (intaglio), cetak datar (planography), dan cetak saring (serigraphy) . Teknik tersebut berkembang mengikuti capaian teknologi di zamanya. Tubuh manusia pun bisa menjadi matrix. Tubuh manusia adalah matrix paling purba, hal ini salah satunya ditandai dengan gambar cap-cap tangan yang ditemukan di dinding gua Gua Pettae dan Pettae Kere Leang-leang, Maros Sulawesi, yang oleh para ahli arkeologi diperkirakan dibuat 8.000-3.000 SM.
Dalam seni cetak grafis, apa yang dikerjakan orang pada matrix baik itu mencukil, menoreh, mengerok, mengasam dan lain-lain, hasilnya akan terlihat setelah dicetak. Dari hasil cetakan, kemudian dapat diketahui teknik apa yang digunakan oleh si pembuatnya. Apa yang tercetak pada media karya merupakan hasil dari apa yang dikerjakan pada matrix. Lepas dari konteks diluar bentuk karya, hasil cetakan karya grafis  secara ‘jujur’ telah ‘bercerita’ sendiri bagaimana kesederhanaan maupun kerumitan proses pembuatan matrixnya.
Menurut saya, karya-karya yang lolos sebagai finalis dalam Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) #3 kali ini, adalah karya-karya dari para pegrafis yang mampu memanfaatkan kejujuran matrix dalam menyampaikan pesan.
 
Salam Cetak
Jogja 11 November 2018
Deni R
 
 
-------------------------------------------------------------------------
 
Prints:  An Honest Message from the Matrix
 
The most basic thing which differentiates printmaking from other forms of visual art is the use of a matrix or reference of printing in the process of making a print. A matrix in printmaking is the ‘womb’. The matrix will give birth to proof prints to the point where all works of the edition are identical and authentic. 
 
There are many techniques and materials which can be used to create a matrix. Artists are familiar with four basic technical methods used to create a print matrix: relief print, intaglio, planography, and serigraphy. These techniques developed in the context of other technological developments in different historical periods. The human body itself can become a matrix and in fact the human body is the world’s oldest matrix, as indicated by the hand prints found on the walls of the Pettae and Pettae Kere Leang-leang caves in Maros, South Sulawesi which archeologist estimate were made between 3,000BCE and 8,000BCE.    
 
In printmaking, what artists do to the matrix; whether to cut, incise, scrape, or erode/oxidize the results will be seen after the work is printed. From the results of the printing process, it can be seen which techniques were used by the artist. What is printed on the medium of the work is the result of what was done to the matrix. Apart from the context of the work, the print results of a graphic work in fact quite ‘honestly’ tells its own story of how simple and yet complex is the process of making a matrix.  
 
In my opinion the works which were selected as finalists in the Third Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) are works by graphic artists who are capable of using the honesty of the matrix to convey their message.
 
Deni R
 
 
English translation by Jerry Chamberland
 


0 Comments

karnaval

12/9/2018

0 Comments

 
Picture
PRESS RELEASE
‘KARNAVAL’
Pameran Tunggal aliE Gopal
5 – 19 Oktober 2018
Tempat: MIRACLE PRINTS, Suryodiningratan MJ II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
Pembukaan: Jumat, 5 Oktober 2018, pukul 16.00 (4 sore)
Cp: Ria Novitri/0815398161980
Deskripsi pameran:
“Makna ‘karnaval’ itu banyak...bermacam-macam” (aliE Gopal)
Melalui pameran tunggalnya yang keempat ini, perupa aliE Gopal semakin menegaskan pilihan artistiknya sebagaimana tampak dalam pameran tunggalnya ketiga di Taman Budaya Yogyakata awal tahun lalu. Ia masih bergairah bemain bahan, mencampur berbagai teknik,  bermain ornamen dengan warna-warna panas, primer dan sekunder. Karya-karyanya secara sadar betul seolah tengah berebut  pehatian. Jika dalam pameran terakhir ia menghadirkan beberapa karya dengan efek gerak yang dibantu alat motor atau biasa disebut kinetik art, maka kali ini karya-karyanya ‘cukup diam’ atau hanya bisa digerakkan jikalau penonton ingin menggerakkannya denga tangan.
Dalam pameran tunggal kali ini, sehabis menggelar pameran tunggal besar di Taman Budaya bulan Maret 2018 yang lalu, seniman aliE Gopal menghadirkan karya-karya baru yang cukup berbeda dari karya-karya terdahulunya. Masih dengan berbagai bahan dan ber-ornamentik yang menjadi ciri khasnya, kali ini ia tidak menghadirkan karya begerak atau seni rupa kinetik.
Ada 4 buah objek berbahan kayu, besi, kawat, kain, tali, cat, spidol dan satu serial cutting paper berjumlah 16 buah.
 
 
 
 
 

0 Comments

tidak apa-apa

12/9/2018

0 Comments

 
Picture
PRESS RELEASE
“TAK APA-APA “ (Medan Kesepian)
Pameran karya Mini Franky Pandana
Miracle Prints, Suryodinigratan MJ II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
14 -18 September 2018
Pembukaan: Jumat, 14 September 2018, pukul 16.00 (4 sore)
Contact Person: Ria Novitri/081539816190
 
Pengantar Galeri:
‘Provokasi Tak Apa-Apa”
Franky “Acun’ Pandana adalah kolektor-seniman-provokator. Sebagai kolektor  ia pandai bergaul, kenal banyak seniman penting, mengoleksi karya-karya bermutu dan rajin mengunjungi art fair/pameran dalam dan luar negeri. Sebagai seniman ia rajin menggambar, membuat kolase, melihat dan belajar dari karya seniman lain, rajin membuka wawasan seni rupa. Sebagai provokator ia gemar mengeluarkan kata-kata pedas dan nyinyir untuk mengkritisi dan membakar semangat perupa-perupa Medan, kota kelahiran dan juga tempat tinggalnya.
Medan, lagi-lagi Medan. Itulah tujuan Franky selama ini, setidaknya terpapar sejak ia mulai gemar mengoleksi karya di tahun 2004. Medan adalah passion Franky dalam  mengoleksi karya (termasuk mengelola sebuah ruang seni Embun Art Room, Medan), menggambar dan melontarkan kritik dan provokasi-provokasinya. Ia memelihara ‘musuh-musuh’ berdebatnya di kota Medan dan para seniman lain yang tidak sepaham dengan pemikirannya. Koleksinya mengalir, karya-karyanya mengalir dan komentar-komentar pedasnya mengalir. Di satu sisi ia sangat ‘meresahkan’ buat ‘musuh-musuh’nya, namun di sisi yang lain mendatangkan kekaguman buat yang memahaminya. Betapa kecintaannya pada seni rupa dan betapa kecintaannya pada kota Medan. Ia ingin kota Medan berkembang seni rupanya dan berkembang apresiasinya mengejar kota-kota lain di Indonesia. Saat ini berbagai aspek seni rupa di Medan masih belum memenuhi harapannya.
Pameran ini ia anggap hanya sebuah ‘hiburan’, main-main dengan karya yang ‘main-main’ pula, dibuat sekedar mengobati rasa bosan (dengan pekerjaan sehari-harinya sebagai pemilik sebuah lembaga kursus bahasa Inggris di Medan_pen). Karya-karya ini termasuk ‘karya mini’, karena hanya berukuran antara 14 cm x 9 cm sampai  16 cm x 12,8 cm untuk kolase dan A5 untuk drawing. Judul pamerannya pun “Tak Apa-Apa”. Sangat santai, sesantai jawaban seseorang ketika terpaksa menerima sebuah keadaan yang sebetulnya ia sendiri ragu atau tidak siap menerimanya, namun ia tidak enak hati jika harus menyatakan perasaan sesungguhnya. Seperti kalimat yang belum selesai, menggantung khas basa-basi Timur, padahal ia orang Medan yang terkenal tidak suka basa-basi. Apakah kita akan langsung percaya dengan pernyataan seninya yang seolah berancang-acang menegasi bila ada kritik terhadap karyanya yang dianggap kurang serius, kurang artistik, kurang teknik dan serba kurang lainnya? Hal yang terasa bertolak belakang dengan kegemarannya mengkritisi karya dan sikap seniman selama ini.
Miracle Prints kali ini berkesempatan menghadirkan karya-karya seniman multi julukan ini. Karya-karya ini barangkali masih menyimpan provokasi sebagaimana kegemarannya, namun tidak dengan kata-kata atau ‘status-status pedas dan nyinyir’ sebagaimana di media sosialnya.  Ia tampil dengan permainan garis, bentuk, komposisi, warna melalui kreasi potongan kertas bergambar yang ditemukannya. Ini adalah provokasi lunak,  yang tidak memancing munculnya ‘musuh-musuh baru’. Ok, “Tak apa-apa’ (dibilang ini-dibilang itu, dianggap begini-dianggap begitu, ditawar segini-ditawar segitu dan seterusnya)......asalkan.......hmmm.....
Pameran ini mendapat banyak dorongan dari Hendro Wiyanto yang memberi usulan, saran-saran, ‘perploncoan’ kepada seniman, membantu menyeleksi sebagian karya dan menyumbangkan tulisannya. Kami mengucapkan terima kasih. Semoga cukup menghibur, sebagaimana harapan senimannya.
Syahrizal Pahlevi/Miracle Prints
 
Artist Statement:
“Tak Apa-Apa”
Karya-karya kolase ini dimulai dari kebosanan sembari melakukan rutinitas. Dari kebosanan itu menjadi sebuah keinginan menjadikan sesuatu. Dari sesuatu itu jadilah pameran ini. Tidak ada konsep yang berat-berat, tidak ada ide yang cerdas sekali, kadang juga tidak untuk memuaskan nafsu visual.  Karya-karyaku kali ini hanya seperti “mainan” yang menghibur dalam masa kebosanan. Semoga mereka juga bisa menghibur kamu.
Franky Pandana, 2018
 
Biodata seniman:
Lahir      : 26 Maret 1976
Solo exhibition:
2012       : “Sensibility”, A2 Gallery, Malaysia
2013       : Desk Project”, A2 Gallery, Malaysia
2014       :“To You”, Embun Art Room, Medan
2016       : “I Was Here...” Galeri Seni Rupa UNIMED, Medan
2017       : “I Sense” SUB STORE, Tokyo, Japan
2018       :  “Tak Apa Apa” Miracle Prints, Yogyakarta
Group exhibition:
2011       : “Sekarat”, Taman Budaya Yogyakarta
                    “Eleven Artists, A2 Gallery, Malaysia
                    “Portrait”, Galeri UNIMED, Medan
                  “Less is More”, A2 Gallery, Malaysia
2012       : “George Town”, Alpha Utara, Malaysia
2013       : Dollanan 2, JNM, Yogyakarta
                : “Home” Mi Casa Su Casa, Singapore
2015       : “Aku Kamu Dia”, Embun Art Room, Medan
2016       : “Desk Top Project” Jalan Kenangan, Jakarta
2017       : “Drawing Purba”,   Miracle Prints, Yogyakarta,
2018       : “Eutopia”, Focal Point Jadwee Studio, Medan
: Pameran Sumatera, Taman Budaya Medan
 
Award:
2012       : Artsist of The Year versi majalah Kover Medan
 
KOLASE KESEPIAN
 
Pada suatu ketika, hampir setiap hari Franky mengirimkan gambar-gambarnya melalui whatsapp kepada saya. Terkesan dia sangat rajin mencoret di kertas apa saja, pada bekas bungkus, sisa buku pelajaran yang masih kosong, karcis parkir, mungkin juga lembaran bon belanja barang atau nasi Padang. Dia gemar menggambar figur atau sosok yang sendiri. Gambar itu terkesan tidak selesai, dibiarkan mengambang tanpa sesuatu yang bisa diidentifikasi sebagai tempat, ruang atau kejadian tertentu. Sosok yang muncul hampir dapat dipastikan adalah jenis laki-laki, atau kadang seperti bayang-bayang jangkung dengan beberapa penanda atau objek sepele di sekitarnya. Lain kali dia mengirimkan serangkaian gambar lagi yang mirip kartun atau makhluk-makhluk ajaib. Dia memang penggila komik, terutama jenis manga, termasuk komik dengan adegan-adegan porno yang gambarnya begitu ‘lempeng’ atau terus terang.
Setelah bertubi-tubi menerima kiriman itu, saya kemudian menyadari bahwa Franky adalah pemuja dua seniman hebat Indonesia, Ugo Untoro dan eddiE haRA. Jenis gambar-gambar dua seniman ini tampaknya begitu kuat menyedot Franky. Ringkasnya, dia terkesima dan tampaknya selalu terbawa-bawa oleh suasana atau kejadian “puitis” pada gambar-gambar Ugo, tapi tidak ingin kehilangan selera humor populernya. Suatu kali dia menghadiahi saya sebuah buku tebal berisi gambar-gambar yang mirip kerjaan remaja tanggung yang frustrasi. Dia sebut beberapa kali nama penggambarnya, tapi saya tidak pernah bisa mengingatnya sampai sekarang.
Kali yang lain dia bertanya, “bagaimana cara menggambar yang “benar”? Saya membalasnya singkat: “Mesti membebaskan dulu dari imajinasi atau cita-cita menjadi penggambar mahir seperti Ugo atau eddiE haRA.” Belakangan saya makin yakin, Franky memang tidak ingin jadi “mahir”, dia lebih betah dengan yang serba bastar.
 
Setelah itu lama dia tidak memborbardir dengan gambar (padahal saya pernah mengunjungi kantor dan rumahnya di Medan dan beberapa coretan yang lebih orisinal saya temukan di dinding rumah, peti barang atau papan tulisnya). Ketika dia mulai kumat dengan gambar-gambar bastar, dia ternyata membikin jenis lain: kolase. Dia mengguntingi majalah-majalah bekas, menikmati gambar-gambar pop, warna cetakannya, jungkir-balik bentuk-bentuk huruf, dan semua judul bualannya. Mungkin dia baca juga caption-captionnya, karena hobi bacanya di atas standar rata-rata seniman kita. Nah gunting-menggunting tiap malam itu tiba-tiba saja dipilih untuk dibikin kolase di atas ratusan lembar kertas kecil.
Guntingannya tajam, komposisinya standar, tapi kini dia bebas dari “kewajiban” untuk membikin garis puitis. Dibikinnya blok-blok kedap bersegi-segi, jadinya tetap raut laki-laki juga, dengan segala jenis topengnya. Jumlahnya ratusan. Kode-kode populer dan keseharian apa yang paling menarik bagi dia, laki-laki ? Apakah dia sudah menjadi “bastar” sungguhan dengan cara membelakangi dua seniman yang digandrungi?
Tapi kebandelan Franky untuk terus menggambar, dan kini kolase, agaknya didorong oleh kesepiannya di kota kelahirannya sendiri, Medan. “Medan kesepian,” katanya. Kesepian medan (seni rupa) rupanya ditambah lagi kini dengan kesepian dan kerajinan menggambar dan menempel. Kesepian ganda itu yang membikin Franky bercakap-cakap dengan kepalanya sendiri, dengan gambar-gambar dan kini kolasenya sendiri.
Selamat berpameran di Yogya, Franky!  +++ (hendro wiyanto) 
 
 
 
 

0 Comments

heading jimb "art collective"

12/9/2018

0 Comments

 
Picture
Pess release
Pameran bersama HEADING JIMB #3
“Art Collective”
Heading JIMB (untuk seterusnya  disingkat HJ saja) adalah pameran dalam rangka promosi dan fundrising even  Jogja International Miniprint Biennale (JIMB)  www.jogjaminiprint.com. HJ selalu diadakan beberapa bulan menjelang pameran karya finalis dan pemenang even JIMB setiap dua tahunnya.  HJ #1 diselenggarakan tahun 2014 dengan nama “Heading JMB” di Via-Via Cafe Yogyakarta dan HJ #2 dilaksanakan tahun 2016 di 10 titik art venue di Yogyakarta dengan tema “Multiple”.
HJ #3 mengambil tema “Art Collective” atau dapat diterjemahkan sebagai “gabungan/kebersamaan berbagai (karya) seni”. Jika pada pelaksanaan HJ #1 dan #2 selalu hanya menampilkan karya-karya seni grqfis, maka dalam pelaksanaan kali ini menampilkan bentuk/media karya  seni rupa apapun, tidak terbatas hanya seni grafis. Pertimbangannya adalah even seni grafis sekelas JIMB perlu ditopang oleh bentuk media seni lainnya untuk melebarkan animo atau keterlibatan publik/seniman/pengamat/pencinta seni dan sebagainya. Toh ujung-ujungnya even seni grafis itu sendiri akan memetik manfaat dari keterlibatan banyak pihak ini.
Karya-karya beragam: lukisan cat akrilik di kanvas (Ronald, Decki), cat akrilik dan pigment lain (Erzane, Amin), ballpoin dan tinta (Laksmi), cukil kayu di kertas (M. Fadhlil), linocut, water color, mixed media (Agugn), woodcut cetak di kertas (kerjasama Heart Lab dan ilustrator Hari Prast) dan karya paper mache yang dibuat massal sebagai bentuk support ekonomi kreatif (kerjasama Heart Lab dengan ibu-ibu rumah tangga di Yogya dan Bali).
HJ #3 “Art Collective” akan dilaksanakan dari tanggal 24 Agustus sampai 7 September 2018 bertempat di MIRACLE PRINTS, Suryodiningratan MJ II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141. Acara ini dibuka oleh Jenni Vi mee Yei, seorang pencinta seni dan pemilik galeri di Yogyakarta.
Seniman undangan:
  1. AGUGN PRABOWO/Bali
  2. AMIN TAASHA/Yogya
  3. M. FADHLIL ABDI/Yogya
  4. LAKSMI SHITARESMI/ Yogya
  5. HEART LAB CREATIVE STUDIO/Bali
  6. RONALD APRIYAN/Yogya
  7. ERZANE NE/ Yogya
  8. DECKY FIRMANSYAH/ Yogya

0 Comments

small thing high value

12/9/2018

0 Comments

 
Picture
PENGANTAR GALERI
 
            Bermula dari perbincangan saat larut malam di studio seorang seniman senior yang mempunyai reputasi internasional maka bergulir ide untuk mengadakan pameran yang menampilkan karya-karya seni rupa berukuran kecil namun mempunyai nilai yang tinggi. Gagasan ini terlaksana saat berdiskusi dengan Syahrizal Pahlevi yang menjadi kurator pameran bersama Small Thing, High Value di Visma Gallery, Surabaya.
 
Karya Salvador Dali bertajuk The Persistence of Memory hanya berukuran 24 x 33 cm. Walaupun berukuran mini, namun lukisan surealis yang sering disebut juga sebagai Jam yang Meleleh ini merupakan kanon seni rupa yang sempat kami saksikan di MoMA (Museum of Modern Art), New York.
 
            Yang dimaksud dengan value atau nilai yang tinggi itu adalah karya seni rupa yang mempunyai nilai intrinsik yang berkualitas yaitu bersandarkan pada nilai estetik, bukan sekedar harganya mahal. Kami bermimpi dari pameran ini ada yang menjadi kanon seni rupa Indonesia walaupun ukuran karyanya kecil.
 
Selamat menikmati karya-karya mini yang memiliki nilai intrinsik yang tinggi.
 
 
Salam Budaya,
 
Visma Gallery
Irawan Hadikusumo dan Teja P. Lesmana
 
………………..
 
KURATORIAL
‘SMALL THING HIGH VALUE’
            Perkara berkarya ukuran kecil  bukan sekedar perkara mengganti kuas yang lebar dengan kuas yang relatif kecil bagi pelukis atau memperkecil ukuran objek yang dilukis sehingga menjadi tampak kecil. Juga bukan sekedar mempersingkat proses dan waktu pengerjaan karena biasanya melukis ukuran besar makan waktu lama. Bukan pula perkara menghemat biaya material yang harus dikeluarkan dibanding jika membuat karya ukuran besar yang membutuhkan material banyak dan mungkin mahal. Juga bukanlah karena ingin memberi harga terjangkau kepada penggemar karya seni sebab karya berukuran besar biasanya akan dihargai tinggi sehingga menurunkan gairah peminat untuk memilikinya. Berkarya ukuran kecil dapat bermakna lebih dari itu baik secara gagasan hingga eksekusinya tergantung bagaimana masing-masing seniman mengolahnya.
Itu di wilayah seniman. Bagaimana dengan wilayah apresian? Tidakkah para penonton biasa, pencinta seni, pengamat dan kolektor yang telah lama dibombardir kehadiran karya-karya berukuran besar dan raksasa dari beragam pameran akhir-akhir ini akan dapat menikmati karya-karya berukuran kecil? Ketika mata dan segenap indera ini terbiasa mengonsumsi pameran yang menyuguhkan karya-karya mainstream, menikmati pameran yang berbeda dari kecenderungan yang terjadi merupakan ‘jeda’ dan  ruang bernafas agar dapat melihat alternatif lain yang  tetap berkualitas dan tidak kalah pesonanya. Secara pragmatis karya dalam ukuran kecil akan menawarkan kelebihan-kelebihannya tersendiri memasuk ruang dan gaya hidup para apresian yang majemuk.
Pameran karya berukuran kecil memang bukan hal baru. Sudah banyak pameran sejenis dengan mengusung bermacam judul menarik dilakukan oleh galeri/lembaga seni/komunitas/seniman secara personal. Frekuensinyapun cukup teratur dan tidak pernah menyurut. Namun bagi kami tetap saja menantang untuk ‘memberi  tugas’ para seniman terundang kali ini agar membuat karya berukuran maksimal 40 x 40 cm untuk karya 2 dimensi dan 40 x 40 x 40 cm untuk karya 3 dimensi . Penugasan  ini ingin melihat apa yang bisa dilakukan oleh para seniman dengan ‘kanvas-kanvas’nya dan bagaimana kemudian para apresian meresponsnya.  
Judul ‘Small Thing High Value’ merujuk pada kehadiran karya-karya yang secara fisik berukuran kecil tetapi mampu menunjukkan hasil usaha seniman yang melebihi ukuran fisiknya tersebut. Urusannya dengan kualitas, baik secara ide maupun tekniknya. Kita dapat melihat betapa para perupa yang tampil dalam pameran ini meninggalkan jejak-jejak usaha mereka untuk menaklukkan bidang yang terbatas tersebut. Sebagian perupa bukan masalah ketika membuat karya berukuran kecil karena ia terbiasa atau memang gemar berkarya demikian. Sebagian lain mengganggapnya sebagai kesempatan refreshing, berkarya tanpa beban. Sementara sebagian sisanya menerimanya sebagai tantangan yang harus ditaklukkan, sembari mereka-reka bagaimana berkarya bukan dalam ukuran kegemarannya. Barangkali mereka cukup bersusah payah menyelesaikan karyanya kali ini. Ternyata, dalam kondisi seni rupa saat ini berkarya ukuran kecil dan bagus itu cukup sulit. Tidak percaya? Buktinya beberapa perupa dalam pameran ini tetap menawar ukuran karya melebihi yang kami minta sehingga dengan terpaksa sedikit toleransi kami berikan.             
Value dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai: nilai, harga, kadar, arti. Dalam membuat karya seni rupa seperti lukisan atau drawing, value sendiri  adalah elemen dasar yang penting disamping 6 elemen pokok lainnya seperti garis, bidang, bentuk, ruang, tekstur dan  warna.  Value biasa diartikan sebagai tekanan gelap atau shades dan tekanan terang atau tints dari pigment warna. Ukurannya seberapa kualitas shades dan kualitas  tints dari pigmen warna yang diterapkan untuk memunculkan elemen-elemen rupa lainnya dalam sebuah lukisan atau drawing. Sebagai bandingan begitu pentingnya value, dalam ranah politik dunia, seorang semacam Saddam Husein adalah High Value Target (HVT) No. 1 bagi militer Amerika Serikat sebelum kejatuhannya. Berangkat dari pandangan ini, karya seni rupa berukuran kecil memang diharapkan tidak diperlakukan sepele atau digampangkan. Karya berukuran kecil sudah seharusnya tetap menjaga kualitas, jika perlu melebihi ukurannya.
Syahrizal Pahlevi
 

0 Comments

deathline

12/9/2018

0 Comments

 
Picture

0 Comments

dari kasang sampai sijenjang-101

12/9/2018

0 Comments

 
Picture
PRESS RELEASE
“Dari KASANG Sampai SIJENJANG – 101”
Display 101 karya gambar Syahrizal Pahlevi
Tempat                                : MIRACLE PRINTS Art Shop & Studio, Suryodiningratan MJ II/853, Mantrijeron,
                               Yogyakarta 55141
Waktu                   : 13 – 27 Juli 2018
Jam buka             : 10.00 – 17.00 (Senin – Sabtu)
Pembukaan        : Jumat, 13 Juli 2018, pukul 16.00 (4 sore)
Dibuka oleh        : Heri Dono
Kontak                  : Ria Novitri/081539816190
Deskripsi              :
“Dari KASANG Sampai SIJENJANG – 101” adalah judul pameran gambar oleh Syahrizal Pahlevi. Pameran ini sebenarnya mengisi jadwal yang kosong di ruang pameran Miracle Prints karena perupa yang telah dijadwal pameran sebelumnya meminta penundaan waktu karena sesuatu hal.
Pameran akan menampilkan 101 (seratus satu) karya terdiri dari 100 seri gambar dan 1 instalasi gambar. 100 seri gambar didisplay menggunakan frame kaca dan sebagian tanpa frame. Gambar-gambar ini dibuat dengan bahan tinta cina dan cat akrilik di atas karton tebal dalam 2 ukuran: 20 cm x 33 cm dan 20,5 cm x 27 cm. Sedangkan 1 karya instalasi gambar berupa setting ruang kerja seniman dengan peralatan untuk membuat karya gambar berikut prosesnya yang akan berlangsung sepanjang pameran.
Judul pameran merujuk pada nama tempat dimana sebagian besar dari 100 seri gambar dibuat yaitu di sekitar Kecamatan Kasang dan kelurahan Sijenjjang, Jambi Timur, Sumatera. Kebetulan pada bulan Juni 2018  lalu ia sekeluarga melakukan perjalanan mudik lebaran selama 3 minggu ke sana dan mengisi waktu senggang dengan membuat lebih dari seratus karya gambar dan sketsa di kertas. Sementara angka 101 di belakangnya merujuk pada jumlah keseluruhan karya yang dtampilkan dalam pameran ini. Angka ini dianggap angka keramat karena diambil dari inisial SS – 101 milik Bapak Seni Lukis Indonesia Modern S. Sudjojono yang juga pernah menjadi ketua Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) pada masa dulu.
Pameran akan dibuka pada hari Jumat, 13 Juli 2018, pukul 16.00 (4 sore)  oleh perupa Heri Dono.
Pameran belangsung sampai 27 Juli 2018 dengan jam buka pameran: 10.00 – 17.00, Senin – Sabtu.
(Miracle Prints).
 
 
Statement artist:
Ide membuat seri gambar ini didorong  untuk mengisi kegiatan disela-sela urusan silaturahmi dengan anggota keluarga selama masa mudik lebaran Idul Fitri 2018. Dorongan ini mendapatkan semangatnya  karena adanya hasrat-hasrat: ‘untuk mendokumentasi’, ‘mengenal kembali akar budaya’ (Kota Jambi dan kota kelahiran saya Palembang hanya berjarak 6 jam perjalanan darat. Secara topografi, bahasa dan adat istiadat terdapat banyak kesamaan) dan ‘mencoba kembali bekerja menggunakan pigmen cat dan kuas’ yang sudah saya tinggalkan  lebih 8 tahun lamanya.
Pilihan media kertas dalam ukuran kecil, tinta cina dan cat akrilik: Karena sederhana, ringkas, mudah ditemukan dan mudah dibawa bekerja ‘on the spot’.
Pilihan hanya menggunakan warna hitam putih: Karena mengutamakan substansi agar fokus dengan bentuk. Saya mencoba bermain half tone dari gelap, abu-abu dan terang untuk memunculkan bentuk-bentuk objek yang dihadapi dan diputuskan secara cepat dan tepat.
Pilihan objek dan tempat/lokasi: Terjangkau, intim, mengikuti suasana hati dan momentum. ‘KASANG’ dan ‘SIJENJANG’ adalah nama kecamatan dan kelurahan di Jambi Timur yang dekat dengan rumah mertua saya dimana kami sekeluarga tinggal selama 3 minggu. 95 % objek-objek memang diambil di seputar Kasang dan Sijenjang. Hanya beberapa diambil di Muaro Jambi dan dari atas kapal feri Bakauheni-Merak.
Judul ‘Dari KASANG sampai SIJENJANG - 101’  selain untuk menunjukkan lokasi dimana sebagian besar seri gambar-gambar ini dibuat juga untuk menunjukkan jumlah karya yang dipamerkan. Angka 101 ini juga adalah angka keramat buat dunia seni rupa Indonesia karena mengingatkan kepada Bapak Seni Lukis Indonesia Modern yang juga pernah menjadi ketua Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI), S. Sudjodjono,  yang terkenal dengan inisialnya SS. 101. Pameran ini memang dihadirkan untuk mengenang jasa SS. 101 dalam perjalanan seni rupa Indonesia masa kemerdekaan.
Syahrizal Pahlevi

0 Comments

kecil itu indah after edwin's #2

12/9/2018

0 Comments

 
Picture
PRESS RELEASE
PAMERAN SENI RUPA
KECIL ITU INDAH AFTER EDWIN’S (KIIAE) #2
Waktu                   : 1 MEI – 4 JUNI 2018
Tempat                                : MIRACLE PRINTS Art Shop  Studio
                  Space I: JL. Suryodiningratan 34, Mantrijeron, Yogyakarta 55141 (tempat lama)
                  Space II: Suryodiningratan MJ. II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141 (tempat baru)
Pembukaan        : Selasa, 1 MEI 2018, pukul  16:00 di Space II: Suryodiningratan MJ II/853,
                Mantrijeron, Yogyakarta 55141
Dibuka oleh        : Dr. OEI HONG DJIEN
Acara                     : - Live painting oleh Octaravianus Baskara dan solo akustik oleh Tantri Burhanudin
  - Konferensi pers 3rd Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) 2018
  - Launching Miracle Prints tempat baru
Penyelenggara  : Teras Management dan Miracle Prints
Contact Person: Ria Novitri/081539816190
Email                     : miracle8artshop@gmail.com
Website               : www.terasprintstudio.com
SENIMAN PESERTA:
ABDI SETIAWAN, ADI GUNAWAN, ADIN WAHYU WIDYARDINI, AGUNG ‘PEKIK’ HANAFI, AGUS ALMASIH, ARISWAN ADHITAMA, DADI SETIADI, DESY GITARY, GUNADI ‘UWUH’, HARI BUDIONO, HEDI HARIYANTO, IS HENDRI ZAIDUN, JANURI, JOKO ‘TOYING’ WIDODO, MA. ROZIQ, MEI ISIN, MUMTAZ KHAN CHOPAN, NARDI ‘PIT’, OKTARAVIANUS BASKARA, , RIDUAN, SUPAR MADIYANTO, SUSILO BUDI PURWANTO, TEGUH SUPRIYONO, THERESIA AGUSTINA SITOMPUL, TINA WAHYUNINGSIH, TRIEN ‘IEN’ AFRIZA, UGO UNTORO, UTIN RINI, WAHYU GUNAWAN
KECIL ITU INDAH AFTER EDWIN’S (KIIAE) adalah even tahunan Miracle Prints yang diselenggarakan pada bulan-bulan penyelenggaraan Artjog. KIIAF adalah bentuk presentasi dan pendistribusian karya seni ukuran kecil kepada para pencinta seni melalui ajang pameran/bazaar yang dikemas menarik.
KECIL ITU INDAH AFTER EDWIN’S (KIIAE) #1 telah diselenggarakan pada 13 Mei – 13 Juni 2017 yang lalu dengan 21 perupa.. 
Pameran “Kecil Itu Indah”  identik dengan Edwin’s Gallery (Edwin’s). Ini dikarenakan setidaknya Edwin’s telah mengadakan 15 kali pameran dengan judul tersebut dan mengundang banyak perupa sebagai peserta. Modelnya adalah para perupa  diminta membuat karya dalam ukuran kecil /mini untuk pameran  sehingga karyanya mudah terjangkau harganya dan mudah dibawa (cash and carry) ketika ada yang ingin mengoleksinya. Sebenarnya ada tujuan lain karya dalam ukuran kecil menurut hemat kami diluar urusan harga dan kepraktisan. Karya ukuran kecil dapat menjadi “jeda dan alternatif”  bagi perupa, penonton dan pencinta seni sekaligus merekomendasikan bahwa  ukuran yang kecil tidak mengurangi kualitas maupun muatan dari sebuah karya. Barangkali ini sejalan dengan frasa terkenal yang juga menjadi judul buku di tahun 1973 ‘SMALL IS BEAUTIFUL’ dari ahli ekonomi keturunan Jerman Ernst Friedrich Schumacher sebagaimana dikutip oleh R. Fadjri yang menyatakan bahwa buku itu merupakan kritik terhadap ekonomi Barat saat berlangsung krisis energi pada 1973 dan dimulainya era globalisasi. Sebagai lawan dari frasa itu: Bigger is Better.
Pameran“KIIAE” yang mengundang berbagai perupa dalam berbagai media ini mirip-mirip atau boleh dianggap sengaja “meneruskan” konsep pameran oleh Edwin’s tersebut.  Walau kita ketahui konsep pameran kecil/mini baik dengan nama sama maupun nama yang lain tidak hanya diusung oleh Edwin’s saja karena telah banyak pemeran serupa dilakukan baik oleh galeri, komunitas, art space termasuk oleh seniman secara mandiri. Namun kami mencatat saat ini hanya Edwin’s yang membuat even tersebut sebagai even berkala mereka sehingga poin inilah yang ingin dicatat dan menjadi pijakan proyek “KIIAE”.
KIIAE #2 kali ini menampilkan karya-karya dari 28 perupa Yogyakarta mulai dari pegrafis, pelukis, pematung, keramikus, seniman mixed media, fotografi dan lain-lain. Masing-masing menyertakan 2 buah karya berukuran maksimal 40x40x40 cm yang akan didisplay di dua tempat: Space I atau MP lama di jl. Suryodiningratan 34, Mantrijeron, Yogyakarta 55141  dan Space II atau MP baru di Suryodiningratan MJ. II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141. Pembukaan dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 2018 pukul 16.00 (4 sore) bertempat di Space II untuk memperkenalkan tempat baru MP yang akan secara resmi pindah mulai awal Juli 2018 yang akan datang. Rencananya pameran akan dibuka oleh bapak dr. Oei Hong Djien dan dimeriahkan dengan aksi ‘live painting’ oleh Oktaravianus Baskara dan Solo akustik oleh Tantri Burhanudin. Di acara pembukaan ini juga akan ada acara konferensi pers even The 3rd Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) 2018 yang kebetulan pendaftaran terbukanya dimulai pada tanggal 1 Mei 2018.
Sebagaimana pameran pertama 2017 lalu, pameran KIIAE #2 ini diniatkan sebagai “Pameran Atas Pameran”. Agar tidak menjadi sekedar penerus, pengikut atau KW2, kami mengajak para perupa undangan dapat memasukkan respon pribadinya  mengenai konsep “Kecil Itu Indah” dalam karya masing-masing sehingga terjadi sebuah dialog kreatif oleh sebuah pameran atas pameran lain yang pernah ada sebelumnya. Mungkin sekedar komentar, mempertanyakan, mengkritisi atau justru merayakannya. Apakah hal tersebut terwujud? Barangkali pameran itu sendiri yang akan menjawabnya nanti.
Yogyakarta, 25 April 2018,
Syahrizal Pahlevi/Miracle Prints

0 Comments
<<Previous

    Author

    Write something about yourself. No need to be fancy, just an overview.

    Archives

    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    August 2021
    June 2021
    May 2021
    April 2021
    March 2021
    January 2021
    December 2020
    November 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018

    Categories

    All

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.