teras
  • MIRACLE PRINTS
    • News >
      • PLEASURE-PASSION >
        • Ariswan Adhitama
        • M. Muhlis Lugis
        • Reno Megy Setiawan
        • Syahrizal Pahlevi
      • Archives >
        • Mini Residency >
          • Online Application
      • Home >
        • MEMBER of Miracle Prints >
          • Support
        • Gallery >
          • Merchandise
        • TERAS Management
        • TERAS PRINT DEALER
        • About
        • Links
        • Contact
  • Studio
    • Facilities
    • Editioning
    • Classes
    • History and Technique Printmaking
    • Articles on Printmaking from Art in Print
  • Printmaker Syahrizal Pahlevi
  • JIMB
  • Blog

miracle blog

Pameran Keliling 3rd Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) 2018

1/30/2019

0 Comments

 
Picture

Pameran Keliling 3rd Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) 2018
Tempat                        : Balai Soedjatmoko Solo
Waktu                         : 7 – 14 Februari 2019
Materi pameran           : 117 karya finalis dan pemenang 3rd JIMB 2018
Pembukaan                  : Kamis, 7 Februari 2019, pukul 19.00
Dibuka oleh                 : Theresia Agustina Sitompul
Kerjasama Teras Management dan Balai Soedjatmoko Solo
Pengantar
Pameran di Balai Soedjatmoko Solo ini merupakan pameran pertama dari rangkaian pameran keliling 3rd JIMB ke beberapa kota di Indonesia. Pameran ini terselenggara berkat kerjasama pihak Balai Soedjatmoko Solo dengan Teras Print Studio  selaku organizer 3rd JIMB 2018. Ada 117 karya seni grafis berukuran maksimal gambar 20 x 20 cm yang merupakan karya finalis dan pemenang even 3rd JIMB yang dipamerkan.
Setelah pameran di Museum Dan Tanah Liat (MDTL) Yogyakarta pada 20 – 30 November 2018 yang baru lalu, pihak penyelenggara memang merencanakan dapat memamerkan ulang materi pameran 3rd JIMB 2018 ke beberapa tempat di beberapa kota di Indonesia sepanjang tahun 2019.  Jika dalam pameran di MDTL Yogyakarta sebelumnya peserta masih ditambah 41 karya dari 2 negara tamu, dalam pameran keliling karya-karya seniman negara tamu tidak lagi disertakan. Pameran keliling ini bertujuan mempromosikan even JIMB itu sendiri sekaligus mempopulerkan seni grafis secara umum. Lewat materi karya-karya finalis dan pemenang dari 15 pegrafis Indonesia dan 50 pegrafis internasional dari 26 negara, pameran keliling ini penting untuk memberi kesempatan agar lebih banyak lagi masyarakat dan penikmat seni di Indonesia menikmati karya-karya yang terseleksi yang dapat dianggap mewakili kecenderungan seni grafis yang berkembang saat ini di dunia. Banyak pegrafis penting yang mondar-mandir di berbagai bienal/trienal seni grafis internasional berpartisipasi dan hampir semua teknik seni grafis muncul dalam pameran ini seperti woodcut, linocut, embose, engraving, drypoint, aquatint, mezzotint, etching, silk screen, lithography, china colle, mixed techniques.
Sebagai informasi panitia 3rd JIMB kali ini menerima partisipasi 178 seniman terdiri dari 149 seniman yang mendaftar sebagai peserta seleksi dan 29 seniman asal China dan Filipina yang diundang sebagai negara tamu dimana karya mereka tidak mengikuti seleksi dan kompetisi. Antusiasme peserta luar negeri begitu luar biasa. Jika ditambah dengan seniman  tamu, tercatat 136 seniman internasional dari 32  negara  berpartisipasi yang berarti meningkat  hampir 200 % dari bienal 2016 yang diikuti 77 seniman internasional (atau 80 jika ditambah dengan 3 seniman internasional yang diundang sebagai tamu kala itu). Sementara seniman Indonesia diwakili hanya oleh 42 seniman atau menurun 60% dari angka 99 peserta di bienal 2016 lalu. Angka partisipasi yang cukup memprihatinkan juga buat seni grafis Indonesia ditengah upaya berbagai pihak baik perorangan maupun lembaga yang tengah gencar mempopulerkan seni grafis selama ini. Namun panitia tetap bersemangat mengingat seni grafis di Indonesia memang selalu menunjukkan trend pasang-surut.
Juri 3rd JIMB diketuai oleh A. Sudjud Dartanto, kurator dan dosen FSR ISI Yogyakarta yang pada JIMB kedua 2016 lalu menjadi juri anggota. Sementara juri anggota  yaitu: Deni Rahman, perupa dan dosen di ISI Solo yang pada even JIMB pertama 2014 menjadi salah satu dari tiga pemenang Best Work dan Malcolm Smith, perupa asal Australia yang juga pengelola Crack Printmaking Studio Yogyakarta. Mereka memilih tema “Pesan Dari Matrix / Messages From The Matrix”. Tema ini dibuat sebagai kelanjutan tema pada 2nd JIMB 2016 “Homo Habilis” yang menekankan pada aspek craftmanship dari karya. Kali ini gagasan para peserta ditantang dengan tetap tidak melupakan aspek teknis yang kuat. Juri ingin karya peserta membuka ruang-ruang baru yang inspiratif bagi penonton lewat permainan idiom/simbol masing-masing yang telah mereka kuasai sebelumnya.
Menurut Sudjud sebagaimana dicatat oleh satuharapan.com, “Aspek penjurian pada dua hal, pertama menyangkut teknis dimana seni grafis adalah hal yang tidak bisa terlepas dari urusan teknik (yang benar) untuk menghasilkan karya secara visual. Yang kedua berkaitan dengan tema yang ditawarkan. Bagaimana seniman merespon tema dengan tawaran-tawaran karya (baru) dalam kedalaman karyanya dimana kehidupan atau kebudayaan saat ini adalah abad citra/penanda. Karya dengan visual dan konsep (kesesuaian tema) yang kuat itu yang kita cari”. Lebih lanjut Sudjud menjelaskan tema tersebut menjadi penanda/citra yang lain untuk menghasilkan konstruksi/referensi baru yang bisa bersumber dari realitas itu sendiri (satuharapan.com, 28 Oktober 2018).
Selain menetapkan tema, batasan kompetisi dalam JIMB adalah ukuran medium/kertas maksimal 28 cm x 28 cm dengan ukuran karya tercetak maksimal 20 cm x 20 cm menggunakan 4 teknik cetak konvensional meliputi relief print (wood cut, linocut, mokuhanga, rubbercut, relief etching, engraving), intaglio (etsa, drypoint, mezzotint, aquatint, photo intaglio, sugar print), lithography dan silk screen maupun gabungan teknik cetak konvensional yang ada. Karya dibuat dalam rentang waktu 2017-2018 dan setiap seniman diperbolehkan mengirim 1-4 karya.
 
Penjurian dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2018 di sekretariat 3rd JIMB di Miracle Prints, Yogyakarta. Dari 149 seniman yang mengikuti kompetisi dengan 351 karya yang masuk juri memilih 65 seniman dengan 117 karya sebagai finalis dan berhak menjadi peserta pameran 3rd JIMB 2018. Mereka terdiri dari 50 seniman internasional asal 26 negara (Argentina, Australia, Bangladesh, Brazil, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Hungaria, India, Italia, Jepang, Malaysia, Belanda, Polandia, Rusia, Serbia, Singapura, Spanyol, Thailand, Inggris, Ukraina dan Amerika Serikat) dan 15 seniman dalam negeri asal kota Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Bekasi dan Bali..
Para pemenang 3rd JIMB 2018 terdiri dari 5 seniman internasional dan 1 seniman dalam negeri asal Bekasi yang merupakan jebolan seni grafis Institut Kesenian Jakarta,
Kategori Best Work diraih oleh:
  1. Antoni Kowalski / Polandia dengan karya: Freedom, mezzotint, 10 x10 cm, 6/50, 2017
  2. Evee Eesmaa / Estonia dengan karya: Hidden Info, mixed intaglio, relief 18,8 x 12,8 cm, 2/12, 2018
  3. Maja Zemunik / Kroasia  dengan karya: No Nam, aquatint, drypoint, linocut, 19,3 x 17,5 cm, 1/8, 2018
Kkategori Excellent Work diraih oleh:
  1. Thamrongsak Nimanussornkul / Thailand dengan karya: Noble, Thruth, Wisdom, silk screen , 9,7 x 9,7 cm, 10/11, 2018
  2. Silvana Martignoni / Italia dengan karya: Matrix-The Two Realitas And The Power To Decide, mezzotint, 18,7 x 18,7 cm, 3/50, 2018
  3. Giri Dwinanto / Indonesia dengan karya: Loving, intaglio, 18 x 18 cm, 2/3, 2018
 
Syahrizal Pahlevi/Direktur 3rd JIMB 2018  
link lengkap www.jogjaminiprint.com
 

0 Comments

bedroom in arles

1/30/2019

0 Comments

 
Picture
**********....... 
“Bedroom in Arles”
Trilogi Reduksi II
Seniman                      : Syahrizal Pahlevi
Tempat                                                : KEBUN BUKU, jl. Minggiran 61 A, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
Materi                         : 15 karya seni grafis teknik woodcut reduksi di atas kertas
  tahun 2017-2019 ukuran antara 60 x 60 cm  sampai 70 x 100 cm
 (frame) dan kumpulan tulisan
Waktu pameran          : 12 – 26 Februari 2019
Pembukaan                        : Selasa, 12 Februari 2019, pukul 16.00 (4 sore)
Dibuka oleh                        : Kris Budiman
Penulis                                 : AA. Nurjaman
Jam buka pameran          : Selasa – Minggu. Pukul 10.00 – 17.00. Senin dan hari besar tutup.
Penyelenggara                  : Kerjasama Kebun Buku dan Miracle Prints
CP                                           : Ria Novitri/087739315969
 
“Bedroom in Arles”: Seri II Pameran Trilogi Syahrizal Pahlevi
 AA Nurjaman
Syahrizal Pahlevi menggelar pameran tunggal yang diberinya judul “Trilogi”. Kali ini pameran yang kedua dari Trilogi Pameran Tunggal karya-karya grafis yang dibuatnya dengan teknik cetak reduksi. Setiap penyelenggaraan pameran menyuguhkan tema yang berdiri sendiri, namun juga saling berkaitan. Pada pameran Trilogi pertama mengangkat tema “Dari Guanlan ke Arles”, diselenggarakan di Museum Dan Tanah Liat Yogyakarta, yang menyuguhkan karya-karya seni grafis buah karyanya ketika ia diundang residence di Guanlan, Shenzen, China. Pada pameran keduanya yang diselenggarakan di Kebun Buku, Pahlevi menampilkan sekitar 15 karya grafis yang terinspirasi dari lukisan Vincent Van Gogh “Bedroom in Arles” (1888 – 1889), tiga seri lukisan yang menggambarkan situasi kamar tidur Van Gogh yang berada di Arles. Dan pada pameran Trilogi ketiga, Pahlevi berencana menampilkan semua karya yang dibuatnya dengan teknik cetak grafis reduksi.
Ada apa dengan “Bedroom in Arles”? Kenapa perasaan Pahlevi begitu mendalam terhadap lukisan itu? Alasannya tak lain dari kemunculan suatu memori.
Pada tahun 1991 – 1993, semasa kuliah di jurusan seni lukis ISI Yogyakarta, Pahlevi pernah bekerja di galeri Gajah, sebuah galeri di kawasan Kranggan yang memproduksi karya-karya reproduksi buah karya seniman terkenal Eropa, seperti Picasso, Gauguin, dan yang paling sering dikerjakannya adalah mereproduksi karya-karya Vincent Van Gogh. Dalam kelanjutan kariernya sebagai seniman, Pahlevi lebih menekuni seni grafis. Hingga 27 tahun kemudian pada tahun 2017, ia diundang residence ke Guanlan Original Printmaking Base, Shenzen,  China untuk mengembangkan seni cetak grafisnya. Ketika berada di Shenzen itulah, ia sempat mengunjungi Dafen Artis Village, yang merupakan sebuah pabrik reproduksi karya-karya seniman terkenal di dunia. Maka bangkitlah memori Pahlevi ke pengalaman hampir tiga puluh tahun lalu. “Memori itu seperti proses inkubasi, semakin ditahan semakin kuat menekan,” ungkapnya. Maka ketika kembali ke Yogyakarta, ia segera menyusun Trilogi Pameran Tunggalnya yang mengangkat memori ketika ia mengerjakan karya-karya lukisan reproduksi.
Dalam mewujudkan memorinya, Pahlevi tidak melukis sebagaimana pernah dilakukannya, melainkan menggunakan teknik cetak grafis melalui proses reduksi. “Pengertian istilah reduksi, erat kaitannya dengan pengungkapan kembali pengalaman di masa lalu. Suatu tatanan perjalanan yang tidak mungkin ditata ulang secara sempurna sesuai kenyataan seperti yang saya alami tempo dulu.” 
Ungkapan Pahlevi menyatakan bahwa suatu pengalaman yang diwujudkan menjadi karya sastra maupun seni rupa, tentu saja melalui suatu proses penyederhanaan, sehingga yang tampil hanya bagian intinya saja sebagai pokok masalah yang membangkitkan memori-memori. Istilah reduksi dalam pameran tunggalnya kali ini yang diberi judul “Bedroom in Arles” erat dengan pengungkapan inspirasi, bahwa sesuatu yang diungkapkan adalah kesan mengenai lukisan “Bedroom in Arles”, bukan menggambarkan kembali karya Van Gogh secara utuh seperti pernah dikerjakannya tempo dulu. Maka melalui pameran ini Pahlevi menegaskan istilah reduksi sebagai makna dari memori-memori, yang kaitannya dengan salah satu teknik cetak grafis.
Reduksi “Bedroom in Arles”
Reduksi merupakan suatu teknik cetak menggunakan satu plat kayu melalui proses penghilangan bagian-bagian yang tidak diperlukan dalam menyusun tingkatan warna yang dicetak. Syahrizal Pahlevi dalam menciptakan karya-karyanya kali ini hanya menggunakan satu papan cetakan atau sebuah plat kayu lapis. Plat kayu itu diberi warna cat dengan cara di rol kemudian diterapkan pada kertas dengan cara dipres. Setelah disalin menjadi beberapa edisi sesuai kebutuhan, plat kayu cetakan itu kemudian digores dengan pahat grafis untuk membuat obyek gambaran berikutnya yang akan dipres dengan warna berikutnya. Setelah didapatkan warna kedua, diteruskan dengan obyek gambaran yang diberi warna ketiga dan seterusnya, sampai plat cetakan itu habis fungsinya. Cetakan reduksi satu plat tidak bisa diulang.
Pengertian reduksi dalam karya Pahlevi “Bedroom in Arles” menampilkan beragam rekonstruksi dari tiga seri karya Vincent Van Gogh “Bedroom in Arles” (1888 – 1889) melalui teknik cetak grafis. Lain halnya dengan lukisan “Badroom in Arles” yang dibuat Vincent Van Goh yang dibuat langsung di kanvas, di mana ekspresi goresan dan sapuan warna bisa terlihat dengan jelas. Ekspresi dalam karya “Bedroom in Arles” buah karya Pahlevi hanya bisa terlihat dari bidang-bidang warna yang tercetak, baik bidang warna yang menyerupai garis-garis, maupun bidang warna yang membentuk obyek gambaran.
Pahlevi mengungkapkan, “pada proses pembuatan seni grafis, seniman tidak bisa langsung melihat hasil ekspresinya seperti dalam proses melukis. Seniman dituntut untuk lebih sabar dan lebih imajinatif supaya bisa memperkirakan hasil ekspresinya setelah proses pencetakan.”
Maka dari itu, pada proses pembuatan cetakan, suatu imajinasi hasil akhir dari proses cetak pertama harus sudah bisa ditafsirkan bentuknya.  Kemudian ketika proses cetak kedua, ketiga dan seterusnya, seniman dituntut untuk mampu menafsirkan tumpang-tindih dari imaji-imaji yang akan diwujudkan. Dan ketika bisa dicapai hasil akhir dari semua proses, maka seniman mendapatkan suatu impressi kedalaman makna dari suatu reduksi pengalaman masa lalunya.
Proses reduksi yang bisa diartikan sebagai penyederhanaan bentuk yang lebih dikenal sebagai proses abstraksi. Istilah abstraksi dalam karya seni lebih menekankan kepada tampilan suatu inti masalah. Dalam karya-karya Pahlevi kali ini hampir tidak ditemui gambaran obyek-obyek seperti pada lukisan aslinya, tetapi lebih kepada pengalaman kesan impressi dari memori masa lalunya.
Kita bisa melihat karya pertama yang berjudul ‘Rekonstruksi Van Gogh’ (2017) wood cut reduksi 30 x 30 cm, edisi 3 + 1, di mana Pahlevi menggambarkan dimensi tempat tidur hampir serupa dengan yang digambarkan Vincent Van Gogh “Bedroom in Arles”. Pada karya ‘Rekonstruksi Van Gogh III’ (2017) wood cut reduksi 57 x 86 cm, edisi 4 + 1, warna campuran hijau, biru dan putih mendominasi warna bidang gambaran, sementara warna merah jingga, coklat kehitaman dan coklat kekuningan mendominasi ekspresi garis pada obyek gambaran. Pada ‘Rekonstruksi Van Gogh IV’ (2017) wood cut reduksi 86 x 54 cm, edisi 4 + 1, obyek gambaran tempat tidur dan ruang kamar mulai dipenuhi bidang-bidang warna impressif merah, merah muda, coklat, coklat kekuningan, coklat muda dan putih ditambah ekspresi garis-garis hitam yang membentuk obyek gambaran.  Dan pada ‘Rekonstruksi Van Gogh X’ (2018) wood cut reduksi 57 x 86 cm, edisi 5 + 1, mulai muncul proses abstraksi lukisan “Bedroom in Arles” melalui warna hijau muda, hijau dan hijau kekuningan. Sementara warna merah, coklat kekuningan dan putih menjadi semacam warna abstraksi dari obyek gambaran. Dan pada karya ‘Rekonstruksi Van Gogh XII’ (2018) wood cut reduksi 57 x 86 cm, edisi 4, Pahlevi benar-benar mewujudkan abstraksi lukisan Vincent Van Gogh “Bedroom in Arles” dalam bentuk abstraksi.
Makna Abstraksi Pahlevi
Apa yang digambarkan Pahlevi melalui karya-karya grafisnya, tidak lain suatu komunikasi antar manusia melalui penafsiran makna. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi itu adalah bahasa imaji rupa, gerak, ritme, yang diolah melalui ekspresi demi merogoh pendalaman rasa. Dalam penafsiran bahasa imaji belum pernah ditemui adanya gramatika baku seperti dalam bahasa verbal, karena Pahlevi sebagai seniman berusaha sendiri dalam menciptakan bahasa pengungkapannya yang khas. Dalam komunikasi seni murni, penafsiran logika yang bekerja memang berbeda dari penafsiran logika benda-benda yang bernilai guna. Dalam seni murni, suatu barang seni yang tercipta tidak diperuntukkan supaya bernilai tepat guna, melainkan untuk memenuhi hasrat logika rasa imajinatif. Tentu saja saat menafsirkan karya, logika nalar konseptual bisa saja ikut berperan, namun kekhasan komunikasi lewat karya seni terletak bukan pertama-tama pada makna logika konseptualnya, melainkan pada efek rasawi imajinatifnya. Melalui efek itulah orang lantas menalarkan maknanya. Pada titik ini, seni memang merupakan kegiatan mereproduksi efek imajinatif dan rasawi.
Lantas apa yang ingin diungkapkan Syahrizal Pahlevi mengenai ruang tidur Van Gogh yang sudah direproduksi ribuan kali?
Pahlevi mengutarakan lukisan ruang tidur Van Gogh “Bedroom in Arles” dalam beberapa sudut pandang, seperti terlihat dari beberapa seri karya grafisnya. Ia terus mengutak-atik inspirasinya dari gambaran realistik menuju ketingkat absurd bahkan abstrak. Maksud Pahlevi dengan membuat beberapa tingkatan karya yang semakin absurd dengan tumpang-tindih antara garis dan warna, tidak lain untuk membangun makna yang kompleks sekaligus mendalam. Karena perumusan seni pada awalnya seperti yang dirumuskan Plato melalui teori mimesis, tidak lebih sebagai hasil peniruan.
Plato pada 2500 tahun yang lalu sudah memandang seni melalui sudut pandang filosofi, atau lebih populer dengan istilah mimesis, terjemahan yang paling dekat adalah representasi. Dalam teori mimesis terdapat dua wilayah penciptaan seni, yaitu wilayah nyata yang berasal dari ide-ide sempurna dan wilayah ilusi yang merupakan salinan dari ide-ide sempurna. Diringkaskan oleh Plato, bahwa dunia sempurna bersifat non spasial dan non temporal, sedangkan dunia ilusi bersifat spasial dan temporal.[i]
Teori mimesis dijelaskan Plato melalui pertanyaan, “apa bedanya tukang kayu yang membuat tempat tidur dan pelukis yang melukis tempat tidur?” Makna dari pertanyaan itu, keduanya menghasilkan tempat tidur, tapi siapakah yang menghasilkan esensi tempat tidur?
Pencipta tempat tidur yang sebenarnya, menurut Plato, adalah Dewa (maksudnya konsep tempat tidur yang bersifat non spasial). Pembuat tempat tidur kedua: tukang kayu, dan pembuat tempat tidur ketiga: pelukis yang hanya merepresentasikan tempat tidur, yang berarti kedua-duanya mewujudkan karya spasial atau temporal yang tidak menampilkan esensi apalagi kebenaran. Kesimpulan Plato, bahwa semua hasil kesenian pada dasarnya mimesis atau “representasi”. Dan representasi bagi Plato hanya sejenis pertunjukkan yang tidak perlu ditanggapi secara sungguh-sungguh. Seniman, menurut Plato, tidak memiliki pemahaman tentang subjek yang tampil dalam karya-karya mereka. Representasi subjek dalam karya seni, menurut Plato, tidak akan memberikan apa-apa untuk kehidupan manusia. Plato mengutarakan komunitas ideal ini secara rinci dalam karyanya Republic[ii].       
Di titik inilah letaknya pengertian inspirasi. Karya Pahlevi ingin mengungkapkan pengalaman yang berulang, yang dimulai pada tahun 1991 ketika ia bekerja sebagai tukang gambar reproduksi karya-karya seniman Barat terkenal. Pengalaman itu berulang hampir tiga puluh tahun kemudian, ketika ia melihat proses reproduksi karya yang sama oleh para artisan China di Dafen Artis Village di kota Shenzen. Menurut Pahlevi, pengalaman selalu real namun sekaligus kompleks, mengandung demikian banyak unsur tumpang-tindih sehingga bentuknya tak jelas dan sulit dirumuskan secara memadai. Pemilihan teknik grafis diperuntukan guna menelusuri kerumitan itu dengan menyederhanakannya melalui teknik cetak yang disebut reduksi, karena ia sebenarnya sedang mereduksi pengalaman-pengalamannya yang tumpang-tindih dengan berbagai persoalan lain dalam kehidupannya.
Maka karya Pahlevi yang semakin jauh kemiripannya dengan karya Van Gogh, baik komposisi warna, garis maupun ruangnya, tidak lain adalah semacam upaya untuk merumuskan pengalaman-pengalamannya yang semakin dirasakan, justru semakin tak berbentuk. Di titik inilah makna seni hendak merogoh kedalaman pengalaman kemudian mengkomunikasikannya melalui medan bentuk dan medan imaji supaya mengena pada indra batin kita. Itulah yang disebut ‘gaya’, ‘style’ atau ‘karakter’. Itu sebabnya di dunia seni rupa,  bentuk wajah dipersingkat konturnya oleh para seniman pra modern seperti pada karya-karya patung nias. Kemudian diburamkan rinciannya oleh para seniman impressionisme, dirusak bentuknya oleh para seniman ekspresionisme, dibelah menjadi kotak-kotak oleh kaum kubisme, dibuat ganjil opeh para surealisme dan dihilangkan bentuk wadagnya oleh kaum abstrakisme.  Oleh karenanya Picasso pernah mengatakan, ‘Art is a lie that enables us to realize the truth’, seni adalah kebohongan untuk melihat kebenaran.
Kebenaran apa yang terletak pada seni
Bagi seniman seperti Syahrizal Pahlevi, pengalaman yang langsung dialami akan berbaur campur aduk dengan aneka perasaan, kepekaan moral, imajinasi nilai, kesadaran, impian bawah sadar dan sebagainya. Dunia dan kehidupan bukanlah ‘obyek’ di luar sana. Dunia dan kehidupan adalah latar belakang dari medan pemikirannya, sekaligus sesuatu yang senantiasa merupakan bagian intim di dalam dirinya. Ia sudah demikian menyatu dengan dunia, dan dunia sudah selalu ada dalam dirinya menjadi kesatuan asasi dalam ‘perasaan’ yang memunculkan imajinasi’ dan ‘perilaku’. Ia menyadari dirinya hanya lewat interaksi dengan dunia sekelilingnya, dan juga sebaliknya.
Hal inilah yang membedakan pendalaman seniman dengan para ilmuwan ketika menghadapi suatu masalah. Cara penyampaian dari kedua profesi itu juga berbeda. Jika seniman mengorek permasalahan hingga ke akar-akarnya, para ilmuwan mengutamakan jarak dan analisis. Para seniman mengungkapkan suatu permasalahan melalui subyektifitas perasaannya, para ilmuwan menyampaikan persoalannya melalui obyektifitas analisis dengan mengungkapkan  salah satu tafsiran abstrak – pragmatis suatu permasalahan. Dalam sudut pandang para ilmuwan, tidak penting bahwa seseorang yang menjadi obyek permasalahannya memiliki nama. Bagi ilmuwan yang berprofesi dokter, tidak penting nama dan kedudukan dari pasiennya, yang membedakan adalah macam penyakitnya. Dalam ilmu sosial, data nama hanya diperlukan untuk analisis statistik. Dalam ilmu ekonomi, data nama hanya untuk membedakan si kaya dan si miskin guna kepentingan pasar suatu produk. Dalam agama, nama adalah simbol yang akan dibawa sampai ke alam baqa. Dalam filsafat moralitas, baik-buruknya nama seseorang bergantung kepada sebab dan akibat yang akan menentukan berharga atau tidaknya orang itu dalam kehidupan berdasarkan kebaikan dan keburukan perilakunya. Pada titik ini, baik sains, agama maupun moralitas sebenarnya mereduksi atau menyederhanakan kompleksitas dan ambiguitas pengalaman seseorang.
Lain halnya dalam seni, nama memiliki arti yang sungguh-sungguh pelik. Bagi Pahlevi, nama Vincent Van Gogh sangatlah penting. Keunikan hidupnya menjadi medan untuk diungkapkan melalui bahasa hati yang paling dalam, ‘perasaan’. Pengalaman mereproduksi lukisan, yang merupakan akar hidup Van Gogh, kemudian dibedah, dianalisis, direka ulang atau direkonstruksi sehingga menyentuh bagian terdalam dari batinnya tidak saja sebagai seorang seniman, tetapi juga sebagai manusia. Demikianlah kepekaan seniman dalam mengungkap berbagai persoalan besar maupun kecil mampu memberi bentuk pada pengalaman yang tak jelas, menampilkan yang tadinya tersembunyi, memperkatakan hal yang tak terumuskan, membunyikan hal yang tak tersuarakan, intinya menampakkan pengalaman batin yang tak terungkapkan.
Maka melalui batin terdalamnya, yang hendak dirogoh dan diungkapkan Pahlevi bukanlah sekedar ‘keindahan’ fisik, melainkan ‘kebenaran’. Termasuk di dalamnya adalah kebenaran dari hakekat seni sendiri. Dalam tradisi estetika, seni dimengerti sebagai ars (ketrampilan), tekhne (keahlian), dan berkaitan dengan keindahan (kalon). Yang sering terabaikan adalah bahwa seni terutama berkaitan dengan ‘penciptaan’ (poein). Maka karya-karya seni yang dibuat oleh para artisan yang mereproduksi lukisan seperti yang dialaminya hampir 30 tahun lalu bukanlah suatu hasil penciptaan, seperti yang diungkapkan Plato dalam teori mimesisnya, karena penciptaan ‘poein’ berkaitan dengan akar kata estetika yaitu aisthenasthai yang berarti persepsi. Maka seni terutama adalah menyoal penciptaan ‘persepsi baru’, persepsi tentang kebenaran yang lebih dalam dari realitas yang kita hadapi sehari-hari. Seni memang lebih terkait dengan ‘kebenaran’ kehidupan, yang pada hakekatnya seni adalah tampilnya kebenaran secara menyentuh. 
Kebenaran dalam seni bukanlah kebenaran ilmiah, bukan kebenaran religius, bukan pula kebenaran moral, doktrin, dogma, agama atau keyakinan apapun yang sifatnya konvensional, melainkan kebalikannya, justru munculnya realitas-realitas yang awalnya tersembunyi, yang tak disadari namun nyata dan seringkali bertabrakan dengan dogma, religius, ilmiah, rumus dan kebenaran moral atau budaya. Seni adalah kebenaran kenyataan hidup yang kita alami seperti adanya, kebenaran akan kenyataan yang tak mengenal hitam-putih, kebenaran dari kenyataan yang pelik dan tumpang-tindih. Maka dalam karya-karya grafisnya, Pahlevi seringkali mengungkapkan kompleksitas kehidupan yang menginspirasinya dengan warna-warna dan garis-garis tumpang-tindih.
Demikianlah fungsi seni, termasuk seni rupanya, digunakan para seniman untuk menyingkap aneka lapisan, kompleksitas, dan misteri realitas yang menggugah kesadaran masyarakat intelektual. Oleh karenanya, konsep seni bahkan pengertiannya seringkali berubah sesuai dengan konteks permasalahannya.
Yogyakarta, 25 Januari 2019
AA Nurjaman
 


[i] Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 851-852.

[ii]Buku Plato, Republic jilid X, diterjemahkan oleh Francis M. Cornford, The Republic of Plato, (London: Ozford University Press), hal. 321-340, kemudian diterbitkan ulang dalam The philosophy of Visual Arts, hal. 63.
 
 **************

Pernyataan seniman
Tentang Trilogi Reduksi.
Istilah Trilogi umumnya dipakai para penulis untuk proyek tulisan atau novelnya yang terdiri atas tiga bagian yang saling bertautan. Sementara Trilogi Reduksi disini saya maksudkan sebagai rangkaian tiga pameran tunggal saya sendiri yang tautan ketiganya ada pada provokasi teknik woodcut/linocut reduksi sebagai satu-satunya teknik yang dipakai dalam membuat karya untuk ketiga pameran tersebut. Teknik woodcut reduksi adalah salah satu dari teknik relief print atau cetak tinggi dalam seni grafis. Dalam teknik ini, hanya digunakan satu pelat kayu sebagai acuan cetak yang akan dicukil sampai habis/rusak untuk menghasilkan lapisan warna yang diinginkan seniman.
Lebih jauh tentang teknik reduksi dapat dilihat di tulisan saya di https://kompas.id/baca/x/akhir-pekan/2018/01/06/reduksi-suicide-printmaking/
Setiap bagian Trilogi memiliki judul  berbeda-beda sesuai tema yang dibawakan di setiap pameran.
 
Tentang judul “Bedroom in Arles”.
Ini adalah judul dari tiga versi lukisan yang serupa satu sama lain dari pelukis terkenal Vincent Van Gogh berobjekkan kamar tidurnya sendiri dibuat tahun 1888 sampai 1889. Seri ini masih dilengkapi dengan dua buah sketsa berobjek sama pada surat pribadinya untuk adiknya Theo dan temannya pelukis Gauguin. Arles adalah kota keciL terletak di pinggiran utara Perancis dimana Van Gogh tinggal lebih dari setahun disana namun konon menjadi masa produktifnya dengan menghasilkan banyak lukisan dan gambar. Salah satunya adalah 3 versi lukisan “Bedroom in Arles.
Saya mengambil visual yang ada di tiga lukisan Van Gogh tersebut sebagai bahan acuan untuk karya yang saya kerjakan. Sudah menjadi topik umum bahwa karya-karya Van Gogh banyak menjadi objek dalam industri reproduksi karya master yang dikerjakan di seluruh dunia dan “Bedroom in Arles’ menjadi salah satunya yang pavorit dikerjakan/dipesan. Dalam karya-karya saya, “Bedroom in Arles” Van Gogh menjadi bahan menautkan memori, membaca referensi dan melepaskan imajinasi dalam bentuk karya teknik woodcut reduksi dicetak di atas kertas.
Memori: Tahun 1991 – 1993 semasa masih menjadi mahasiswa di jurusan seni lukis ISI Yogyakarta saya pernah bekerja di sebuah galeri di Yogyakarta (Galeri Gajah di kampung Kranggan Yogyakarta) membuat lukisan pesanan berupa reproduksi karya master Eropa termasuk reproduksi karya-karya Van Gogh.
Referensi: Ketika menjalani 2 bulan masa residensi di Guanlan Original Printmaking Base, Shenzhen, China tahun 2017 saya sempat mengunjungi Dafen Artist Village, Shenzen, sebuah tempat terbesar reproduksi karya-karya Van Gogh yang terkenal di seluruh dunia. Saya membuat beberapa dokumentasi dan catatan disana. Mengenai Dafen Artsist Village dapat dilihat di https://theculturetrip.com/asia/china/articles/a-brief-history-of-dafen-art-village/ atau https://www.aljazeera.com/indepth/features/dafen-oil-painting-village-world-art-factory-180213181434532.html
Melepaskan imajinasi: Topik saya adalah praktek membuat reproduksi lukisan yang pernah menjadi pekerjaan saya dahulu dan saya saksikan lagi ketika berkesempatan ke Dafen Artist Village, Shenzen, China. Cerita dan visual dalam lukisan Van Gogh berjudul “Bedroom in Arles” saya ambil sebagai bahan untuk bertualang dengan elemen-elemen seni rupa. “Bedoom in Arles” dan Van Gogh hanyalah sebuah kasus dimana telah menjadi simbol praktek reproduksi lukisan karya master yang dikerjakan di seluruh dunia.
Rangkaian trilogi
Trilogi Reduksi I: berjudul “Dari Guanlan ke Arles”, berupa pameran 10 buah karya seni grafis buatan tahun 2017-2018 yang telah dipamerkan di MDTL, ds. Kersan, Tirtonirmolo, Yogyakarta pada 20 – 30 Januari 2018. Pameran ini menampilkan karya-karya yang dibuat di China dan karya-karya yang dibuat di Indonesia sepulang dari China. Penulis Hans Knegtmans dan Harry Prayitno. Dibuka oleh Bambang ‘Toko’ Wicaksono.
Reportase pameran dapat dilihat di http://www.satuharapan.com/read-detail/read/dari-guanlan-menuju-jalan-lain-ke-arles  atau http://www.pictaram.life/post/1697132746553503118_1384004796
 
Trilogi Reduksi II berjudul: “Bedroom in Arles”. Berupa pameran karya-karya tahun 2017-2019 dimana ada beberapa karya dalam pameran Trilogi I ikut disertakan karena berkaitan tema. Tempat pameran direncanakan di KEBUN BUKU Yogyakarta, tanggal 12 – 26 Februari 2019 dan akan dibuka oleh Kris Budiman pada selasa, 12 februari 2019, pukul 16.00 (4 sore). Penulis AA. Nurjaman.
Trilogi Reduksi III: belum ada judul. Berupa pameran pilihan  karya-karya teknik woodcut reduksi yang saya buat sejak tahun 1988 sampai tahun terakhir menjelang pameran nantinya. Diharapkan Trilogi Reduksi III akan menjadi ‘jawaban’ dari rangkaian pameran ini. Tempat pameran dan waktu pameran belum ditentukan.
Syahrizal Pahlevi

******************

Opening speech ole Kris Budiman (Kebun Buku, 12 Februari)


Saat dihubungi oleh Pahlevi rasanya saya senang dan tanpa berpikir panjang menyambut positif. Pertimbangannya satu, yaitu judul pameran Bedroom in Arles. Saya sangat suka dengan karya Vincent van Gogh ini. Kemudian, setelah saya pikir-pikir lagi, ada beberapa hal yang menarik berkaitan dengan kerja Pahlevi. Pertama, obsesi Pahlevi yang panjang, bertahun-tahun dalam menekuni seni grafis.

Kedua, rancangan pameran ini memerlukan napas panjang karena merupakan pameran trilogi. Selain itu, ketiga, dari sini kita bisa belajar tentang salah satu karya masterpiece van Gogh serta bagaimana Pahlevi meresponsnya.

Van Gogh tidak merekam realitas, melainkan menangkap suasana (atmosfer) dari suatu ruang. Yang dia tangkap adalah citraan-citraan. Nah, apa yang dilakukan oleh Pahlevi bisa dibaca dengan menempatkan karya van Gogh sebagai teks induk atau teks latar bagi proses berkaryanya serta relasi-relasi yang terbangun di antaranya. Dilihat secara psikologis barangkali kita bisa menyebutnya sebagai stimulus-respons. Akan tetapi, jika pembacaannya pada tataran teks, bisa kita telusuri kaitan-kaitan interteks di antara dua gugusan karya, yakni di antara karya van Gogh dan karya Pahlevi. Pertautan-pertautan apa yang terjadi, secara empiris, tekstual, atau piktorial, entah pada tataran warna, suasana, atau elemen-elemen visual lainnya.

- Kris Budiman –

***********************
Liputan media
LEVI'S BEDROOM.....
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/levis-bedroom-in-arles 

 
 


online_catalog_trilogi_ii_syahrizal_pahlevi_2019.pdf
File Size: 3205 kb
File Type: pdf
Download File

0 Comments

jangan berhenti

1/16/2019

0 Comments

 
Picture
Press release
JANGAN BERHENTI (Don’t Stop)
Pameran tunggal Edi Maesar
Tanggal                 : 25 Januari – 15 Februari 2019
Tempat                                : Miracle Prints, Suryodiningratan MJ II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
Pembukaan        : Jumat, 25 Januari 2019, pukul 16.00 (4 sore)
Dibuka oleh        : Ronnie S. Haryanto
Penulis                 : I Gede Arya Sucitra S.Sn, M.A
CP (WA)               : Ria Novitri/087739315969
 
Pengantar Galeri:
“Dunia Kecil Maesar Jangan Pernah Berhenti”
Edi Maesar (kelahiran Baturaja, Sumatera Selatan 37 tahun lalu) merangkai dunia kecil dalam lukisan kecil-kecil berukuran mulai dari 13 cm x 17 cm sampai tidak lebih dari 22 cm x 27 cm. Karya-karya ini bermedia cat minyak di atas kanvas dibuat dalam periode hampir lima tahun terakhir. Dikerjakan disela-sela ‘aktifitas utamanya’ bekerja sebagai pelukis potret jalanan di Malioboro (dan jalan Mangkubumi) Yogyakarta saban malam.
Sejak kelesuan pasar seni rupa yang melanda banyak seniman termasuk dirinya beberapa tahun lalu, Edi Maesar cepat memutuskan harus mencari usaha lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan berkaryanya. Sejak pertengahan 2014 ia menjalani pekerjaan menjadi pelukis potret jalanan mengikuti jejak beberapa teman pelukis yang dikenalnya yang telah menjalani profesi tersebut sejak lama. Namun Edi Maesar tetap memelihara semangat berkeseniannya, ia tidak ingin terlena hanya bekerja untuk mencari pendapatan semata. Melalui hasil dari menjual jasa lukisan potret tersebut Edi Maesar selain dapat tetap mempertahankan dapur keluarganya tetap bernyawa, ia juga tetap dapat berkarya walau harus merubah metode kerjanya dengan kondisi yang baru.
Bekerja sebagai pelukis potret jalanan tentulah bukan hal mudah dijalani. Ada persoalan mental dan tentu saja kecakapan teknis yang mesti dimiliki. Mental yang kuat dibutuhkan karena dalam ranah seni rupa mainstream profesi pelukis potret jalanan dianggap bukan termasuk kegiatan seni. Ini tidak lebih pekerjaan mencari uang semata dengan memanfaatkan keahlian menggambar potret secara langsung dan keberanian bekerja di tengah kerumunan orang banyak. Edi Maesar dapat melalui semua itu dan tidak ambil pusing terhadap silang opini terhadap pelukis potret jalanan. Diantara jeda sebelum atau setelah bekerja di jalanan  ia tetap mengasah kemampuan melukisnya dengan membuat karya-kecil-kecil yang menurutnya ekonomis dari segi material dan efektif mengisi waktu luangnya. Pelan tapi pasti berkarya kecil-kecil menjadi rutinitas kesehariannya sebelum berangkat atau setelah pulang bekerja melukis potret di jalanan dan tumpukan karyanya semakin banyak. Telah banyak pula yang diikut sertakan di berbagai pameran dan banyak pula telah menjadi koleksi teman-teman dan pencinta seni yang menyukainya.
Dalam hal tema, Edi Maesar menunjukkan minat yang beragam berhubungan dengan pengamatan yang dilakukannya. Sepertinya tema apapun akan masuk di kepalanya dan ditumpahkannya dalam waktu singkat pada karya kecil-kecilnya. Kesuntukan menekuni pekerjaan sebagai pelukis jalanan dan bertemu banyak orang membuat Edi Maesar memiliki pengamatan yang kaya terhadap aktifitas dan perilaku manusia di sekitarnya. Ia dapat menyaksikan beragam aktifitas dan jenis manusia ketika berada di lokasi ia bekerja termasuk dalam perjalanan pergi dan pulang kerja. Ada berbagai objek dan berbagai kegiatan yang direkam Edi Maesar dalam karya kecil-kecilnya, diantaranya: Kegiatan Ibu muda sedang memasak, anak belajar, pria dengan laptop, remaja bermain handphone, kegiatan perbaikan jalan, turis berjemur di pantai, Ibu menyusui dan handphone, bapak-bapak di kedai kopi, anak berulang tahun, sepotong daun, pemusik jalanan, pria dengan blangkon, kegiatan potong daging kurban,  kemesraan dengan istri, demonstran kelelahan, karnaval tahun baru dan masih banyak lagi. Namun yang paling banyak dilukisnya adalah objek potret wajah yang  menurut pengakuannya rata-rata adalah potret wajahnya sendiri.
Karya-karya potret itu dilukis demikian bebas karena ia tidak mengejar kepersisan atau kebenaran bentuk. Beberapa karya berobjek potret tersebut dengan garis-garis lepas dan distorsi bentuk sederhana mengingatkan saya pada karya-karya potret Marlene Dumas, perempuan pelukis kelahiran Afrika Selatan tahun 1953 yang tinggal dan bekerja di Belanda. Bedanya Marlene banyak menggunakan media cat air dan warna-warna renyah. Marlene melukis potret dan figur-figur berdasarkan foto yang dibuat dari kamera polaroid atau foto-foto dari majalah yang ia temukan dan anggap menarik. Tema-tema Marlene biasanya berkutat pada pornografi, erotika dan persoalan gender.
Pameran ini cukup penting buat Edi Maesar karena merupakan pameran tunggal pertamanya setelah sekian lama berkesenian. Selama ini ia cukup aktif di berbagai pameran kelompok, kompetisi melukis dan berbagai even lokal dan nasional. Ibarat perjalanan yang sudah diniatkan jauh-jauh hari, dengan segala perlengkapan yang disiapkan lengkap apalagi telah mendapat restu dari orang terdekat, mengapa harus berhenti?
 
Yogyakarta, 10 Januari 2019,
Syahrizal Pahlevi

................

Catatan seorang sahabat
 
JALAN PENCERAHAN
 
Nothing to lose, menjadi seniman harus siap mengalami penderitaan hidup, menjadi daya pendobrak, menuju kesempurnaan di dalam karya dan kualitas hidupnya.
 
                                                                                                            Edi Maesar, 2019
 
 
Pada dasarnya, manusia mengharapkan perjalanan hidupnya dipenuhi dengan kemudahan, kemurahan hati, rejeki yang berlimpah, urusan duniawi lancar jaya, kesehatan yang baik tanpa derita siksaan dan jargon yang popular ‘muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga!’ Barangkali  Edi Maesar muda saat masih dibangku sekolahan tidak akan membayangkan betapa jalan berliku dan terjal kesenian siap menemani keputusannya secara ideal sebagai seniman lukis, yang hidup dan mendirikan nafasnya melalui nadi berkesenian. Rentang 20 tahun berjalan semenjak menjadi mahasiswa angkatan 1999 seni lukis di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, Edi makin menemukan ‘cara dirinya bercerita’, menangkap realitas dan menjadikannya imaji reflektif dalam kanvas-kanvasnya, tentang banyak hal yang bertebaran disepanjang jalan berkeseniannya. Ada kesenangan, ada tegangan, ada tarikan, ada intrik, ada represi, ada birahi, ada kekuasaan, ada kesadaran, ada perenungan, ada tangisan, dan segudang perkara hidup lainnya. Seniman sebagai mahluk yang kompleks, dalam berkarya seni menampilkan dunia yang absurd dari alam bawah sadar dan disimbolisasikan dalam karya seninya. Penggambaran alam pikiran bawah sadar menjadi objek yang imajinatif dan fantastik merupakan salah satu metode sublimasi atas dorongan psikis yang telah mengalami tekanan. Karya seni merupakan gambaran dari harapan, mimpi, imajinasi, dan fantasi dan atau bahkan merupakan bentuk pengungkapan emosi, kecemasan, ketakutan, dan lain sebagainya. Itulah Edi Maesar, lelaki asal Palembang, Sumatera Selatan selalu gelisah dan mempertanyakan banyak hal secara kritis dalam glamor dan sunyinya jalan kesenian di Yogyakarta.
Sebetulnya, konsep awal dalam undangan menulis ini adalah wawancara selo Edi padaku di gubukku Teras Kali Bedog dan lalu dijadikan bagian teks dalam publikasi katalogusnya. Lalu aku bilang, “pameran ini bukan tentangku melihatmu, tapi sebaiknya tentangmu yang mampu terlihat. Ini kan pameran tunggal pertamamu, mari kita bicarakan hal yang ringan, yang nantinya berujung pada mengenal dan memahami cikal bakal jalan kesenianmu.” Alhasil, Edi lah yang aku wawancarai menjadi aktor artikel kecil ini. Memang benar jika dalam puitika sebuah lukisan bisa mengungkapkan seribu kata, namun penonton tentu bukan cenayang yang bisa membaca pikiran untuk mengetahui apa, siapa, bagaimana dan mengapa hal yang berlaku dan terjadi pada seorang seniman dan lukisannya.  Sama halnya dengan takdir bumi yang bergerak dan tergerus, demikian juga arus berkesenian yang beriak kesana kemari, kadang kecil tiba-tiba besar, lalu surut lama dan harus mengairi dengan mata air di lain ladang.  Tapi itulah keunikan dari kekuatan jiwa-jiwa gelisah dan dinamis seniman, dia membangun dialektika medan jiwa dan medan seninya melalui perubahan. Seniman dalam menciptakan karya seni tidak hanya menggambarkan sebuah realitas kehidupan, tetapi lebih dari itu melukiskan harapan yang menjadi impian dari realitas kehidupan agar dapat mengalami perubahan. Dalam hal ini, seniman melukiskan mimpinya akan realitas kehidupan yang menjadi harapan bagi seniman dan masyarakat luas. Paul Klee mengatakan bahwa melukis tidak untuk menafsirkan yang kelihatan, melainkan menerjemahkan agar menjadi kelihatan.
Edi Maesar sejak dibangku kuliah memang memiliki bakat dan semangat yang menonjol hal melukis, sketsa, drawing, dan diskusi seni. Dia pula mahasiswa dalam satu angkatan 1999 yang paling duluan (pertama) lulus kuliah dan mendapat gelar Sarjana Seni ISI Yogyakarta tahun 2004. Hasil dari komposisi motivasi, kecekatan dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan juga kecerdasan melihat peluang. Bekal ini semua tentu tidak hadir begitu saja. Dia tercipta dari perjalanan sejarah masa kecil, coretan tembok rumah hingga kejuaraan-kejuaraan masa sekolahan. Semua kejadian ada latar belakangnya, latar bibit, bebet, bobot (keluarga) dan ini menjadi pertanyaan dasarku pada Edi, “Bagaimana keluarga memberikan dorongan untuk hidup serius di jalan kesenian?”
“Dimulai dari kegemaranku coret-mencoret tembok rumah (sebelum SD), hingga orang tua mengarahkan dan membelikan/menyediakan buku tulis, buku gambar, serta peralatan dan bahan yang sederhana. Mulai SD aku makin hobi corat-coret (menggambar), nilai mata pelajaran kesenian selalu memuaskan guru dan orangtua, hingga masuk SMP. Di SMP mulai aktif mengikuti lomba menggambar, pernah juara umum lomba lukis tingkat kabupaten di tempat asalku, hal ini memicu semangat keluargaku utk mendorong/mengarahkanku keluar (merantau), melanjutkan ke SMSR di kota Palembang. Selama di SMSR, makin sering mengikuti lomba/kompetisi lukis, sering mendominasi sebagai pemenang, sampai-sampai koleksi piala berderet terpajang di rumah. Bahkan di sekolah pernah juara umum sebagai siswa paling berprestasi lho. Dari hal-hal tersebut  di atas adalah gambaran bagaimana akhirnya orangtuaku dan anggota keluarga sangat support ketika aku berniat melangkah lebih jauh lagi hingga akhirnya melanjutkan sekolah di ISI Jogja. Hmmm… padahal waktu itu aku dapat jalur PMDK di UNY, bahkan namaku yang berasal dari Sumatera itu sudah tertera di papan pengumumannya untuk segera tindaklanjuti meregistrasi ulang... eeee malah aku membelot test masuk ISI Jogja.”
 
Perjalanan Edi di bangku kuliah tentu diselesaikan dengan disiplin dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, karena dia tentu tidak ingin membebani terlalu lama orang tua dalam hal biaya pendidikan. Dia ingin memberikan perhatian terbesarnya dalam edukasi dan menjadi bagian penting pengabdiannya atas kebanggaan kepada orang tua, “Waktu kuliah, seni adalah pengabdianku kepada orangtua dan anggota keluarga besarku. Setelah kuliah hingga saat ini, seni adalah citarasa dan pengabdianku kepada semua golongan masyarakat”, ujar Edi sambil menikmati segelas wine buah racikan rumahanku.
Nah, kalo sekarang di ring bebas ini,  bagaimana menyakinkan dirimu untuk memilih jalan seni dan bagaimana jalan ini sekarang menghidupimu? ”Seni merupakan jalan hidup, saya bersyukur bisa memilih jalan ini, saya bisa melihat banyak hal dan pengetahuan beragam melalui seni. Seni adalah universal sains! Seni adalah wadah khusus untuk menampung segala sesuatu bentuk ide, cerita, gagasan, imajinasi, dan harapan hidup. Niat disertai keikhlasan adalah sugesti dan motivasi diri dalam berproses menciptakan karya berkualitas.” 
Jadi jika seni adalah sebuah jalan berproses, bagaimana dirimu menanggapinya?...”Ya setuju, aku sepakat berkesenian itu berproses, bagaimanapun hasilnya nanti maka akan terbuka lebarlah pengetahuan tentang arti dari sebenar-benarnya hidup”. Berkaitan dengan proses berkesenian, tidak selalu ada ruang steril dan mulus disana, banyak tekanan dan intrik.  Adakah kekecewaan personal dalam berkesenian yang berkaitan dengan struktur atau sistem di luar sana?
“…Ada, ketika kepekaan sosial tidak dapat digunakan dengan baik, kualitas hidup dan berkesenian menjadi buruk nilainya. Peran pemerintah dan para pecinta seni yang kurang jeli melihat potensi besar dalam negaranya untuk diangkat ke ranah internasional mancanegara. Terlalu sibuk memikirkan untung rugi dan kekuasaan, sering luput perhatiannya untuk menyejahterakan para pekerja/pelaku seni, dalam hal ini  khususnya seni lukis”.
 
Berkarir sebagai professional artist tentu punya pandangan sendiri tentang hubungan mesra seniman dan karyanya, seperti Leonardo da Vinci sang genius universal dengan maha karya Monalisa yang penuh misteri, atau Vincent van Gogh dengan segudang lukisannya sebagai bagian dari terapi jiwanya. Bagaimana denganmu, bung Edi,…”Seniman harus menggunakan imajinasi dan bakatnya untuk membuka lebar pandangan/pengetahuan estetikanya tanpa batas kepada semua orang dan juga merupakan upaya seseorang utk membuka kebenaran dan identitas dunia bathin. Melalui kreativitas, karya seni kelak menemukan nilai terbaiknya menjadi warisan budaya yang bermanfaat”.
Edi Maesar pelukis yang memiliki semangat juang yang tangguh, sebagai perantauan, kehendak untuk cengeng dan mudah putus  asa tentu dia tepis sedalam-dalamnya, namun bukan berarti hidupnya lancar damai tanpa halangan dan juga godaan. Dalam keadaan pasar seni rupa (sektor penjualan) lesu, paceklik dan susah akses, dia harus memikirkan teknis finansial keluarga yang tetap diranah kreativitas. Edi bukan tipikal seniman yang individu dan asosial dalam bergaul dan berkelompok. Tercatat dalam proses ini dia tergabung di komunitas perupa Palembang Sanggar Bidar Sriwijaya, kelompok angkatan lukis Gledek’99, kelompok lukis BLOK9 dan yang terakhir kini didaulat menjadi ketua PERJAM, Perupa Jalan Malioboro Yogyakarta. Salah satu keputusannya dalam proses pematangan diri, survival yakni menjadi pelukis jalanan yang siap tanding, untuk menerima orderan lukis wajah on the spot maupun lukisan model lainnya sesuai dengan selera peminatnya. Tantangan ini juga membuka cakrawala baru dalam mengenal relasi kuasa seni, seniman dan masyarakat yang dulu tidak terpikirkan olehnya bahwa seniman harus mampu lentur menghadapi liku derita berproses walau diluar keinginan idealnya. Edi memang sejak awal tidak ingin bekerja atau berpenghasilan dari kerja sektor formal lainnya selain melukis. Proses melukis dengan metode kerja yang on the spot, outdoor painting, menjadi energinya untuk tetap waras, dan melepaskan diri dari berbagai tekanan serta sebagai penghibur diri.
Menakar estetika lanskap lukisan profesional Edi Maesar cenderung bernafas impresionistik, walaupun sebagai pelukis akademik dia bisa melukis dengan berbagai macam gaya dan aliran. Hal ini dapat ditandai dengan penggunaan warna yang cerah cemerlang, tarikan kuas yang tegas, kadang pendek dan panjang, serta kemampuan menangkap cahaya yang jeli pada objek-objek lukisannya dan diselesaikan dengan goresan yang efektif dan cepat. Edi merasa dia klik, sejiwa dengan bahasa visual ini, energinya yang meledak-ledak dan spontan serta ketidakpatuhannya pada warna-warna alami yang tampak di mata, menyebabkan eksplorasi karyanya penuh kejutan, bertekstur dan dinamis, seperti yang tampak pada sejumlah 151 lukisan yang dipamerkan di Miracle Prints Art Shop & Studio, salah satunya karya Uncovered Motherland, 2018, menggunakan warna oranye cerah pada kulit wanita, impresi langit dan pemandangan alam yang simple namun dengan goresan yang kuat.
Dapat diamati bahwa pelukis impressionisme membawa kesegaran dalam seni lukis dengan warna-warnanya yang cerah, kebebasan garis, dan yang paling penting cahaya dalam lukisan karya mereka menjadi ciri khas tersendiri. Impressionisme adalah aktivitas melukis di luar ruangan, tidak melukis di dalam studio, mereka disebut sebagai outdoor painters, karena kaum impressionisme cenderung menangkap cahaya dengan cepat, selesai dalam waktu itu juga dan tidak menghendaki pendetailan. Dalam impressionisme murni, penggunaan cat hitam dan coklat  dihindari terutama untuk bayangan, cat basah ditimpa ke dalam cat basah tanpa menunggu kering, untuk menghasilkan batas lembut dan pembauran warna, hal yang demikian itu betul-betul telah menjadikan impressionisme mempunyai pewarnaan yang segar meriah karena setiap warna digunakan dengan kedalaman yang penuh.
Kedalaman lainnya dalam lukisan Edi adalah kepekaannya secara simbolik terhadap berbagai fenomena, persoalan kemanusiaan, alam, politik hingga cinta kasih. Secara sadar Edi membangun interaksi simbolis melalui karyanya dengan orang lain. Melalui objek-objek simbolisnya, ekspresi seni tidak saja berdimensi pada pemberian makna terhadap realitas sosial, tetapi lebih sebagai media pembangkit kesadaran kritis dan aksi perubahan. Dengan demikian seni merupakan proses simbolisasi oleh seniman dari dorongan psikisnya. Fantasi akan menjadi seni jika diungkapkan dan dikontrol oleh ego yang tidak bertanggungjawab, realistis, dan logis. Albert Camus mengatakan bahwa diluar bingkai, seniman adalah orang yang menolak dan sekaligus menerima dunia. Seniman juga ingin mengubah dunia menjadi lebih indah, lebih teratur, dan lebih bermakna.
Setiap orang memiliki persepsinya sendiri pada hal-hal yang ideal, kesadaran kritis terhadap perubahan serta cara personal untuk mengungkapkannya. Edi Maesar melalui penggayaan lanskap lukisannya selama rentang dua puluh tahun ini, setidaknya memiliki kesadaran  seni sebagai sublimasi dari bentuk tekanan energi psikis yang bersifat individual dan diekspresikan dalam karya seni; dan seni sebagai bentuk penyadaran bagi masyarakat terhadap fenomena sosial dari kepekaan sosial terhadap situasi kehidupan, dalam hal ini seni berfungsi sebagai media kritik terhadap kenyataan agar terjadi perubahan dalam sistem sosial dan budaya dalam masyarakat yang sesuai dengan harapan. Tema-tema subject matter lukisannya sangat beragam; terkandung nilai penyadaran, pembebasan, kontemplasi diri,  hingga spiritual. Inilah jalan pencerahan Edi Maesar dalam proses pematangan diri dalam atmosfer medan kesenian.
 
Melukis sak modare, hingga mata tak mampu lagi mendefinisikan warna.
 
Selamat berpameran kawanku, Edi Maesar dan temukan hasratmu dalam relasi hangat seni, seniman, dan masyarakat.
 
 
Teras Kali Bedog, Yogyakarta, Januari 2019
I Gede Arya Sucitra
Teman satu angkatan Edi Maesar
 

 
 


0 Comments

    Author

    Write something about yourself. No need to be fancy, just an overview.

    Archives

    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    August 2021
    June 2021
    May 2021
    April 2021
    March 2021
    January 2021
    December 2020
    November 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018

    Categories

    All

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.