
Pameran 3rd Jogja International Miniprint Biennale 2018
Tema : Messages From The Matrix
Waktu : 20 - 30 November 2018
Tempat : Museum Dan Tanah Liat (MDTL),
Ds. Kersan Rt. 5, Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul, Yogyakarta
55181
Peserta : Finalis 3rd JIMB 2018 dengan 117 karya miniprint dari 65 seniman grafis 27 negara.
Kelompok seniman grafis undangan dari China dan Filipina sebanyak 39 karya miniprint dari 29 seniman
Dibuka oleh : Dr. Nasir Tamara MA, MSc.
Sambutan oleh : Dr. Edi Sunaryo
Acara : ‘Monotype party’, art talk dan musik.
Marcom media : Ria Novitri/+62 815 39 806190
miracle8artshop@gmail.com (e-mail)
Pameran 3 th Jogja International Miniprint Biennale 2018 : Messages From The Matrix
Setelah melewati proses penjurian oleh A. Sudjud Dartanto (ketua), Malcom Smith (anggota), Deni Rahman (anggota) pada Minggu (28/10) di Miracle prints - art shop Jalan Suryodiningratan MJ. II/853, Mantrijeron, Yogyakarta terpilih 117 karya grafis dari 65 seniman dengan perincian 15 seniman grafis berasal dari Indonesia dan 50 seniman dari luar negeri. Total negara yang lolos sebagai finalis ada 27 negara yaitu: ARGENTINA , AUSTRALIA , BANGLADESH, BRAZIL, BULGARIA, CANADA, CROATIA, ESTONIA, FINLAND, FRANCE, GERMANY, HUNGARY, INDIA, INDONESIA, ITALY, JAPAN, MALAYSIA, NETHERLAND, POLAND, RUSSIA, SERBIA, SINGAPORE, SPAIN, THAILAND, UK, UKRAINE, USA
Dalam penjurian sebanyak 351 karya grafis ukuran kecil dari 42 seniman grafis Indonesia dan 107 seniman grafis luar negeri dari 32 negara yang masuk pada panitia 3rd JIMB 2018 dilakukan penjurian melibatkan tiga juri. Penjurian yang dilakukan untuk menyaring karya grafis yang lolos ke final. Dari keseluruhan karya grafis yang masuk, diambil 117 karya miniprint untuk masuk dalam tahap final 3 rd JIMB 2018. Ke-117 karya miniprint finalis akan dipamerkan bersama karya kelompok 29 seniman grafis dari China dan Filipina. Pada pameran 3 rd JIMB 2018 akan diumumkan Three Best Works, Three Excellent Works.
"Aspek penjurian pada dua hal, pertama menyangkut teknis dimana seni grafis adalah hal yang tidak bisa terlepas dari urusan teknik (yang benar) untuk menghasilkan karya secara visual. Yang kedua berkaitan dengan tema yang ditawarkan. Bagaimana seniman merespon tema dengan tawaran-tawaran karya (baru) dalam kedalaman karyanya dimana kehidupan atau kebudayaan saat ini adalah abad citra/penanda. Karya dengan visual dan konsep (kesesuaian tema) yang kuat itu yang kita cari," ungkap ketua juri Sudjud Dartanto sesaat setelah selesai penjurian 3rd JIMB 2018, Minggu (28/10).
Lebih lanjut Sudjud menjelaskan dengan tema JIMB #3 yang mengangkat tajuk "Messages From The Matrix" menjadi penanda/citra yang lain untuk menghasilkan kostruksi/referensi baru yang bisa bersumber dari realitas itu sendiri.
Selain penghargaan, pemenang akan mendapat kesempatan pameran yang rencananya akan dilakukan pada tahun 2019 di Yogyakarta Berikut daftar pemenang dan pencapaian pada penyelenggaraan JIMB sebelumnya.
Sebagai informasi tambahan JIMB 2018 merupakan pelaksanaan yang ketiga. Pada pelaksanaan penyelenggaraan JIMB 2014 dilakukan di dua tempat, 6-13 Juni 2014 di Museum BI Jl. Senopati No 2 Yogyakarta dan 17-23 Juni 2014 di Mien Gallery, Jl. Cendana 13 Yogyakarta. Tercatat 142 seniman dengan 465 karya mengikuti seleksi JIMB 2014 terdiri dari 89 seniman Indonesia dan 53 seniman luar negeri. Dari jumlah tersebut dipilih 140 karya dari 72 seniman terdiri dari 34 seniman Indonesia dan 38 seniman Internasional asal 22 negara yang mengikuti pameran. Tiga karya terbaik dalam JIMB 2014 yakni:
- Agung Prabowo (Indonesia) dengan karya "Stoples I", reduction linocut print on hand beaten bark daluang paper, edisi 2/3, 20 cm x 12 cm. 2014.
- Deni Rahman (Indonesia) dengan karya "Learn to Squeezer", intaglio, edisi 3/20, 13 cm x 8,5 cm. 2014.
- Lidija Antasijevic (Serbia) dengan karya "Bliss", etching-rotogravure, edisi 10/10, 15 cm x 18,5 cm. 2014
Pendaftar mencapai 167 peserta terdiri dari 68 seniman luar negeri asal dari 31 negara dan 99 peserta Indonesia. Sementara karya yang masuk sebanyak 331 karya. Dari jumlah tersebut dipilih 77 seniman dengan 110 karyanya yang berhak mengikuti pameran JIMB 2016. Mereka terdiri dari 28 seniman Indonesia dan 49 seniman luar negeri. Asal 22 negara.
Setelah melewati penjurian yang ketat selama pameran diputuskan tiga karya terbaik (The Three Best Works) dalam JIMB 2016 yakni:
- Deborah Chapman (Canada) dengan karya "Mumure", mezzopoint, edisi 4/17, 12 x 15 cm. 2016.
- Dimo Kolibarov (Bulgaria) dengan karya "Cycle 'The Diary of Child'- The Golden Fish", etching-aquatint, edisi 3/40, 20 x 16 cm. 2015.
- Paolo Ciampini (Itali) "The Woman", etching, edisi 8/30, 5 cm x 7 cm. 2014.
- Silvana Martignoni (Italia) dengan karya "Infinity Vortex", mezzopoint on copper plate, edisi 3/30, 17 cm x 17 cm. 2016.
- Weronika Siupka (Polandia) dengan karya "Gate V", etching, 16,5 cm x 13,5 cm. 2014.
Batasan kompetisi miniprint dalam JIMB adalah ukuran medium/kertas maksimal 28 cm x 28 cm dengan ukuran karya tercetak maksimal 20 cm x 20 cm menggunakan teknik cetak konvensional meliputi cetak tinggi (relief print): wood cut, linocut, rubbercut, relief etching, engraving; cetak dalam (intaglio): etsa, drypoint, mezzotint, aquatint, photo intaglio, sugar print; cetak datar: lithography, photo lithography, allugraphy; cetak saring/halang: silk screen print, stensil; maupun gabungan teknik cetak konvensional yang ada. Karya dibuat dalam rentang waktu 2017-2018 dengan menerakan no edisi, tahun pembuatan, tanda tangan seniman. Setiap seniman diperbolehkan mengirim 1-4 karya.
Pameran 3 rd JIMB 2018 akan berlangsung pada 20 - 30 November 2018 di Museum Dan Tanah Liat (MDTL), Ds. Kersan Rt. 5, Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul, Yogyakarta. Pameran rncananya akan dibuka oleh Dr. Nasir Tamara dan diberi sambutan oleh Dr. Edi Sunaryo. Berlangsung pada Selasa (20/11) pukul 15.00 WIB – selesai.
Di pembukaan juga akan dimeriahkan dengan ‘Monotype Party’, yaitu pengenalan salah satu teknik dalam seni grafis yang dapat diikuti oleh semua pengunjung yang hadir. Teknik monotype secara prinsip adalah seniman/peserta melukis dengan media tinta cetak/cat di atas lembaran plastik mika, lalu hasil lukisan dicetakkan ke lembaran kertas yang sudah dilembabkan terlebih dahulu. Pencetakan menggunakan mesin press agar hasil gambar tercetak sempurna. Hasil gambar akan terbalik posisinya dan hanya dapat dicetak satu kali. Pengunjung akan diarahkan oleh para pegrafis Yogyakarta dalam mengerjakan teknik tersebut. Acara lainnya adalah art talk bersama finalis dan pemenang 3rd JIMB yang datang di acara pembukaan. Lalu ada penampilan Eman-Eman Band.
Sebelumnya pada pukul 14.00 – 14.30 akan dilakukan jumpa pers dengan wartawan cetak dan elektronik.
--= Tim komunikasi media 3th JIMB 2018 =--
NB:
Side JIMB Exhibition “DIALOGUE IN PRINT”
21 November – 14 Desember 2018
Miracle Prints, Suryodiningratan MJ II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
37 Seniman dengan 41 karya mini print dari 22 negara.
...............
TEMA:
Pesan dari Matrix (Messages from the Matrix)
Never send a human to do a machine's job
Agent Smith
Jogja International Miniprint Biennale(JIMB) 2018 mengajukan tema Pesan dari Matrix (Messages from the Matrix). Tema ini berangkat dari perspektif penjurian yang melihat pentingnya isu atas sifat dan keunggulan duplikatif seni grafis, dimana setiap edisi cetaknya memiliki kualitas yang sama. Dalam kosakata seni grafis, matrix adalah nama lain untuk permukaan fisik di mana gambar yang ditulis, seperti woodblock, piring, batu atau layar dapat diproduksi dalam kelipatan. Dari sudut pandang itulah JIMB 2018 mengundang peserta untuk merespons isu matrix, baik dari isu ‘matrix’ sebagai istilah sifat duplikatif seni grafis hingga filsofi matrix itu sendiri.
Reproduksi cetak itu pada perkembangannya melahirkan mesin cetak yang kemudian mengubah dunia. Pakar Benedict Anderson menjelaskan bagaimana mesin cetak menstandardisasi bahasa dan membentuk pemahaman baru tentang komunitas. Pada pertengahan abad kesembilan belas, mesin cetak memungkinkan surat kabar dapat diproduksi, yang berarti bahwa berita, cerita, dan gambar dapat dibagikan dari tempat-tempat di seluruh dunia kepada orang-orang di seluruh dunia. Pengetahuan tidak lagi dikendalikan oleh mereka yang berkuasa, tetapi dibagikan oleh semua orang.
Di dunia pra-modern, penguasa mengendalikan sejarah yang ditulis. Para penguasa media mengontrol berita dan perasaan manusia melalui media cetak. Penguasa media dapat mempengaruhi pemilihan umum dan kebijakan pemerintah, mereka bahkan dapat menghasilkan atau menghentikan revolusi. Hari ini, mereka yang mengendalikan matriks yaitu media, termasuk mesin cetak, tetapi juga jaringan informasi digital telah mengendalikan dunia. Mesin cetak menjadi salah satu teknologi di mana modernitas dapat dicapai, dan bersamaan dengan itu, pemahaman baru tentang bangsa, kewarganegaraan, kemajuan tercipta.
The Matrix is a system, Neo. That system is our enemy. But when you're inside, you look around, what do you see? Businessmen, teachers, lawyers, carpenters. The very minds of the people we are trying to save. But until we do, these people are still a part of that system and that makes them our enemy. You have to understand, most of these people are not ready to be unplugged. And many of them are so inured, so hopelessly dependent on the system, that they will fight to protect it.
Morpheus
Seniman dapat mengendalikan untuk membuat karya seni, sebaliknya, teknologi juga mengendalikan cara membuat karya seni. Matrix memungkinkan seseorang untuk menghasilkan pelipatgandaan karya, dimana hal itu telah mendemokrasikan citra, memungkinkannya untuk dibagikan ke seluruh dunia, kepada ribuan pemirsa, bukan hanya segelintir orang elit.
Baudrillard, pakar posmodern menerangkan bahwa kini kita memasuki kebudayaan simulakra, yaitu situasi dimana citra menjadi yang utama. Orang lebih mempercayai citra daripada kenyataan sebenarnya, citra telah membangun dunia sosialnya sendiri, citra mendahului kenyataan, dan bahkan menghasilkan kategori realitas baru dengan praktik penggandaan penanda hingga tak berhingga banyaknya. Inilah situasi komunikasi posmodern yang menghasilkan berbagai bentuk komunikasi baru.
Esai penjurian ini dibuat untuk memberikan latar belakang tema, perspektif penjurian dengan harapan peserta dapat mengelaborasinya kedalam karya dan berangkat dari isu yang kami tawarkan. Kami menunggu partisipasi peserta dengan teknik, bentuk dan gagasan/ide/konsep terbaik dari peserta. Selamat berkarya.
*Kutipan dari film The Matrix, 1999
Yogyakarta, Mei 2018
Tim Juri JIMB 2018
Messages from the Matrix
Never send a human to do a machine's job
Agent Smith
The 3rd Jogja International Miniprint Biennale(JIMB) 2018 jury has chosen “Message from the Matrix” as the theme of the Biennale. The theme reflects the jury’s perspective and indicates the importance of the question of character and quality in the practice of reproduction in the graphic arts, where each edition of a work is of the same quality as the original, because each edition of a print is itself an original, not a duplicate. In the vocabulary of graphic arts, matrix is another name for a physical surface where a picture which is drawn, like a woodblock, plate, stone, or screen can be reproduced in multiple quantities. It is from this point of view of that JIMB 2018 invites participants to respond to the issue of matrix, both ‘matrix’ as a term characteristic of graphic arts as well as to the philosophy of matrix itself.
Reproduction through printing, as it developed, gave birth to the printing press which proceeded to change the world. The historian Benedict Anderson has described how the printing press standardized language and formed a new understanding about the notion of community. By the middle of the 19th century, the printing press had made possible the production of newspapers, meaning that news, stories, and pictures could be shared from anywhere in the world to people everywhere. Knowledge was no longer controlled by those in power but became the property of everyone.
In the pre-modern world, those in authority controlled written history. Media magnates controlled the news as well as people’s thoughts through print media. They could influence elections and government policy and could even foment - or halt - revolutions. Today, those who control the ‘matrix’ i.e. the media, including conventional printing presses, but also digital information networks, now control the world. The printing press has become a piece of technology where modernity can be achieved and with that, a new understanding of the nation state, citizenship, and progress realized.
The Matrix is a system, Neo. That system is our enemy. But when you're inside, you look around, what do you see? Businessmen, teachers, lawyers, carpenters. The very minds of the people we are trying to save. But until we do, these people are still a part of that system and that makes them our enemy. You have to understand, most of these people are not ready to be unplugged. And many of them are so inured, so hopelessly dependent on the system, that they will fight to protect it.
Morpheus
Artists can control the making of works of art, though on the other hand, technology can also control the methods of creating art. A matrix makes it possible for a person to produce reproductions of a work and this fact has democratized the image, allowing it to be shared to the entire world, to thousands of viewers, not just an elite few.
The post-modernist theorist, Baudrillard, has suggested that we now live in a culture of simulacrum that is, a situation where the image is primary. People believe in the image more than the reality, the image has already developed its own social world; the image precedes reality and even produces a new category of reality with the practice of reproduction permitting unlimited impressions. This is the post-modern situation which has created new forms of communication
This essay presents the background of the theme and the jury’s perspective as a starting point in the expectation it will be elaborated in the works submitted by JIMB 2018 artists. We are waiting to see outstanding ideas, forms, techniques, and concepts from printmakers everywhere.
*From the film The Matrix, 1999
Yogyakarta, May 2018
Jury JIMB 2018
Tulisan:
Pengantar
3rd Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) 2018 hadir ditengah tarikan even-even pameran, artfair, lelang, bazar, kompetisi, bienal/trienal dari berbagai media seni rupa yang dianggap lebih ‘menjanjikan’ buat perupa Indonesia. Harap dimaklumi, persoalan seni rupa di Indonesia setidaknya dalam dua dekade ini memang masih didominasi urusan market ketimbang membuka peluang lain yang menyentuh aspek sosial, edukasi dan kebudayaan secara luas. Media-media yang dianggap popular seperti lukisan, karya 3 dimensi, photography diserbu para perupa termasuk oleh mereka yang sebelumnya cukup militan dan memiliki kekuatan dalam hal membuat karya seni grafis.
Bienal miniprint ketiga ini kehilangan sebagian besar nama-nama ‘pegrafis menjanjikan’ di tanah air yang sempat mewarnai kepesertaan pegrafis dalam negeri di dua bienal sebelumnya. Celakanya pegrafis pendatang baru baik yang masih berstatus mahasiswa di perguruan tinggi seni maupun yang baru saja lulus tidak cukup punya keberanian untuk berkompetisi. Entah apa yang salah dari pendidikan seni rupa di kampus-kampus seni yang membuat mahasiswanya menjadi minder sentris. Atau mengutip pendapat salah satu dosen seni grafis di sebuah perguruan tinggi seni terkenal dengan istilah ‘cuma jago kandang’.
3rd JIMB kali ini total diikuti 178 seniman terdiri dari 149 seniman yang mendaftar sebagai peserta seleksi dan 29 seniman yang berpartisipasi sebagai seniman tamu dimana karya mereka tidak mengikuti seleksi dan kompetisi. Antusiasme peserta luar negeri begitu luar biasa. Tercatat 136 seniman internasional dari 32 negara yang berpartisipasi, meningkat hampir 200 % dari bienal 2016 yang diikuti 77 seniman internasional. Sementara seniman Indonesia diwakili hanya oleh 42 seniman atau menurun 60% dari angka 99 peserta di bienal 2016 lalu. Sebuah catatan yang buruk tentunya buat dunia seni grafis Indonesia.
Juri kali ini diketuai oleh A. Sudjud Dartanto, seorang pengajar dan kurator yang beberapa kali menangani pameran berskala internasional. Pada bienal miniprint kedua lalu ia menjadi juri anggota. Sementara juri anggota ada 2 yaitu: seniman Deni Rahman yang juga sebagai pengajar di ISI Solo dan Malcolm Smith, seniman, pengelola galeri/studio yang tinggal di Australia dan Yogyakarta. Mereka memilih tema “Pesan Dari Matrix / Messages From The Matrix”. Tema ini dibuat sebagai kelanjutan tema pada bienal sebelumnya “Homo Habilis” yang menekankan pada aspek craftmanship dari karya. Kali ini gagasan para peserta ditantang tentunya dengan tetap tidak melupakan aspek teknis yang kuat. Juri ingin karya peserta membuka ruang-ruang baru yang inspiratif bagi penonton lewat permainan idiom/simbol masing-masing yang telah mereka kuasai sebelumnya. Memang tidak begitu mudah menjabarkan tema tersebut secara verbal namun jika peserta membaca hati-hati essay tema tersebut apa yang diharapkan juri dapat terasakan.
Penjurian dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2018 dan dilanjutkan sampai tanggal 30 Oktober 2018 karena menunggu beberapa karya peseta luar negeri yang masih tertahan di bea cukai. Tempat penjurian di sekretariat 3rd JIMB di Miracle Prints, Suryodiningratan MJ II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141. Dari 149 seniman yang mengikuti kompetisi dengan 351 karya yang masuk juri memilih 65 seniman dengan 117 karya sebagai finalis. Mereka terdiri dari 50 seniman internasional dan 15 seniman dalam negeri asal Yogyakarta, Jakarta, Bandung. Sementara seniman tamu terdiri dari 18 seniman China dan 11 seniman Philipina anggota Asosiasi Pynoprintmakers. Total negara terlibat dalam pameran 3rd JIMB 2018 kali ini 29 negara yaitu 27 negara sebagai finalis: Argentina, Australia, Bangladesh, Brazil, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Hungaria, India, Indonesia, Italia, Jepang, Malaysia, Belanda, Polandia, Rusia, Serbia, Singapura, Spanyol, Thailand, Inggris, Ukraina dan Amerika Serikat. ditambah 2 negara China Tiongkok dan Philipina sebagai peserta tamu. Juri juga telah memilih 6 pemenang untuk 2 kategori: 3 untuk Best Work dan 3 untuk Exellent Work. Mereka yang terpilih adalah: Antoni Kowalski dari Polandia, Evee Eesmaa dari Estonia dan Maja Zemunik dari Kroasia sebagai 3 pemenang kategori Best Work. Sementara kategori Excellent Work diraih oleh: Thamrongsak Nimanussornkul dari Thailand, Silvana Martignoni dari Italia dan Giri Widananto dari Indonesia. Pegrafis dalam negeri menyeruak diantara dominasi pegrafis luar negeri dalam even internasional ini adalah prestasi yang cukup membanggakan. Ternyata juri masih melihat sacercah harapan dari karya-karya pegrafis dalam negeri. Selamat buat mereka semua!
Akhirnya kami ingin mengatakan bahwa bienal miniprint ini mendapat sokongan berbagai pihak. Ada sebagian bantuan pendanaan dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta sebagai wujud fasilitasi program Pameran Kelompok, sebagian dari administrasi peserta, donasi seniman yang dikumpulkan lewat pameran fundrising “Heading JIMB” di Miracle Prints 21 Agustus - 9 September 2018, donatur perorangan, sponsor, pemasang iklan. Kami akui masih sulit untuk mendapat sponsor sampai detik-detik menjelang pelaksanaan acara. Mungkin karena keterbatasan sumber daya kami, mungkin juga para sponsor masih wait and see dalam melihat acara ini sebagai sarana nvestasi.
Kepada penonton, selamat menikmati acara 3rd JIMB 2018.
Yogyakarta, 2 November 2018
Syahrizal Pahlevi/Direktur
Foreword
The Third Jogja International Miniprints Biennale (JIMB) is happening in the midst of the hustle and bustle of many other art events in Yogyakarta, which partly explains the smaller number of local artists participating in the event this year. Several promising artists who joined the first two Biennales are absent. Today we live in an environment in which the more commercial areas of fine arts such as painting, three –dimensional work, and photography are considered more lucrative and attractive. On the other hand, art students and recent graduates of art schools seem to be discouraged from taking part in the event. We also need to do something to overcome the mentality of—as a local lecturer and artist put it —“chickening out” among art students, as well as to broaden perspectives in art-making processes so as to not only meet market-driven demands, but also to respond to cultural, educational, and other social issues.
A total 178 artists consisting of 149 artists registered as candidates for selection in the Third JIMB 2018 and 29 artists who are participating as guest artists and whose work is not in competition. The enthusiasm of international artists is particularly striking. A total of 136 artists from 32 countries submitted work, an increase of 200% from JIMB 2016 where 77 artists participated. However, Indonesia is represented by only 43 artists, a decrease of 60% from the 99 Indonesian artists who participated in JIMB 2016; a sad commentary on the world of Indonesian graphic arts.
The jury is led by A. Sudjud Dartanto, a lecturer at ISI Yogyakarta and an experienced curator who has participated in several international exhibitions. Previously, Mr. Dartanto also served as a jury member of the 2nd JIMB. The other jury members for this year’s event are Deni Rahman, an artist and lecturer at UNS Solo, and Malcolm Smith, an artist and gallery/studio owner who divides his time between Yogyakarta and Australia. The jury has chosen the theme “Message from the Matrix”. It is considered a continuation of the previous Biennale theme, “Homo Habilis” which stressed the aspect of craftsmanship in graphic art. This year’s theme aims to challenge artists to open new spaces of interpretation that will inspire visitors to the show through the manipulation of symbols which they have mastered. It is not a simple thing to do, but with a careful reading, the perspective and expectations of the jury can be understood.
The selection was held from 28 to 30 October at JIMB Secretariat: Miracle Prints, Suryodiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta. The jury has chosen 117 artworks from 65 artists as finalists consisting of 50 international participants and 15 Indonesian participants from Yogyakarta, Jakarta, Bekasi, Bandung and Bali. Guest artists, include 18 Chinese artists, and 11 Philippine artists, members of the Pynoprintmakers Association. Artists from the following countries took part in this year’s event: Argentina, Australia, Bangladesh, Brazil, Bulgaria, Canada, China Croatia, Estonia, Finland, France, Germany, Hungary, India, Indonesia, Italy, Japan, Malaysia, The Netherlands, the Philippines, Poland, Russia, Serbia, Singapore, Spain, Thailand, UK, Ukraine, and the USA.
We have six prize winners in the two categories of the competition; three winners for Best Work and another three for Excellent Work. The three Best Works chosen are: Antoni Kowalski (Poland), Evee Esman (Estonia), and Maja Zemunik (Croatia). For the three Excellent Works we have Thamrongsak Nimanussornkul (Thailand), Silvana Martignoni (Italy), and Giri Widananto (Indonesia). It is good to see that there is a local artist among the international winners. Congratulations to all!
We would like to thank everyone whose contributions enabled us to move forward with JIMB 2018. Dinas Kebudayaan Yogyakarta, all JIMB 2018 participants, the artists who participated in the “Heading to JIMB 2018” fundraising event at Miracle Prints from 21 August – 9 September 2018, our donors, event advertisers, and sponsors. Although obtaining sponsorships was difficult up to the last minute but here we are! Our gratitude goes to the participants who kept the faith in the event. Hopefully future Mini-print Biennales will be even better! Please enjoy the 3rd JIMB exhibition!
Yogyakarta, November 2nd, 2018
Syahrizal Pahlevi, Director
English translation by Rira Nurmaidah and Jerry Chamberland
Catatan Penjurian
Begitu sulit untuk menentukan pemenang. Seperti yang dikatakan oleh para juri, proses seleksi berlangsung dengan ketat, dengan pertimbangan teknis, dan tema. Bongkar pasang kandidat pemenang terjadi berkali-kali, dan terjadi diskusi cukup intens antara kami. Mencari yang terbaik dari yang baik sangatlah sulit dan pelik. Namun hasil harus ditentukan, dan dengan pertimbangan aspek teknik, tema dan karisma karya, maka kandidat pemenang telah diputuskan.
Bagi yang tidak menang bukan berarti Anda tidak mencapai keberhasilan teknik, bentuk dan tema penjurian, namun Anda menang dengan sudut pandang yang beragam, sebagaimana relativitas kebenaran dalam Film Matrix yang menunjukkan filosofi dunia simulasi dari dunia nyata. Apa yang justru nyata adalah dunia simulasi itu sendiri, namun bukan berarti ini sebuah surealisme, dunia simulasi menggunakan realisme sebagai dasarnya, dunia simulasi ini mempercepat kita memasuki abad pasca kebenaran(post thruth). Inilah dunia masa kini dimana yang nyata kabur dan yang palsu malah menjadi benar. Bagaimana itu ditafsir oleh peserta JIMB? Inilah yang menjadi bingkai pameran Jogja International Miniprint Biennale 2018 ini.
Selamat menikmati
Sudjud Dartanto
Jury Notes
It was exceptionally difficult to determine the winners of JIMB 2018. As members of the jury stated, the selection process was very strict particularly regarding technical considerations and handling of the theme. Rethinking the wining candidates happened again and again and intense discussions occurred among the jurors. Choosing the best of the best was difficult and complicated. Nonetheless, decisions had to be made and in consideration of technical aspects, realization of the theme, and the particular charisma of the individual works, the winning candidates were selected.
For those artists who did not win it doesn’t mean that they were not technically successful, nor failed in regard to the form and handling of the theme. However the artists were successful from the point of diversity, insofar as the relativity of truth in the film Matrix exemplified a world view or philosophy, a simulation of the real world. What is real is the simulated world itself (although not a kind of surrealism) a simulated world uses realism as a base. This simulated world hastens our entry into the post-truth era. This is the world of today where the real is elusive and the false becomes real. How was this interpreted by JIMB participants? This is the exhibit frame of the Jogja International Miniprint Biennale 2018.
Sudjud Dartanto
English translation by Jerry Chamberland
Thoughts on judging
I don’t really like competitions. There is no right or wrong artwork, so there is no better or worse artwork either. “Beauty is in the eye of the beholder”. An artwork means something different to everyone. So how can a “judge” claim to know what is good for everyone else?
In the process of selecting the finalists and the three final “winners” of this competition, we had certain criteria that we discussed. Firstly we needed to knock out the entries that did not conform to the selection criteria – size, edition, technique etc. Then we chose all the works that we thought engaged technically with the medium of print in interesting ways. This was actually more than half of the works. Then we looked at how these works addressed the theme of the show – the idea of the “matrix”. Then we looked more closely at other criteria; aesthetics, composition, subject matter and so on.
We ended up with a shortlist of works that ticked all of the aforementioned boxes. But the problem is, I wasn’t really excited about many of these works. Just because an artwork ticks all the correct boxes doesn’t make it interesting. Actually, in my opinion, its always the artworks that break the rules, that don’t fit neatly into any category, that annoy me or offend me, that I think in the end are the most interesting ones. These artworks have a kind of transgressive charisma, a “fuck you” attitude that doesn’t really care if they are a “winner” or a “loser” in anybody else’s eyes.
So congratulations to everyone in this show. If you don’t care about winning, then you have already won. And if anyone should be judged, it is the judges.
Malcolm Smith
Sekelumit Pikiran Soal Penjurian
Saya tak suka kompetisi. Bagi saya, tak ada karya seni yang salah atau benar. Karena itu tak ada karya yang lebih baik maupun lebih buruk dari yang lainnya. Ada sebuah pepatah, “beauty is in the eye of the beholder”, indah itu tergantung mata yang memandang. Sebuah karya seni mengandung makna berbeda bagi setiap orang. Jadi, bagaimana bisa seorang juri dapat mengklaim dirinya tahu apa yang bagus untuk semua orang?
Pada proses seleksi finalis dan tiga karya “pemenang” dalam kompetisi ini, tim juri menentukan sejumlah kriteria untuk didiiskusikan. Pertama, kami harus mengeliminasi karya-karya yang tidak selaras dengan ketentuan seleksi—seperti ukuran, edisi, teknik, dll. Kemudian kami memilih sejumlah karya yang mengeksplorasi media cetak yang digunakan dengan cara-cara menarik. Kami menemukannya dalam lebih dari separuh karya yang masuk. Lalu kami mencoba menelaah bagaimana karya-karya ini merespon tema—ide tentang “matrix”. Setelah itu, barulah kami beranjak pada kriteria lain seperti estetika, komposisi, pesan/isi, dll.
Akhirnya kami mendapatkan daftar karya yang mencentang seluruh kriteria tersebut di atas. Hanya saja, saya tidak terlalu antusias dengan kebanyakan dari karya-karya ini. Karena sebuah karya lolos dalam semua kriteria seleksi, tidak otomatis menjadikannya menarik. Sebenarnya, menurut saya, karya-karya seni yang melanggar aturan, yang tidak mesti menepati pengkategorian apapun, yang menyebalkan, atau menyinggung saya, justru yang pada akhirnya saya anggap paling menarik. Karya-karya seperti ini memiliki kharisma “penerjang batas”, bersikap “masa bodoh”, tak peduli atas status pemenang atau pecundang dalam pandangan orang lain.
Baiklah, selamat bagi semua peserta dalam acara ini. Jika anda tak peduli untuk menang, maka anda sudah jadi pemenangnya. Kalaupun ada yang layak dihakimi, mereka adalah para juri itu sendiri.
Malcolm Smith
Diindonesiakan oleh Rira Nurmaidah
Karya Cetak Grafis:
Pesan Jujur dari Matrix
Hal yang paling mendasar yang membedakan seni cetak grafis dengan cabang seni rupa lainya adalah digunakanya matrix atau acuan cetak pada proses pembuatan karya cetak grafis. Matrix dalam seni cetak grafis ibarat rahim pada perempuan. Matrix akan ‘melahirkan’ cetak coba (proof) hingga edisi karya grafis yang identik dan otentik.
Ada banyak teknik dan bahan untuk menciptakan matrix. Para perupa telah mengenal empat prinsip dasar teknik untuk membuat matrix cetak grafis, yaitu: cetak tinggi (relief print), cetak dalam (intaglio), cetak datar (planography), dan cetak saring (serigraphy) . Teknik tersebut berkembang mengikuti capaian teknologi di zamanya. Tubuh manusia pun bisa menjadi matrix. Tubuh manusia adalah matrix paling purba, hal ini salah satunya ditandai dengan gambar cap-cap tangan yang ditemukan di dinding gua Gua Pettae dan Pettae Kere Leang-leang, Maros Sulawesi, yang oleh para ahli arkeologi diperkirakan dibuat 8.000-3.000 SM.
Dalam seni cetak grafis, apa yang dikerjakan orang pada matrix baik itu mencukil, menoreh, mengerok, mengasam dan lain-lain, hasilnya akan terlihat setelah dicetak. Dari hasil cetakan, kemudian dapat diketahui teknik apa yang digunakan oleh si pembuatnya. Apa yang tercetak pada media karya merupakan hasil dari apa yang dikerjakan pada matrix. Lepas dari konteks diluar bentuk karya, hasil cetakan karya grafis secara ‘jujur’ telah ‘bercerita’ sendiri bagaimana kesederhanaan maupun kerumitan proses pembuatan matrixnya.
Menurut saya, karya-karya yang lolos sebagai finalis dalam Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) #3 kali ini, adalah karya-karya dari para pegrafis yang mampu memanfaatkan kejujuran matrix dalam menyampaikan pesan.
Salam Cetak
Jogja 11 November 2018
Deni R
-------------------------------------------------------------------------
Prints: An Honest Message from the Matrix
The most basic thing which differentiates printmaking from other forms of visual art is the use of a matrix or reference of printing in the process of making a print. A matrix in printmaking is the ‘womb’. The matrix will give birth to proof prints to the point where all works of the edition are identical and authentic.
There are many techniques and materials which can be used to create a matrix. Artists are familiar with four basic technical methods used to create a print matrix: relief print, intaglio, planography, and serigraphy. These techniques developed in the context of other technological developments in different historical periods. The human body itself can become a matrix and in fact the human body is the world’s oldest matrix, as indicated by the hand prints found on the walls of the Pettae and Pettae Kere Leang-leang caves in Maros, South Sulawesi which archeologist estimate were made between 3,000BCE and 8,000BCE.
In printmaking, what artists do to the matrix; whether to cut, incise, scrape, or erode/oxidize the results will be seen after the work is printed. From the results of the printing process, it can be seen which techniques were used by the artist. What is printed on the medium of the work is the result of what was done to the matrix. Apart from the context of the work, the print results of a graphic work in fact quite ‘honestly’ tells its own story of how simple and yet complex is the process of making a matrix.
In my opinion the works which were selected as finalists in the Third Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) are works by graphic artists who are capable of using the honesty of the matrix to convey their message.
Deni R
English translation by Jerry Chamberland