Momentum 1.
Adalah “Bedroom in Arles” judul tiga versi lukisan Vincent Van Gogh berobjekkan interior kamar tidurnya semasa tinggal di Arles, Perancis yang menjadi momentum mempertemukan kesukaan saya bermain ruang dan ingatan atas pekerjaan merepro lukisan maestro Eropa semasa menjadi mahasiswa seni dahulu. Berdasar pengamatan atas foto tiga versi lukisan yang banyak beredar di media tersebut sejak pertengahan 2017 sampai awal 2019 saya membuat 20 seri karya seni grafis dengan hanya 1 teknik yaitu teknik cukil kayu reduksi yang dicetak diatas kertas dalam berbagai ukuran. *1
Momentum 2.
Ide berlanjut dengan melakukan pengamatan atas seri lukisan berobjekkan buah apel dari karya pelukis Paul Cezanne yang juga dianggap maestro Eropa. Momentumnya adalah munculnya keinginan meluaskan teknik dan media berkarya dengan menggali kembali berbagai potensi teknik dan media yang pernah dilakukan dahulu. Dalam seri ini saya membuat tidak hanya karya seni grafis teknik cetak cukil kayu reduksi yang merupakan media kesukaan saya selama ini, melainkan juga seri cat air di atas kertas, lukisan cat minyak di kanvas dan karton serta beberapa karya dengan teknik cetak lain. *2
Momentum 3.
Keinginan meluaskan teknik dan media ini kembali menemukan momentum ketika saya mencoba menengok proses saya sendiri dalam menggarap karya-karya sebelumnya. Hasilnya adalah beberapa lukisan dan cetak grafis dalam berbagai teknik yang tampil dalam pameran ini. *3
Catatan:
*1. Sebagian besar karya telah dipamerkan dalam pameran tunggal “Dari Guanlan ke Arles (Trilogi Reduksi I)” di Museum Dan Tanah Liat Yogyakarta 20 – 30 Januari 2018 dan pameran tunggal “Bedroom in Arles (Trilogi Reduksi II)’ di Kebun Buku Yogyakarta pada 12 – 26 Januari 2019 lalu.
*2. Karya-karya dipamerkan dalam pameran tunggal “Still Life With Apples” di Nalarroepa Yogyakarta 23 Juli- 30 Agustus 2019 lalu.
*3. Pameran “Bedroom in Arles Retouch” ini menampilkan juga sebagian karya lama dari 3 pameran tunggal sebelumnya termasuk karya yang belum pernah dipamerkan untuk memperlihatkan perkembangan dalam usaha meluaskan teknik dan media tersebut.
Syahrizal Pahlevi
BEDROOM IN ARLES RETOUCH
Ditengah fenomena pameran seni rupa belakangan yang ‘banyak mengusahakan kebaruan ide, bentuk dan teknik’, karya-karya Pahlevi dalam “Bedroom in Arles Retouch” melakukan apa yang sering dikatakan pengamat seni sebagai sebuah praktik ‘apropriasi’, yakni sebuah metode meminjam ide, bentuk, dan teknik dari karya yang tergolong ‘masterpiece’, atau yang menjadi ikon dalam sejarah, dalam hal ini sejarah seni rupa.
Sepengenalan saya dengan Pahlevi, ia seperti seorang ilmuwan yang tertarik pada perkara keteknikan. Latar edukasi Levi dari studio seni lukis, namun Ia justru meminati seni grafis, dan kita tahu didalam seni grafis ada beragam teknik yang rumit untuk dipelajari. Justru kerumitan itu menjadi petualangan tersendiri dengan segala efek cetaknya, dari manual hingga digital. Pahlevi mengamati
Pameran ini masih masih dalam ikatan pameran tunggal sebelumnya; "Dari Guanlan ke Arles" - trilogi reduksi #1 di Museum dan Tanah Liat (MDTL) dan "Bedroom in Arles" - trilogi reduksi #2 di Kebun Buku Yogyakarta. Bila sebelumnya Pahlevi mengamati Cezanne berjudul Paul Cezanne(1839-1906), satu ikon aliran posimpresionisme dari Barat. Dalam pameran ini pemilik wajah misterius ini mengamati pula "Bedroom in Arles" karya ikon seni rupa modern Barat yang lain, yaitu: Vincent van Gogh yang dibuat antara tahun 1888 hingga 1889.
Kurang lebih dua puluh karya grafis teknik woodcut reduksi cetak di atas kertas dalam berbagai ukuran yang dibuat mulai akhir tahun 2017 hingga awal 2019 ditampilkan dalam pameran ini. Ada tiga versi lukisan van Gogh yang berobjekkan kamar tidurnya sendiri itu sebagai pokok utama gagasan yang ia apropriasi. Dalam eksplorasi tekniknya, Pahlevi melakukan sentuhan ulang (retouch) dengan teknik dan media yang berbeda atas tafsirnya inilah makna utama pameran ini
Apa kaitan historis Pahlevi dengan para ikon seni rupa modern itu? Tidak ada, namun dalam konteks memori dan hasrat, ‘warisan kebudayaan barat’ itu memiliki arti tersendiri bagi Pahlevi yang notabene besar dan lahir di Timur, bagi saya percakapan transestetik ini menarik sebagai sebuah karya yang lahir dari kekuatan imajinasi yang kuat.
Sudjud Dartanto