“KEDI” Pameran Tunggal Lukisan Faisal Hamidy
Kucing Dan Kita
Kucing buat seorang Faisal Hamidy meminjam istilah yang sering digunakan Suwarno Wisetrotomo ‘memiliki makna berlapis-lapis’.
Kucing tidak sekedar makluk lucu, nakal, menggemaskan namun penuh mitos, sejarah, kisah sedih dan nasib mengenaskan. Namun tentu saja baginya kucing juga secara visual memiliki bentuk yang indah, estetis yang menarik untuk digambar.
Hamidy sengaja memberi judul pamerannya KEDI yang berarti kucing dalam bahasa Turki. Ini bukan tanpa alasan.
KEDI merupakan judul sebuah filem dukumenter besutan sutradara berkebangsaan Turki, Ceyda Torun. Filem itu berkisah kucing-kucing jalanan di kota Istanbul, Turki yang diopeni dan menjadi bagian kehidupan masyarakat disana. Filem tersebut begitu terkenalnya dan menjadi pembicaraan para kritikus filem dan para penonton. Bahkan tokoh utama filem yaitu kucing-kucing jalanan menjadi bintang bak selebriti yang dielu-elukan penggemarnya.
Tidak terkecuali dengan Hamidy. Ia begitu terkesannya dengan filem tersebut.Namun ia juga menggali sejarah, kisah dan mitos kucing dari berbagai referensi untuk memperkaya gagasannya. Dengan mengambil judul dari filem tersebut sebagai judul pameran dan juga menjadi judul beberapa karya lukisnya, pelukis kelahiran Jakarta, 1974 ini seakan menegaskan posisinya yang berbeda dari kebanyakan pencinta hewan.
Bila kebanyakan pencinta hewan (kucing) hanya peduli dengan binatang (kucing) peliharaannya yang manis-manis, Hamidy justru peduli dengan nasib kucing-kucing yang kurang beruntung, yang tak terawat dan diacuhkan manusia.Semua ini berawal dari pengalamannya sendiri yang coba ia rekonstruksikan dalam karyanya.
Karya berjudul “Penyeberang Jalan”, cat minyak diatas kanvas, 30x40 cm, 2020, menceritakan kisah kucing yang menurut Hamidy bukan merupakan makluk penyeberang jalan yang baik yang akhirnya menjadi korbannya sendiri.
Hamidy sekali peristiwa di masa lalu pernah tidak sengaja melindas mati kucing peliharaannya sendiri saat ia harus memindahkan posisi sepeda motornya di rumahnya. Peristiwa itu demikian membekas di kepalanya sehingga memutuskan melukiskannya. Untuk mengembalikan jejak peristiwa ia membuat cetakan ban motor yang diberi cat dan dicetakkan langsung ke kanvas. Kemudian hasil cetakan diresponnya dengan berbagai goresan cat yang mengimpresikan bekas keberadaan seekor kucing yang terlindas termasuk bercak darahnya.
Di “Penyeberang Jalan #2”, media campuran diatas kanvas, 79x69 cm, 2020, ia juga memasukkan cetakan ban sepeda motor untuk mengimpresikan jejak atau sisa-sisa sebuah peristiwa kecelakaan kucing yang tertabrak kendaraan di jalan raya yang pernah disaksikannya. Kali ini ada bidang putih kuat menggambarkan marka jalan membelah bidang kanvas.
Sebagaimana kebanyakan orang, Hamidy percaya mitos bahwa jika ada seekor kucing tertabrak di jalan maka ada kewajiban orang yang menabrak atau yang melihatnya untuk menguburkannya. Jika tidak, maka ada kesialan yang akan menimpa orang-orang yang bersangkutan. Pada saat itu ia yang bukan si penabrak berinisiatif menguburkan kucing malang tersebut.
Kucing dimata Hamidy identik dengan luka atau bekas luka di tubuhnya. Luka-luka tersebut didapat seringnya karena kucing memang suka berkelahi dengan sesamanya. Tetapi luka pada kucing juga terjadi akibat kecelakaan atau karena ulah iseng manusia. Luka pada tubuh kucing mendapat perhatian lebih pada Hamidy. Setidaknya ada 10 lukisan dalam pameran ini yang bercerita atau menginformasikan soal luka tersebut (Head #1, Head #2, Ibu dan Anak, Jumpa di Persimpangan, Konflik, Yellow Cat, Tiga Saudara, Terlelap termasuk Penyeberang Jalan #1 dan #2).
Pada “Head #1, cat minyak diatas kanvas,, 58x72 cm, 2020, ia membuat visual mengasosiasikan bentuk muka kucing dengan mata besar, telinga dan gigi-gigi runcing. Di bagian kiri wajah ia memberi fokus bidang kecil berwarna merah darah serupa torehan luka. Di kanvas yang lain ia menggambarkan seekor kucing tengah tidur terlelap. Tapi perhatikan, ada goresan luka pada bagian tubuhnya (“Terlelap”, akrilik diatas kanvas, 60x80 cm, 2020)
Gestur dan geliat kucing sedang bermain, bersantai juga tidak luput dari perhatiannya. Namun lagi-lagi penggambarannya tidak sederhana karena begitu banyak cerita yang ingin disematkan pada lukisan kucing-kucingnya.
Tidak hanya pengalaman pribadinya, Hamidy juga tertarik menyoal masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Karya “Rebutan Pepesan Kosong”, akrilik diatas kanvas,, 75x45 cm, 2021 sepertinya ingin menyentil seringnya manusia saling berebut ‘sesuatu’ hingga berkelahi seperti kucing. Lukisan dominan merah tersebut menggambarkan sosok-sosok kucing yang hanya kebagian wadah tempat makanan yang kosong, sementara ikannya sudah tidak ada atau hanya ilusi.
Humor juga ada. Pada “Maneki Neko”, cat minyak diatas kanvas, 80x60 cm, 2020, Hamidy menyoal keberadaan ‘boneka hoki’ yang dipercaya masyarakat Tionghoa sebagai pembawa keberuntungan di dunia usaha. Ia seakan iseng bertanya, apakah dalam situasi Covid – 19 ini, dimana sebagian besar usaha menjadi lesu, boneka hoki tersebut masih berdaya? Tidakkah kerja boneka hoki semakin berat?
Karya Hamidy secara umum becorak ekspresif dengan kecenderungan abstraksi.Untuk mengasosiasikan seekor kucing ia hanya perlu mempertegas bentuk telinga, bola mata, dan barisan gigi kucing yang runcing. Selebihnya adalah permainan garis membentuk bidang acak namun terarah.
Tema kucing cukup sering digarap pelukis. Setidaknya telah ada dua pelukis yang intens menggarap tema serupa: Pelukis Popo Iskandar dan Klowor Waldiono. Popo Iskandar dengan torehan pisau palet yang tebal dan kokoh menghadirkan misteri binatang kucing lewat bentuk mata dan gestur. Sementara Klowor Waldiono cenderung lebih riang, gembira dengan geliat gerak kucing-kucingnya yang ekspresif.
Namun Hamidy sepertinya menempuh jalan yang lain. Ia nampak lebih realis karena berangkat dari keprihatinan yang dirasakannya. Selain itu adanya pengalaman empiris semakin memberi bobot pada kisah yang ingin disampaikannya.
Melalui pameran ini ia ingin mengajak agar kita tidak hanya peduli dengan kucing rumahan yang manis-manis dan terawat baik, namun juga memperhatikan kucing-kucing jalanan yang tidak terurus dan kurang beruntung.
Dalam kasus ini ia telah melakukan sesuatu.
Syahrizal Pahlevi, perupa
-----------------
Faisal Hamidy menempuh pendidikan Disain Komunikasi Visual di Modern School of Design, Yogyakarta tahun 1995, kuliah Fotography di FSMR ISI Yogyakarta tahun 1988 dan sempat kuliah di prodi Seni Lukis di ISI Denpasar tahun 1999.Saat ini ia berkarya dan tinggal di Yogyakarta.
Artikel ini dengan berbagai editan telah dimuat di Harian Disway, terbitan Jumat, 1 Januari 2021 dengan judul “Momen Tragis dan Manis Tentang Kucing”
****************
Catatan Pendek.
Kedi, ada Luka
Pemeran Lukisan Faisal Hamidy.
Kedi, tajuk pameran tunggalnya Faisal Hamidy di Miracle Prints Yogyakarta. Di sana digelar lukisan canvas dan coretan sketsa hitam putih di atas kertas. Kedi dalam bahasa Turki untuk sebutan kucing, dan saya tidak tahu mengapa dia lebih senang mengunakan kata Kedi, bukan Kucing. Tetapi dari karya-karyanya, terbaca kalau dia sangat tahu tentang kucing.
Lukisan Faisal H., abstrak ekspresionis dengan sapuan kuas yang liar dan tidak kompromi lagi pada realitas objek. Dia lebih senang menggambarkan kegelisahan pikirannya dari pada mimesiskan sosok kucing di bidang kanvas dan kertasnya.
Faisal H., tidak ingin proses kreatif berkaryanya terganggu oleh corak dekoratif. Padahal peluang itu ada, misalnya dengan merespon efek sapuan kuas yang meninggalkan jejak. Dia lebih senang membiarkannya, dan tidak perlu diisi lagi dengan unsur hias, sebab efek itu sudah berkarakter, menginformasikan energi pikirannya.
Faisal Hamidy menurut saya, tidak sedang menggambar kucing. Kucing itu hanya sebagai objek saja agar dia dapat menunjukan kasih sayangnya pada yang dicintai. Bahkan bila kita cermati karya-karyanya, tidak akan menemukan gambar kucing, sebab kucing diwujudkan dengan samar.
Kosakata visual yang digunakan, didominasi oleh garis dan blok warna yang dinamis, dengan sapuan kuas non-naturalistik. Ini adalah jalannya untuk menuju ekspresi transendental (kandinsky).
Mengamati lukisan Faisal H., misteri yang masih mengganggu pikiran saya, adalah bercak merah atau blok merah selalu hadir disetiap kanvasnya.
Apakah ini sebagai tanda “luka”, pada yang dicintai !?.
Selamat dan sukses, terus berkarya tetap menjadi diri sendiri sebagai pelukis yang merdeka.
Alex Luthfi R.
Saung Banon Arts
4 Februari 2021.
Yogyakarta.
(Diambil dari status facebook alexandri luthfi https://web.facebook.com/alexandri.luthfi )