
“TAK APA-APA “ (Medan Kesepian)
Pameran karya Mini Franky Pandana
Miracle Prints, Suryodinigratan MJ II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
14 -18 September 2018
Pembukaan: Jumat, 14 September 2018, pukul 16.00 (4 sore)
Contact Person: Ria Novitri/081539816190
Pengantar Galeri:
‘Provokasi Tak Apa-Apa”
Franky “Acun’ Pandana adalah kolektor-seniman-provokator. Sebagai kolektor ia pandai bergaul, kenal banyak seniman penting, mengoleksi karya-karya bermutu dan rajin mengunjungi art fair/pameran dalam dan luar negeri. Sebagai seniman ia rajin menggambar, membuat kolase, melihat dan belajar dari karya seniman lain, rajin membuka wawasan seni rupa. Sebagai provokator ia gemar mengeluarkan kata-kata pedas dan nyinyir untuk mengkritisi dan membakar semangat perupa-perupa Medan, kota kelahiran dan juga tempat tinggalnya.
Medan, lagi-lagi Medan. Itulah tujuan Franky selama ini, setidaknya terpapar sejak ia mulai gemar mengoleksi karya di tahun 2004. Medan adalah passion Franky dalam mengoleksi karya (termasuk mengelola sebuah ruang seni Embun Art Room, Medan), menggambar dan melontarkan kritik dan provokasi-provokasinya. Ia memelihara ‘musuh-musuh’ berdebatnya di kota Medan dan para seniman lain yang tidak sepaham dengan pemikirannya. Koleksinya mengalir, karya-karyanya mengalir dan komentar-komentar pedasnya mengalir. Di satu sisi ia sangat ‘meresahkan’ buat ‘musuh-musuh’nya, namun di sisi yang lain mendatangkan kekaguman buat yang memahaminya. Betapa kecintaannya pada seni rupa dan betapa kecintaannya pada kota Medan. Ia ingin kota Medan berkembang seni rupanya dan berkembang apresiasinya mengejar kota-kota lain di Indonesia. Saat ini berbagai aspek seni rupa di Medan masih belum memenuhi harapannya.
Pameran ini ia anggap hanya sebuah ‘hiburan’, main-main dengan karya yang ‘main-main’ pula, dibuat sekedar mengobati rasa bosan (dengan pekerjaan sehari-harinya sebagai pemilik sebuah lembaga kursus bahasa Inggris di Medan_pen). Karya-karya ini termasuk ‘karya mini’, karena hanya berukuran antara 14 cm x 9 cm sampai 16 cm x 12,8 cm untuk kolase dan A5 untuk drawing. Judul pamerannya pun “Tak Apa-Apa”. Sangat santai, sesantai jawaban seseorang ketika terpaksa menerima sebuah keadaan yang sebetulnya ia sendiri ragu atau tidak siap menerimanya, namun ia tidak enak hati jika harus menyatakan perasaan sesungguhnya. Seperti kalimat yang belum selesai, menggantung khas basa-basi Timur, padahal ia orang Medan yang terkenal tidak suka basa-basi. Apakah kita akan langsung percaya dengan pernyataan seninya yang seolah berancang-acang menegasi bila ada kritik terhadap karyanya yang dianggap kurang serius, kurang artistik, kurang teknik dan serba kurang lainnya? Hal yang terasa bertolak belakang dengan kegemarannya mengkritisi karya dan sikap seniman selama ini.
Miracle Prints kali ini berkesempatan menghadirkan karya-karya seniman multi julukan ini. Karya-karya ini barangkali masih menyimpan provokasi sebagaimana kegemarannya, namun tidak dengan kata-kata atau ‘status-status pedas dan nyinyir’ sebagaimana di media sosialnya. Ia tampil dengan permainan garis, bentuk, komposisi, warna melalui kreasi potongan kertas bergambar yang ditemukannya. Ini adalah provokasi lunak, yang tidak memancing munculnya ‘musuh-musuh baru’. Ok, “Tak apa-apa’ (dibilang ini-dibilang itu, dianggap begini-dianggap begitu, ditawar segini-ditawar segitu dan seterusnya)......asalkan.......hmmm.....
Pameran ini mendapat banyak dorongan dari Hendro Wiyanto yang memberi usulan, saran-saran, ‘perploncoan’ kepada seniman, membantu menyeleksi sebagian karya dan menyumbangkan tulisannya. Kami mengucapkan terima kasih. Semoga cukup menghibur, sebagaimana harapan senimannya.
Syahrizal Pahlevi/Miracle Prints
Artist Statement:
“Tak Apa-Apa”
Karya-karya kolase ini dimulai dari kebosanan sembari melakukan rutinitas. Dari kebosanan itu menjadi sebuah keinginan menjadikan sesuatu. Dari sesuatu itu jadilah pameran ini. Tidak ada konsep yang berat-berat, tidak ada ide yang cerdas sekali, kadang juga tidak untuk memuaskan nafsu visual. Karya-karyaku kali ini hanya seperti “mainan” yang menghibur dalam masa kebosanan. Semoga mereka juga bisa menghibur kamu.
Franky Pandana, 2018
Biodata seniman:
Lahir : 26 Maret 1976
Solo exhibition:
2012 : “Sensibility”, A2 Gallery, Malaysia
2013 : Desk Project”, A2 Gallery, Malaysia
2014 :“To You”, Embun Art Room, Medan
2016 : “I Was Here...” Galeri Seni Rupa UNIMED, Medan
2017 : “I Sense” SUB STORE, Tokyo, Japan
2018 : “Tak Apa Apa” Miracle Prints, Yogyakarta
Group exhibition:
2011 : “Sekarat”, Taman Budaya Yogyakarta
“Eleven Artists, A2 Gallery, Malaysia
“Portrait”, Galeri UNIMED, Medan
“Less is More”, A2 Gallery, Malaysia
2012 : “George Town”, Alpha Utara, Malaysia
2013 : Dollanan 2, JNM, Yogyakarta
: “Home” Mi Casa Su Casa, Singapore
2015 : “Aku Kamu Dia”, Embun Art Room, Medan
2016 : “Desk Top Project” Jalan Kenangan, Jakarta
2017 : “Drawing Purba”, Miracle Prints, Yogyakarta,
2018 : “Eutopia”, Focal Point Jadwee Studio, Medan
: Pameran Sumatera, Taman Budaya Medan
Award:
2012 : Artsist of The Year versi majalah Kover Medan
KOLASE KESEPIAN
Pada suatu ketika, hampir setiap hari Franky mengirimkan gambar-gambarnya melalui whatsapp kepada saya. Terkesan dia sangat rajin mencoret di kertas apa saja, pada bekas bungkus, sisa buku pelajaran yang masih kosong, karcis parkir, mungkin juga lembaran bon belanja barang atau nasi Padang. Dia gemar menggambar figur atau sosok yang sendiri. Gambar itu terkesan tidak selesai, dibiarkan mengambang tanpa sesuatu yang bisa diidentifikasi sebagai tempat, ruang atau kejadian tertentu. Sosok yang muncul hampir dapat dipastikan adalah jenis laki-laki, atau kadang seperti bayang-bayang jangkung dengan beberapa penanda atau objek sepele di sekitarnya. Lain kali dia mengirimkan serangkaian gambar lagi yang mirip kartun atau makhluk-makhluk ajaib. Dia memang penggila komik, terutama jenis manga, termasuk komik dengan adegan-adegan porno yang gambarnya begitu ‘lempeng’ atau terus terang.
Setelah bertubi-tubi menerima kiriman itu, saya kemudian menyadari bahwa Franky adalah pemuja dua seniman hebat Indonesia, Ugo Untoro dan eddiE haRA. Jenis gambar-gambar dua seniman ini tampaknya begitu kuat menyedot Franky. Ringkasnya, dia terkesima dan tampaknya selalu terbawa-bawa oleh suasana atau kejadian “puitis” pada gambar-gambar Ugo, tapi tidak ingin kehilangan selera humor populernya. Suatu kali dia menghadiahi saya sebuah buku tebal berisi gambar-gambar yang mirip kerjaan remaja tanggung yang frustrasi. Dia sebut beberapa kali nama penggambarnya, tapi saya tidak pernah bisa mengingatnya sampai sekarang.
Kali yang lain dia bertanya, “bagaimana cara menggambar yang “benar”? Saya membalasnya singkat: “Mesti membebaskan dulu dari imajinasi atau cita-cita menjadi penggambar mahir seperti Ugo atau eddiE haRA.” Belakangan saya makin yakin, Franky memang tidak ingin jadi “mahir”, dia lebih betah dengan yang serba bastar.
Setelah itu lama dia tidak memborbardir dengan gambar (padahal saya pernah mengunjungi kantor dan rumahnya di Medan dan beberapa coretan yang lebih orisinal saya temukan di dinding rumah, peti barang atau papan tulisnya). Ketika dia mulai kumat dengan gambar-gambar bastar, dia ternyata membikin jenis lain: kolase. Dia mengguntingi majalah-majalah bekas, menikmati gambar-gambar pop, warna cetakannya, jungkir-balik bentuk-bentuk huruf, dan semua judul bualannya. Mungkin dia baca juga caption-captionnya, karena hobi bacanya di atas standar rata-rata seniman kita. Nah gunting-menggunting tiap malam itu tiba-tiba saja dipilih untuk dibikin kolase di atas ratusan lembar kertas kecil.
Guntingannya tajam, komposisinya standar, tapi kini dia bebas dari “kewajiban” untuk membikin garis puitis. Dibikinnya blok-blok kedap bersegi-segi, jadinya tetap raut laki-laki juga, dengan segala jenis topengnya. Jumlahnya ratusan. Kode-kode populer dan keseharian apa yang paling menarik bagi dia, laki-laki ? Apakah dia sudah menjadi “bastar” sungguhan dengan cara membelakangi dua seniman yang digandrungi?
Tapi kebandelan Franky untuk terus menggambar, dan kini kolase, agaknya didorong oleh kesepiannya di kota kelahirannya sendiri, Medan. “Medan kesepian,” katanya. Kesepian medan (seni rupa) rupanya ditambah lagi kini dengan kesepian dan kerajinan menggambar dan menempel. Kesepian ganda itu yang membikin Franky bercakap-cakap dengan kepalanya sendiri, dengan gambar-gambar dan kini kolasenya sendiri.
Selamat berpameran di Yogya, Franky! +++ (hendro wiyanto)