
![]() PRESS RELEASE Pameran Tunggal Alie Gopal "MAIN" Pembukaan pameran: Kamis, 15 Maret 2018 | Pukul 19.30 WIB Tempat : Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Jl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta Penulis : Moh. Jauhar Al Hakimi, Probosiwi, S.Sn., M.Sn dan Syahrizal Pahlevi Dibuka : Bapak Subroto Sm Perform : Sri "Encik" Krishna, Asosiasi Olahraga Skesta Indonesia (AORSI). Bincang seniman : 18 Maret 2018 di Ruang pamer TBY, pukul 15.00 - selesai Penyelenggara: Teras Management dan Studio Suka-Suka Kontak : Ria Novitri/081539816190, email: [email protected] Pameran berlangsung: 15 - 23 Maret 2018 MAIN, Main, Bermain, Main-main Alie Gopal bukan sekedar artisan bagi karya dan pameran seniman lain, namun berperan lebih jauh dengan menawarkan ide-ide dan pandangan artistiknya, namun tidak melanggar wilayah otonomiseniman.Minat, pengetahuan dan pengalamannya dalam hal teknik dan rasa artistiknya yang tinggi membuat berbagai karya dan pameran seniman yang menggunakan jasanya ‘terangkat’. Keinginan seniman tercapai dan terkadang justru melebihi ekspetasi merekasendiri sebelumnya. Artinya di beberapa kasus kehadirannya berperan besar memberikan nilai tambah bagi karyaatau pameran yang ditanganinya. Peran ini bukan peran seorang artisan biasa yang cenderung sekedar membantu seniman atau apa maunya seniman saja. Ali Gopal memosisikan dirinya sebagai penerjemah ide-ide seniman yang diawali dengan diskusi-diskusi produktif agar tercapai hasil maksimal yang memberi ‘rasa senang’ di kedua pihak: seniman dimaksud dan tentunya dirinya sendiri. "Main, Bermain, Main-main" adalah tema pameran tunggal perupa Alie Gopal setelah pameran tunggalnya yang terakhir kali dihelat pada pada 31 Januari - 10 Februari 2008 di Museum Dan Tanah Liat (MDTL) Yogyakarta. Dalam rentang sepuluh tahun praktis Alie Gopal lebih banyak mengikuti pameran bersama, selebihnya berkarya dan disimpan sendiri. Menurut Moh. Jauhar Al Hakimi, Pameran kali ini semacam retrospeksi bagi Alie Gopal dalam perjalanan sepuluh tahun, meskipun karya yang tersaji lebih dari rentang itu.tema "Main, Bermain, Main-main" dipilih Alie Gopal untuk memberikan keleluasaan kepada khalayak dalam menginterpretasi-apresiasi karya Alie Gopal dalam rentang yang lebih lama tidak hanya dalam sepuluh tahun terakhir berkarya. Tema ini juga dipilih Alie Gopal sebagai tradisi eksplorasi dalam berkesenian dengan menggali seluruh potensi dan kemungkinan demi hidupnya seni itu sendiri dalam kehidupan masyarakat tanpa dibatasi berbagai sekat yang ada. Berbagai karya seni rupa dalam dua-tiga dimensi, medium, ukuran, maupun penyajian dipamerkan di ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta pada 15-23 Maret 2018. Melengkapi pameran dihelat bincang seniman (artist talk) pada Minggu 18 Maret 2018 di ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta menghadirkan penulis pameran sebagai pemantik bincang serta Alie Gopal selaku seniman sekaligus nara sumber. TERAS Management Syahrizal Pahlevi ![]() Press release “FASET KECIL” Pameran patung Komroden Haro 16 – 28 Feberuari 2018 Tempat: Miracle Prints, jl. Suryodiningratan 34, Mantrijeron, Yogyakarta 55141 Pembukaan: Jumat, 16 Februari 2018, pukul 16:00 Deskripsi: “Faset Kecil=Bagian/segi kecil dari seni patung Komroden Haro yang kompleks, berbagai media dan tema. Sebagaimana permukaan kaca/berlian (faset) yang digosok rata, karya-karya kecil itu digarap sama intensitasnya dengan karyanya yang lain. Tidak dibeda-bedakan. Seniman kelahiran Palembang 1966 dan bapak 3 anak dengan seorang istri ini tidak asing lagi bagi warga Yogyakarta dan Indonesia. Ia menamatkan pendidikan seni patung di ISI Yogyakarta tahun 1991. Telah beberapa kali pameran tunggal dan puluhan kali pameran bersama. Terakhir 2 karya patungnya hadir dalam Pameran Patung Luar Ruang “Rendheng” di Plataran Djoko Pekik. Ia pernah menjabat ketua API (Asosiasi Pematung Indonesia) Yogyakarta. Pameran kali ini adalah pameran yang diformat rileks, semacam refreshing dan ancang-ancang untuk mempersiapkan pameran yang lebih besar di kemudian hari. Ada belasan patung berbahan cor logam berbentuk figur anak kecil dalam berbagai posisi tengah bermain dan asik sendiri. Kebentukannya realis dalam ukuran kecil berkisar tinggi 25 cm, mengingatkan patung-patung anak di taman kota-kota moderen. Pameran akan berlangsung hingga tanggal 28 Februari 2018. Buka jam 10:00 – 18:00. Kontak: Ria Novitri: 081539816190 ![]() Press Release Solo Exhibition SYAHRIZAL PAHLEVI “DARI GUANLAN KE ARLES” (Paket Reduksi Bagian I) Tempat pameran : Museum Dan Tanah Liat, Ds. Kersan Rt. 5, Tirtonirmolo, Kasihan- Bantul, Yogyakarta 55181 Waktu : 20 – 30 Januari 2018 Materi pameran : 10 karya woodcut reduksi tahun 2017-2018 Pembukaan : Sabtu, 20 Januari 2018, jam 16:00 – selesai Dibuka oleh : Trisni Rahayu, Hari Prayitno, Hans Knegtmans dan Bambang Toko Jam buka pameran : Setiap hari pukul 11:00 – 16:00 Penyelenggara : Kerjasama antara Miracle Prints dengan MDTL Kontak : Ria Novitri/ 087739315969 Deskripsi : Pameran ini merupakan bagian pertama dari rangkaian 3 rencana pameran tunggal Syahrizal Pahlevi di tahun 2018 yang mengangkat teknik woodcut reduksi sebagai isu utama. Ditiap-tiap pameran akan menampilkan tema/cerita berbeda-beda namun masih terdapat benang merahnya satu sama lain. Teknik woodcut reduksi adalah salah satu teknik yang sering digunakannya dalam berkarya disamping teknik-teknik lainnya seperti woodcut single plate, woodcut multi plate dan mokuhanga. Terkadang ia juga membuat karya etsa dan polyester lithography. Dalam pameran Paket Reduksi Bagian I ini Pahlevi membuat judul “DARI GUANLAN KE ARLES” yang akan menampilkan karya-karya yang dibuat pada masa residensi di China-Guanlan Original Printmaking Base, Shenzhen, China pertengahan tahun 2017 lalu dan karya-karya terbaru yang dibuat di Yogya yang mendapat pengaruh dari masa residensi. Karya-karya terbaru mendapat inspirasi dari kunjungan ke Dafen Artist Village di Shenzen yang merupakan kampung pembuatan copy lukisan Vincent Van Gogh terbesar di dunia. Pembukaan pameran akan bernuansa performance interaktif yang melibatkan seluruh pengunjung yang hadir sebagai performer. Akan ada 4 orang narasumber sebagai pembuka pameran yang memiliki peran berbeda-beda dan akan menyampaikan sambutan mengenai pameran sesuai peran yang mereka sandang. Mereka adalah: Trisni Rahayu selaku pemilik galeri yang akan memberi kata sambutan umum, Hari Prayitno selaku kritikus seni yang akan mengkritisi karya, Hans Knegtmans selaku orang Belanda yang akan menyampaikan opininya “mewakili suara pelukis Belanda Vincent Van Gogh” dan Bambang Toko selaku dosen mata kuliah seni grafis di ISI Yogyakarta yang akan berpendapat seputar teknik dan dinamikanya. Sementara Syahrizal Pahlevi selaku seniman akan menyampaikan statemennya melalui pemutaran slides. Acara pembukaan dipimpin seorang MC merangkap moderator yang akan memberikan kesempatan penonton melakukan tanya-jawab dengan para nara sumber. Pernyataan Seniman: “Dari Guanlan ke Arles” Guanlan adalah nama kota kecil di Shenzhen, China tempat dimana saya melakukan residensi di Guanlan Original Printmaking Base sepanjang 23 Mei sampai 23 Juli 2017 lalu. Dalam masa residensi tersebut saya memutuskan kembali menekuni teknik woodcut reduksi yang akrab dengan saya namun untuk beberapa waktu tidak saya lakukan secara intens. Dimasa residensi ini juga saya menikmati proses woodcut reduksi secara bebas tanpa banyak dibebani aturan-aturan yang dapat menghambat berkarya. Saya menganggap Guanlan menjadi titik tolak keputusan kembali ke teknik woodcut reduksi. Sementara Arles merupakan nama kota di Perancis yang letaknya di bagian selatan tepatnya dibawah departemen Bouches-du-Rhône di Provence-Alpes-Côte d'Azur. Kota yang terdaftar sebagai situs warisan dunia UNESCO pada tahun 1981 ini menjadi tempat tinggal pelukis impresionis-ekspresionis Belanda, Vincent Van Gogh tahun 1988-1989 dan menjadi salah satu masa produktifnya dimana banyak lukisan tercipta selama ia tinggal disana. Disana juga tercipta karya terkenal Van Gogh yaitu 3 lukisan dengan objek kamar tidurnya sendiri berjudul sama: “Bedroom in Arles” yang menjadi perhatian saya saat ini. Kebetulan saat ini saya tengah membuat serial karya baru berdasarkan seri lukisan “Bedroom in Arles” yang saya kenal melalui reproduksi foto di berbagai publikasi cetak dan online. Gagasan membuat serial karya yang saya beri judul “Rekonstruksi Van Gogh” 1, 2 3, ,..............dst ini didorong oleh pengalaman mengunjungi “Dafen Artists Village” atau “Dafen Village” di kota Shenzhen, China ketika menjalani masa residensi tersebut. “Dafen Village” selain terkenal sebagai pusat grosir peralatan melukis juga terkenal sebagai kampung seniman dan tempat reproduksi lukisan Van Gogh terbesar di dunia. Konon ada seribuan seniman yang bekerja mencari nafkah dengan membuat bermacam lukisan disana dan diantaranya memproduksi copy lukisan terkenal seniman Vincent Van Gogh seperti “Stary Night”, Sun Flower”, Bedroom in Arles”, “The Potato Eaters” dan lain-lain pesanan art shop dan pedagang seni di Eropa. Kunjungan ini juga membawa ingatan pada diri saya kepada masa-masa kuliah menjelang 1990an di program studi seni lukis ISI Yogyakarta dimana saya sempat menjalani pekerjaan selama 2 tahun membuat copy lukisan karya-karya masa impresionis seniman Eropa seperti Cezanne, Monet, Manet dan termasuk juga Van Gogh untuk konsumsi sebuah ruang seni di Paris, Perancis. Pekerjaan sampingan disela-sela waktu kuliah tersebut dilakukan bersama beberapa teman mahasiswa ISI dan UNY di sebuah galeri kecil milik alm. Bp. Gunawan yang sudah lama tutup bernama Galeri Gajah, terletak di jalan Kranggan Yogyakarta. Dengan membuat serial Arles atau “Rekonstruksi Van Gogh” saat ini sepertinya saya ingin sedikit bernostalgia kembali membuat “copy” salah satu lukisan Van Gogh yang dulu pernah saya kerjakan namun kali ini dilakukan dengan cara lain. Proses seni seringkali terjadi karena berbagai kebetulan. Pengalaman residensi di Guanlan secara tidak langsung membawa proses berkarya saya membuat serial Arles sekembalinya ke Yogyakarta dengan berbagai kebetulannya: “Mengunjungi Dafen Village, nostalgia pekerjaan sampingan di masa kuliah dan perdebatan dengan teman seniman”. Hal terakhir perlu ditambahkan karena keputusan membuat serial Arles hanya berdasarkan sebuah karya lukisan Van Gogh “berobjek kamar tidur” dan tidak memilih lukisan lainnya ini sedikit banyak juga didorong oleh perdebatan dengan beberapa teman seniman dalam grup WA tentang “objek-objek yang dekat/intim bagi seniman kini” yang tidak berkesudahan. Karena itu saya akan memamerkan beberapa karya dari episode Guanlan yang diantaranya pernah didisplay di Miracle Prints Art Shop & Studio awal Agustus 2017 lalu disatukan dengan beberapa karya dari serial Arles yang tengah saya kerjakan sampai saat ini. Karya episode Guanlan dipilih yang menunjukkan secara kuat teknik woodcut reduksi yang dimaksud mengingat disana saya membuat karya dengan beberapa teknik yaitu: woodcut reduksi, woodcut multi plat, mokuhanga, etching, karya sketsa tinta dan drawing pensil. Untuk karya serial Arles dipilih secara acak dari beberapa karya yang telah dikerjakan yang kesemuanya dibuat dengan teknik woodcut reduksi. Paket Reduksi: Persoalan teknik adalah keniscayaan dalam seni grafis dan tidak bisa dipisahkan antara proses berkarya dengan pengetahuan tentang teknik. Sejatinya selalu ada info terbaru dan penemuan-penemuan signifikan baik penemuan besar ataupun penemuan kecil berkaitan persoalan teknik seni grafis. Persoalan teknis terkadang menjadi hal sangat personal buat setiap seniman sehingga menjadikan hasil karyanya unik akibat metode-metode atau trik-trik tertentu yang mereka jalani dalam mensiasati berbagai problem teknik yang ditemukan dalam setiap prosesnya. Menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin misalnya seorang pegrafis atau komentator menyatakan bahwa persoalan teknik adalah perbincangan yang usang dan tidak perlu diperbincangkan lagi. Di negara luar yang maju apresiasi dan infrastruktur seni grafisnya dibanding negara kita teknis seni grafis terus diuji, dieksplorasi dan dicari terobosan-terobosannya disesuaikan kebutuhan kekinian. Ambil contoh misalnya munculnya istilah “Kitchen Lithography” 10 tahun terakhir ini yang membuat proses lithography seringan kerja di dapur. Dalam seni grafis teknik (woodcut dan linocut) reduksi termasuk dalam keluarga relief print. Berbeda dengan teknik multi plat yang umumnya dipakai dalam membuat karya relief print berwarna, teknik reduksi hanya menggunakan satu plat untuk menghasilkan banyak warna yang bertumpuk. Dimulai dari warna pertama yang berasal dari bidang cetakan awal lalu diteruskan dengan warna-warna selanjutnya tetap menggunakan plat yang sama namun selalu merubah atau mengurangi bidang cetakannya setiap penumpukan warna baru. Teknik ini mempermudah seniman dalam membuat karya seni grafis banyak warna. Di Indonesia teknik reduksi sering diartikan sebagai teknik “cukil habis” barangkali dikarenakan plat kayu atau lino yang dipakai akan dicukil sampai habis atau hingga tidak berbentuk dan sulit dikenali sebagaimana proses awalnya untuk mencapai tumpukan warna paling akhir yang diinginkan oleh seniman. Teknik reduksi banyak diajarkan kepada mahasiswa jurusan seni grafis ISI Yogyakarta dan sering diselorohkan sebagai “teknik Jogja” mungkin dikarenakan banyaknya pegrafis Jogja yang menggemari berkarya teknik ini. Salah satu tokohnya adalah pegrafis Yamyuli Dwi Imam yang memiliki gaya personal “tekstur cetakan” memanfaatkan teknik reduksi dengan pressing secara manual atau menggunakan tangan. Dalam dunia internasional teknik ini memiliki banyak varian nama yaitu: reductive, reduction, progressive, elimination, ‘cut and come again’, ‘the suicide method’, waste block. Beberapa sumber mengatakan bahwa teknik reduksi dipergunakan pertama kali oleh pelukis Pablo Picasso di tahun 1956 saat ia membuat karya cetakan lino. Namun menurut Alisa Burbury dalam paper presentasinya dalam 4th Australian Print Symposium, National Gallery of Australia, Canberra, 2001, teknik reduksi “kemungkinan” ditemukan oleh pegrafis dari Melbourne, Murray Griffin yang membuat karya penuh warna hanya dengan satu plat linoleum di tahun 1932. Teknik (woodcut) reduksi adalah salah satu teknik yang saya gunakan dalam berkarya disamping teknik (woodcut) multiplat, mokuhanga, monotype, polyester lithography, drypoint dan etching. Dari berbagai teknik itu memang teknik woodcut baik reduksi maupun multiplat paling banyak saya gunakan. Pameran ini adalah bagian pertama dari rencana “Paket” atau rangkaian pameran saya di beberapa tempat dalam waktu berbeda yang hanya memamerkan karya-karya dengan teknik reduksi. Antara satu pameran dengan pameran lainnya akan mengusung judul-judul tersendiri yang mengacu pada topik karya yang tengah dipamerkan dan akan saling bersinggungan. Rencana selanjutnya: Paket Reduksi Bagian II : “Bedroom in Arles”, bulan Juli 2018, tempat: Nalarroepa, Karang Jati, Kasihan Bantul, Yogyakarta. Paket Reduksi Bagian III : Akhir 2018. Judul dan tempat belum ditentukan. Yogyakarta, Januari 2017, Syahrizal Pahlevi Tabel KEUNGGULAN teknik Multiplat dan ReduksI Problem MULTIPLAT REDUKSI Keterangan (Dibawah ini artikel yang dimuat oleh Harian Kompas, Sabtu, 6 Januari 2018, hal. 25) REDUKSI=SUICIDE PRINTMAKING Oleh Syahrizal Pahlevi Di kancah seni grafis internasional teknik (woodcut, linocut) reduksi memiliki nama yang serem: “Suicide Printmaking” yang terjemahannya menjadi “Seni cetak grafis bunuh diri”. Tentu nama tersebut tidak bermaksud berseram-seram atau ingin membuat publik takut dan menjauh dengan salah satu varian teknik cetak tinggi atau relief print dalam seni cetak grafis ini. Penamaan ini diberikan karena dalam teknik ini pegrafis bertaruh “psikis dan fisik” dengan prosesnya yang sebenarnya sangat mudah dibandingkan teknik-teknik seni grafis lainnya seperti woodcut/linocut multi plate, drypoint, etching, aquatint, mezzotint, serigraphy hingga lithography hanya saja perlu kehati-hatian. Umumnya dalam membuat karya grafis berwarna diperlukan plat lebih dari satu atau multiplat agar proses pengedisian berjalan sistimatis dan lancar. Namun teknik (woodcut, linocut) reduksi hanya menggunakan sebuah plat kayu atau lembaran linoleum sebagai acuan cetak untuk menghasilkan karya seni grafis penuh warna dan tidak dapat diulang prosesnya jika terjadi kesalahan pengerjaan. Proses awal teknik reduksi dimulai dengan menyiapkan plat (biasanya dicukil) lalu diberi tinta merata diseluruh permukaan plat yang tinggi kemudian ditaruh kertas diatasnya dan dipres menggunakan tangan atau menggunakan bantuan mesin press. Setelah cetakan atau lapis warna pertama selesai, plat yang sama dibersihkan dan dicukil lagi untuk menyiapkan bidang cetak bagi warna kedua. Begitu seterusnya untuk melapis warna demi warna sampai bentuk plat menjadi semakin menjauh dari bentuk awal pengerjaan dan hanya menyisakan bidang cetak buat warna paling akhir. Lawan dari teknik (woodcut, linocut) reduksi adalah teknik (woodcut, linocut) multiplat yang menggunakan lebih dari satu plat kayu atau linoleum untuk menghasilkan karya grafis penuh warna dan dapat mengulang prosesnya jika terjadi kesalahan pengerjaan. Teknik reduksi memang menjadi berbeda karena keluar dari kecenderungan metode membuat karya berwarna dengan teknik-teknik seni grafis lainnya dan membuat pegrafis tidak dapat memperbaiki kesalahannya. Sebenarnya teknik reduksi adalah sebuah cara paling mudah dan murah dalam membuat sebuah karya grafis penuh warna karena tidak perlu mengatur register yang rumit dan menghemat biaya penyediaan plat ekstra. Tidak heran teknik ini kerap diajarkan buat pemula atau amatiran di workshop-workshop dalam mengenalkan teknik grafis berwarna sebelum mereka dikenalkan teknik multiplat yang lebih sulit atau teknik-teknik lainnya. Namun kemudahan ini sebenarnya mengandung resiko “datangnya perasaan frustrasi” pada pegrafis karena pekerjaannya rentan menemui kegagalan dan tidak dapat diperbaiki/dilanjutkan. Disini pegrafis seakan mengambil sebuah tindakan sadar untuk “bunuh diri” jika tidak siap menerima dan tidak memahami prosesnya. Siapa penemu teknik ini masih belum diketahui. Telah banyak publikasi mengatakan bahwa pelukis Pablo Picasso adalah seniman pertama yang menggunakan teknik reduksi saat ia bereksperimen membuat karya dari cetakan linoleum pada tahun 1956 termasuk ada juga yang buru-buru mengganggapnya sebagai penemu. Namun penelitian Alisa Burbury melalui paper presentasinya dalam 4th Australian Print Symposium, National Gallery of Australia, Canberra, 2001 telah menggugurkan pernyataan bahwa Picasso adalah penemu teknik tersebut. Penelitian Alisa menyatakan bahwa Picasso hanya dapat dikatakan sebagai seniman terkenal dan profesional pertama yang memakai teknik tersebut. Berdasar penelusurannya teknik reduksi telah diajarkan di highschool dan art collage di Inggris pada akhir 1940 setelah perang dunia sebagaimana diakui oleh pegrafis Righny Graham, Chris Thistlethwaite dan Pat Gilmor yang pernah melakukannya sebagai tugas dari para guru mereka saat mereka bersekolah. Lebih kebelakang berdasarkan arsip katalog pameran dari Grosvenor Gallery, Inggris, 1935 ditemukan bahwa pegrafis dari Melbourne, Australia, Murray Griffin telah mulai membuat karya penuh warna hanya dengan satu plat linoleum di tahun 1932. Walau belum berani menyebut Murray Griffin sebagai penemu namun Alisa meyakini bahwa teknik ini belum pernah ada yang melakukannya sebelum tahun 1930. Teknik reduksi memang tidak seterkenal teknik relief print lainnya seperti woodcut/linocut multiplate atau mokuhanga yang lebih dahulu muncul seiring ditemukannya teknik relief print di Eropa dan Asia. Teknik reduksi baru diketahui keberadaannya ketika dibawa oleh pegrafis Amerika Alfred Sesler tahun 1957 saat ia mendapat hibah belajar musim panas dari the Graduate School of the University of Wisconsin. Disana Sesler bereksperimen dengan teknik reduksi dan memamerkan karya-karyanya di bulan September pada tahun yang sama di Wisconsin Union Gallery, USA. Selain dinamai “Suicide Printmaking” atau “The Suicide Method” atau “Suicide Block” teknik ini juga memiliki banyak nama yang beberapa diantaranya jarang dipopulerkan disini seperti: reduction, reductive, cut and come again, progressive, elimination dan waste block. Di Indonesia teknik reduksi sering diistilahkan sebagai teknik “cukil habis” atau “cetak rusak” karena sesuai logika plat acuan cetak akan dicukil terus sampai habis atau rusak dan hanya menyisakan bidang cetak terakhir untuk menghasilkan tumpukan banyak warna yang diinginkan pegrafis. Terkadang teknik ini diselorohkan sebagai “teknik Jogja” dikarenakan banyaknya pegrafis Yogyakarta yang berkarya dengan teknik reduksi, mulai dari pegrafis senior sampai mahasiswa seni grafis, mulai dari pegrafis profesional sampai amatir atau pembelajar. Sebut saja nama-nama seperti: Edy Sunaryo, Yamyuli Dwi Imam, Sutrisno, Agung Pekik Hanafi, Muhammad “Ucup” Yusuf, Devy Ika, Udien AE, Irwanto Lentho, Bonaventura Gunawan dan Sri Maryanto sebelum kepindahannya ke Jerman yang berkarya dengan teknik woodcut reduksi. Di Bandung ada Agung Prabowo (AGUGN) yang berkarya dengan teknik linocut reduksi. Pembicaran teknik dalam seni grafis adalah keniscayaan bagaikan benda dan bayangannya, mengikat tak terpisahkan antara karya dan pengetahuan akan tekniknya. Persoalan teknik perlu terus diinformasikan dan diperbincangkan agar perkembangan seni grafis itu sendiri berjalan dan pemahaman publik tumbuh. Para komentator dan pelaku seni grafis tanah air yang terlalu kesengsem mengidam-idamkan “yang penting konten” hingga bernafsu meniadakan perbincangan teknis sepertinya perlu menegok keluar. Di negara-negara yang maju infrastruktur seni grafisnya seperti Eropa dan Amerika permasalahan teknis selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari persoalan konten ketika membahas seni grafis dan tak henti dibawakan di forum-forum pameran, kompetisi, workshop, art fair, diskusi, seminar, konferensi dan di jurnal-jurnal yang rutin diterbitkan. Disamping mengupas konten, teknis dalam seni grafis terus diuji, ditelusuri, didebat dan dicari terobosan-terobosan agar dapat diterima generasi kekinian. Ingat penemuan “Kitchen Lithography” oleh pegrafis Perancis Emilie Aizier yang mengganti beberapa bahan baku klasik membuat kerja lithography yang historik dan berat menjadi seringan bekerja di dapur dan kini para ‘remaja serta ibu-ibu’ dapat berkarya lithography tanpa harus mencari studio yang lengkap fasilitasnya. Walau katanya Amerika dan Eropa bukan bandingan kita buat membicarakan seni grafis namun ‘keseriusan dan kengototan’ mereka perlu kita pelajari. Di Amerika ada lembaga-lembaga tua seni grafis seperti International Print Center New York (IPCNY), Lower East Side Printshop dan Robert Black Burn Printmaking Workshop di New York dan Tamarind Institute lembaga setingkat S2 untuk master Lithography di New Mexico yang sejak mulai berdiri hingga saat ini tiada henti mengadakan kelas, workshop, pameran dan diskusi-diskusi segar tentang teknik seni grafis yang menarik banyak peserta. Jurnal-jurnal dan news letter pun tumbuh baik online maupun offline mencatat dan menginformasikan kegiatan apapun berkaitan dengan seni grafis seperti; studio seniman, pameran, kritik karya, pasar, kolektor, info material termasuk informasi penemuan-penemuan kecil baru seputar persoalan teknis oleh seniman dan studio-studio. Watak seni grafis yang unik yang tidak harus seragam dengan media seni rupa lainnya menjadi terbuka dan terang benderang sehingga publik menjadi paham dan apresiasipun berjalan. Tapi pegrafis dan pelaku seni grafis disini cenderung ingin menyembunyikan watak seni grafis yang sarat dengan persoalan teknis dan melakukan “kamuflase-kamuflase merugikan” hanya karena takut dibilang konservatif dan tidak kontemporer. Para komentatorpun tak kalah sibuk mendorong tanpa didukung pengetahuan yang kuat agar pegrafis cepat-cepat meninggalkan perbincangan teknis yang dalam sahwat mereka dianggap ‘usang dan membosankan’ tertinggal dari seni kontemporer. Dalam segi ini kita jelas tertinggal dari China, Macao, Jepang dan India di kelas Asia yang ramai dengan berbagai pameran, kompetisi, workshop, art fair, konferensi, simposium, seminar baik berskala lokal maupun internasional. Jepang melakukan ekspansi besar-besaran teknik klasik mokuhanga atau ukiyo-e sehingga menarik minat pegrafis internasional mempelajarinya. China berhasil menghidupkan China-Guanlan Original Printmaking Base di Shenzhen sebagai laboratorium teknik dan menjadi barometer seni grafis dunia hanya dalam kurang dari sepuluh tahun. Mereka juga membangun China Print Museum yang megah dan berkelas internasional dan membuat seni grafis berdiri sejajar dengan seni-seni lainnya dimana pegrafis mendapat kedudukan sama pentingnya dengan seniman lukis kontemporer sekalipun. Namun kita juga telah tertinggal dari sesama negeri ASEAN seperti Thailand, Philipina dan Vietnam dalam memperlakukan seni grafisnya sebagai sebuah entitas seni rupa yang penting dan kuat daya pesonanya. Jika pegrafis tanah air telah bosan atau terus-terusan malu dan enggan membicarakan persoalan teknis maka artinya perlahan tapi pasti kita tengah melakukan upaya “bunuh diri” terhadap perkembangan seni grafis kita sendiri. Suicide in Indonesian Printmaking! . Syahrizal Pahlevi Pegrafis, pengelola Teras Print Studio, Yogyakarta CATATAN SENI, ANTARA IDE DAN WUJUD Oleh: Hari Prayitno/Kritikus Seni Art yang awal sejarahnya hanya merujuk pada fine art, sementara bentuk “seni” yang non-fine art hanya disebutkan sebagai poetry, musik tanpa sandangan art di depannya. Tetapi pada perkembangan selanjutnya seni mengembangkan diri sejalan dengan ilmu pengetahuan tentang estetika, objek seni dan pengalaman seni yang melahirkan Visual Art, Art Design dan sebagainya. Manusia pasti memiliki pertama pengetahuan yang dimiliki, prasangka-prasangka dari pengetahuan dasar, kedua kecenderungan pada apa yang dilihat, dituju, dan ketiga yang dicita-citakan yang sehubungan tujuan ideologi, yang membentuk suatu pola tertentu sebagai rasionalisasi bukanlah hanya sebentuk cara berpikir sebab akibat dan keterbatasan pada penalaran sains terhadap alam dan hukum-hukumnya. Di dalam tulisan ini berkaitan dengan apa yang telah dilakukan oleh Syahrizal Pahlevi yang sudah bertahun-tahun menggeluti bidang seni grafis murni, walau sebenarnya disiplin studi awal yang di FSR-ISI-Gampingan dia menekuni seni Lukis. Dari sisi idea, terinspirasi dari kunjungan ke Dafen Artist Village di Shenzen yang merupakan kampung pembuatan copy lukisan Vincent Van Gogh terbesar di dunia disaat dia residensi di China-Guanlan Original Printmaking Base, Shenzhen, China pertengahan tahun 2017. Mungkin dari suasana dimana di suatu desa terpencil yang seluruh aktivitas penduduknya bekerja sebagai “tukang/ artisan”. Dari semangat merekalah yang serentak di dalam satu desa kecil jauh terpencil di pegunungan itu yang menjadikan dia tertarik hingga di sini akhirnya memunculkan ide untuk berpameran “Dari Guanlan ke Arles” sesi I, dari beberapa sesi ke depan yang akan dikerjakan untuk dipamerkan kemudian. Guanlan kota di China adalah tempat di mana dipertengahan 2017, 23 Mei-23 Juli dia diundang ke sana sebagai peserta Original Printmaking Base. Arles merupakan nama kota di Perancis yang letaknya di bagian selatan tepatnya dibawah departemen Bouches-du-Rhône di Provence-Alpes-Côte d'Azur. Kota yang terdaftar sebagai situs warisan dunia UNESCO pada tahun 1981 ini menjadi tempat tinggal pelukis impresionis-ekspresionis Belanda, Vincent Van Gogh tahun 1888-1889 dan menjadi salah satu masa produktifnya dimana banyak lukisan tercipta selama ia tinggal disana. Disana juga tercipta karya terkenal Van Gogh yaitu 3 lukisan dengan objek kamar tidurnya sendiri berjudul sama: “Bedroom in Arles”. Pengalaman kedua adalah juga persoalan teknis yang ingin dikemukan di dalam seluruh rangkaian serialnya. Teknis, tentu seni grafis akan kental terhadap teknis karena sifat seninya bersifat tidak langsung, tidak langsung terlihat torehan stroke dan pewarnaannya seketika itu juga karena memang sifatnya print, tera yang mana hasilnya akan terlihat sesudah cetakan/panelnya di tera kan di atas kertas. Di dalam seni Grafis ini ada suatu misteri atau tanda tanya karena kekaryaannya harus melewati proses tera/ print yang tidak langsung terlihat, justru di sinilah keunikannya yang mana seniman tidak langsung bisa menikmati seketika, setelah melewati cetak maka proses harap-harap cemas yang dikatakan misteri itu saja akan terasa di saat seniman membuka secara perlahan antara kertas sebagai dasar karya tertempel dan plat cukil penghasil cetakannya. Jadi bagi saya pribadi moment “indah” menikmati sesuatu dengan harap-harap cemas itulah moment khas yang tidak dimiliki oleh seni-seni yang dikerjakan langsung atau non cetak sebelumnya. *** Catatan Hans Knegtmans/Pencinta seni warganegara Belanda Biassanya saya datang setiap tahun ke Jogja. Tapi tahun lalu saya tidak bisa hadir Karena saya masih di belanda bulan nopember ada kesempatan untuk mengunjungi festival film dokumenter internasional di amsterdam. Di situ saya nonton film tentang orang cina Dia pelukis Setiap hari dia membuat lukisan Tapi selalu hanya kopi karya van gogh. Dia benar coba mengerti karya van gogh. Dia membaca tentang kehidupan dan kesakitan dia. Karya van gogh dia tahu dari internet aja. Dia coba mengunakan ilmu tentang van gogh supaya lukisannya lebih dekat lukisan yang benar. Sutradara mengundang dia untuk datang ke belanda. Supaya dia bisa lihat karya van gogh. Dia takut karena jika 2 minggu tidak kerja tidak ada uang masuk Ternyata dia ikut ke amsterdam Di situ di lihat karya. Dia heran tentang warna dan tekstur karya. Dia mengerti karya dia dan karya van gogh masih jauh berbeda Terus dia lihat tempat dimana orang belanda bisa beli karya dia Dia kecewa karena tempatnya bukan galeri tapi warung untuk turis. Turis beli karya dia di warung oleh2 di samping museum van gogh Pahlevi bukan orang cina Tapi dia kerja 2 bulan di cina Karya yang dia membuat berinspirasi dari apa yang dia lihat di situ Ada karya yang sudah membuat di cina dan ada karya dia membuat di Indonesia Yang terakhir adalah karya tentang van gogh Dia lihat pelukis yang kopi karya van gogh Tetapi pahlevi seniman dan bukan alat fotokopi. Untuk dia karya van gogh inspirasi aja Pahlevi melewati jalan dari guanlan ke arles Jalan yang van gogh tidak pernah melalui. Karya ini tidak kopi van gogh tapi interpretasi seniman pahlevi Saya suka karya van Gogh, siapa tidak? Membuat dengan langgam Pahlevi karya ini tidak butuh bantuan van gogh Karya ini sudah bisa mandiri karena kuat sekali Untuk Pahlevi tidak perlu membuat copy karya van gogh ![]() “PIKAT INTAGLIO” Pameran kembali 33 karya 3 Pemenang Terbaik The 2nd Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) 2016. Seniman : Deborah Chapman/Kanada, Dimo Kolibarov/Bulgaria, Paolo Ciampini/Italia Penulis : Aminudin TH. Siregar Tempat : Miracle Prints, jl. Suryodiingratan 34, Mantrijeron Yogyakarta 55141 Waktu : 8 – 25 Desember 2017 Pembukaan : Jumat, 8 Desember 2017, jam 16:00 Dibuka oleh : Agung Kurniawan (Juri Ketua 2nd JIMB 2016) Acara : Demo Intaglio Pengantar Miracle Prints: “Pikat Intaglio” Setelah gagal memamerkan kembali karya-karya mereka di sebuah ruang budaya di kota Solo karena ketiadaan dana operasional dan ditolak secara halus oleh sebuah galeri swasta di Surabaya dengan alasan menjual karya grafis tidak menguntungkan galeri, kali ini Miracle Prints Art Shop & Studio akan menghadirkan karya-karya grafis berkelas internasional yang sangat kuat ini buat pencinta seni di Yogyakarta. Karya tiga seniman ini: Deborah Chapman, Dimo Kolibarov dan Paolo Ciampini pernah dipamerkan di Sangkring Art Project Yogyakarta dalam even “JOGJA EDITIONS” pada tanggal 15 – 30 Mei 2017 yang lalu. “JOGJA EDITIONS” adalah even pameran dan bazar karya-karya print yang diorganisir oleh TERAS Management yang menampilkan seniman 3 Pemenang Terbaik 2nd JIMB 2016 dalam tajuk 33 PRINTS, pegrafis dan komunitas grafis dari Bandung dan Yogyakarta antara lain: Agung Pekik Hanafi, Muhammad Yusuf, Sri Maryanto, Agugn Prabowo, Krack Studio dan Survive Garage dalam balutan TERAS Print Fair. Dalam even tersebut karya-karya seni grafis konvensional ditampilkan bersamaan dengan karya grafis dalam kemasan kontemporer dan merchandise print. Secara kebetulan, karya ketiga pemenang utama 2nd JIMB 2016 sama-sama menggunakan teknik intaglio atau cetak dalam dalam pengertian kita. Deborah Chapman, perempuan kelahiran Argentina tahun 1953 yang telah lama tinggal di Kanada adalah pegrafis dengan spesialisasi teknik mezzotint, sebuah varian teknik intaglio yang mengekplor efek gelap-terang objek ala teknik lukisan chiaroscuro yang biasa dipertontonkan secara dramatis oleh Rembrandt, Caravaggio dan Leonardo da Vinci. Ditangannya teknik mezzotint yang prima menyatu dengan tema karyanya yang dipenuhi fantasi yang absurd dan simbol-simbol. Dimo Kolibarov, lahir di Bulgaria tahun 1965 hadir dengan tema “kecemasan pada dunia anak” dengan tokoh anaknya sendiri sebagai subjek matter gambarnya. Ia membuatnya dengan teknik etching color yang matang menggunakan sedikitnya 2 plat tembaga dengan warna-warna jernih. Sedangkan Paolo Ciampini adalah pegrafis gaek kelahiran Italia tahun 1943 yang romantis seromantis judul-judul karyanya. Ciampini mendemonstrasikan teknik etsa hitam putih dan monochrome yang piawai untuk objek-objek favoritnya kebanyakan figur perempuan dan arsitektur bangunan di Italia. Sebagaimana dikatakan oleh sejarahwan seni Aminudin TH. Siregar dalam tulisan pengantarnya di katalog “Jogja Editions” (Teras Management, 2017), teknik cetak dalam atau intaglio sebenarnya adalah teknik yang tidak pernah tuntas dikerjakan oleh para pegrafis Indonesia karena kebanyakan pegrafis masih berkutat bagaimana mensiasati persoalan teknik yang rumit ketimbang terbebaskan oleh teknik dalam mengaktualisasikan tema-tema mereka. Lain halnya dengan pegrafis Eropa dan Amerika yang memang akrab dengan teknik ini akibat antara lain sejarah yang panjang kemunculan seni grafis, berbagai varian intaglio seperti; etsa, drypoint, mezzotint, aquatint, photo etching telah mereka taklukkan dan dengan lincahnya berkeliaran dalam tema-tema karya mereka secara leluasa. Pameran ini akan memamerkan sejumlah 33 karya dimana masing-masing seniman diwakili 11 karya terdiri dari 1 buah karya yang memenangkan karya terbaik 2nd JIMB 2016 pada waktu itu ditambah 10 buah karya lainnya. Keseluruhan karya bertajuk tahun 2014 sampai 2017. Intaglio adalah salah satu teknik yang memikat banyak seniman dalam mengerjakan karya seni grafis, tidak terkecuali ketiga seniman ini. Dengan kekuatan teknik, kematangan dalam mengolah tema dan kesungguhan hati dalam pengerjaan karya-karya mereka sungguh memikat dan sanggup memunculkan pesona yang luar biasa. Disini apriori publik dan pencinta seni dalam negeri yang masih terkotak-kotak dengan media seperti lukisan, patung, instalasi, fotografi diuji. --------------------------------------------------------------------------------------------- Tulisan pengamat: Ruang Berlapis Intaglio Sebuah Catatan untuk JIMB 2016 Jogja International Miniprint Biennale (JIMB), sebuah ajang internasional dua tahunan berhasil menempatkan dirinya sebagai tolak ukur perkembangan seni grafis di Indonesia. Berbeda dengan tradisi bienale di arus utama yang rumit dan gigantik, JIMB justru secara leluasa dan responsif menawarkan kesederhanaan melalui karya-karya berukuran mini. Model bienale ini melancarkan terciptanya mobilitas dan efisiensi. Sejak digelar, JIMB pada gilirannya telah menjadi sebuah ajang yang turut mewakili nama Indonesia di forum seni grafis kontemporer dunia. JIMB telah menawarkan berbagai kemungkinan dalam teknik seni grafis yang belum dikembangkan penggrafis tanah air (dengan alasan miskinnya infrastruktur studio grafis yang bisa segera dimaklumi bersama), terutama kekayaan teknik intaglio dan litografi. Pengalaman melihat karya-karya grafis mancanegara ini sangat penting guna mengukur semaju apa perkembangan seni grafis kita dan, tentu saja sejauh mana kita sudah tertinggal. Dari perjalanannya, JIMB membuktikan bahwa karya-karya cetak sanggup menembus keterbatasannya yang mana kemudian bisa dihargai sebagai analisa kritis atas representasi kebudayaan kontemporer yang selama ini didominasi seni lukis. Karya-karya yang mendapat perhatian istimewa dalam JIMB kali ini menampilkan teknik intaglio yang berkembang di Eropa setelah cukilan kayu. Intaglio – populer di Indonesia dengan sebutan cetak dalam - menggunakan plat tembaga sebagai bidang yang ditoreh sehingga area cekungnya menahan tinta. Saya sebelumnya mengatakan bahwa teknik ini belum seberapa berkembang mengingat masih sedikit karya-karya di tanah air yang sanggup keluar dari sejumlah kendala. Bagi penggrafis yang berkutat pada teknik ini, mereka bertahan tak lebih dari sekedar teknik kalau tidak bisa disebut belum memperlihatkan penjelajahan tema yang dengan kerangka konseptual dan estetika yang maju. Kita akan melihat bagaimana kualitas teknik intaglio dalam pameran JIMB saat ini dan bagaimana karya karya terpilih dari seniman Paolo Ciampini, Dimo Kolibarov, dan Deborah Chapman unggul dari segi teknik, konseptual dan estetika. Karya Paolo Ciampini (Italia) cenderung memadukan nuansa gelap di mana impresi manusia dan hewan muncul akibat pencahayaan yang menempatkan mereka ke dalam sebuah situasi sunyi, puitis sekaligus nostalgis. Sementara beberapa sosok disitu tampil secara ikonografis, yang lainnya berpose untuk sebuah komposisi fotografis yang ganjil. Potongan anatomi atau pose-pose wanita disitu juga seakan menata keilahian yang telanjang dari sebuah inspirasi klasik seraya mengembalikan bayangan kita pada seni-seni renesans. Semua itu tak hanya memperlihatkan teknik grafis Ciampini dengan efek tonal yang tampil secara prima, tetapi juga untuk mengembangkan gagasan. Karyanya menghadrikan tingkat kesulitan dan juga sebuah bukti keterampilan dalam menggambar. Ini tentu bukanlah pekerjaan mudah bagi pengamat yang memahani bagaimana teknik intaglio dalam seni grafis dikerjakan. Dimo Kolibarov (Bulgaria) tampaknya berminat pada ruang-ruang berlapis yang saling menghubungkan satu tempat ke tempat lain, menghubungkan satu citra ke citra lainnya. Ruang itu menempatkan manusia ke dalam situasi abnormal meski masih mengacu pada realitas dan kita kenali sebagai pantai, labirin, atau sebuah sudut rumah dengan kursinya. Kolibarov juga mempersoalkan transisi ruang yang mengubah imaji manusia sebagai hewan sehingga mengesankan peristiwa janggal – kalau tidak bisa disebut surealistis. Seorang anak kecil tampil simultan di beberapa karya dalam sebuah obsesi kejiwaan. Ia mendekap seekor hewan (atau sebuah boneka) yang menjaganya dari sebuah ancaman dan dari konflik antara ruang pribadi dan ruang publik, antara ruang keluarga dan ruang sosial, antara ruang budaya dan ruang yang berguna, antara ruang santai dan pekerjaan. Anak itu mewakili kehadiran tersembunyi yang suci. Dengan teknik mezzotint, Deborah Chapman (Canada) melayani fantasinya yang tak terbatas melalui perpaduan janggal antara benda, buah, hewan dan figur manusia. Dengan latar gelap (ciri khas teknik ini), objek-objek itu berjalinan membangun narasi misterius. Sementara di karya lainnya, Chapman lebih memperkuat komposisi – suatu keseimbangan untuk menyempurnakan simbolisme. Objek bola memantulkan bayangan di sekitarnya: sebuah tangga teronggok di celah lubang kotak. Kesan bayangan itu mengambil sifat-sifat teritorial manusia, dengan pengawasan sadar dan bawah sadar tentang kehadiran dan ketidakhadiran, masuk dan keluar. Pengungkapan akan demarkasi perilaku dan batasannya memungkinkan terjadinya definisi tentang apa yang ada di dalam dan di luar dan yang dapat mengambil bagian dari sublimasi yang melekat. Sehelai hasil cetakan semula hanyalah sebuah kesan pada kertas dari sebuah gambar yang ditinggalkan oleh objek lain. Itu berbeda dengan melukis, dimana kesan ditinggalkan oleh kuas yang gambarnya sudah terbentuk sempurna. Namun peradaban berhutang ingatan pada cetakan ini. Ketika dia dibebaskan menjadi kerja otonom seniman, seni grafis mengambil tempat dalam berbagai gejala seni, termasuk gejala-gejala yang meninggalkan prinsip seni modern melalui duplikasi merek panganan kaleng oleh Andy Warhol. Seni grafis tampaknya akan terus keluar-masuk menjadi bagian dari peradaban dan berpeluang besar menjadi instrument kritikal di tangan seniman. Leiden, 29 April 2017 Aminudin TH Siregar English The Layered Space of Intaglio A Note for JIMB 2017 The Jogja International Miniprint Biennale (JIMB), a semi-annual international event,has succeeded in positioning itself as a benchmark of the development of printmaking in Indonesia. Different from the complex and colossal mainstream biennale tradition, JIMB in an open and responsive way offers simplicity through small-scale works. This kind of biennale promotes mobility and efficiency. Since the first JIMB in 2014 it has become an event which represents the name of Indonesia in the world-wide printmaking forum. JIMB offers numerous possibilities in printmaking techniques which have not been developed by Indonesian printmakers (understandably, because of poor printmaking studio infrastructure), especially the richness of intaglio and lithographic techniques. The experience of seeing prints from overseas is extremely important in order to measure how advanced the development of Indonesian printmaking is, or perhaps, how far Indonesia is leftbehind. The journey of JIMB demonstrates that printed works are capable of penetrating boundaries and moving beyond limitations and can be appreciated as a critical analysis of contemporary cultural representations which up to now has been dominated by painting. Works which have received particular attention in JIMB 2016 use intaglio, a technique which appeared in Europe after the emergence of the wood cut. Intaglio, popularly known in Indonesia as cetak dalam, uses a copper plate as a plane which is scraped until the area is deep enough to hold ink. I have previously stated that this technique is not especially well-developed in Indonesia, mindful that there are few works in Indonesia which have been able to overcome a number of obstacles. We will see the technical quality of intaglio in JIMB 2016 and the conceptual, aesthetic, and technical superiority of the works of Paolo Ciampini, Dimo Kolibarov, and Deborah Chapman. The work of Paolo Ciampini (Italy) tends to combine nuances of darkness where the impressions of people and animals appear as an effect of light which places the figures in a quiet, poetic, and at the same time, nostalgic situation. While a number of figures appear as iconographic forms, others are posed in unusual photographic compositions. Anatomic sections are arranged as if they are classically inspired ‘divine’ nudes, returning our imagination to the art of the Renaissance. All of this not only displays the graphic techniques of Ciampini, including primary tonal effects, but also shows the development of his ideas. His work presents a certain level of difficulty and also demonstrates his drawing ability. It is certainly not easy work for art observers who understand intaglio to explain how this technique is used in printmaking Dimo Kolibarov (Bulgaria) appears to be interested in layered spaces which inter-relate one place to another and one image to another. These spaces place people in abnormal situations although still referring to reality; we recognize a shore line, a labyrinth or the corner of a house with a chair. Kolibarov also questions the transition of space which changes human images into animals so that it gives the impression of an odd - if not a surrealist - event. A small child appears simultaneously in a number of works as in a psychological obsession. He hugs an animal (or a doll) which protects him from threat and from conflict between public and private spaces, between family and social spaces, between cultural and functional spaces, between work and leisure spaces. The child represents the hidden presence of something sacred. Through mezzotint, Deborah Chapman (Canada) depicts an unbounded fantasy through unusual interactions between objects, animals and human figures. With a dark background (a distinctive feature of mezzotint) these intertwined objects develop a mysterious narrative and in other works these objects strengthen the composition – a balance to perfect her symbolism. A ball reflects a nearby shadow, a ladder is stuck in the space of a box. The impression of these shadows takes on characteristics of human territoriality with control of the consciousf and unconscious, about absence and presence, entry and exit. These expressions demarcate behavior and its limits, creating the possibility of a definition of what is inside and outside and which may be a part of a persistent sublimation. A sheet, the result of printing, is only an impression on paper of an image which is left by another object. This is different from drawing, where the impression is left by a brush which does the drawing. Although civilization has a debt of memory to the print, when it is freed and becomes the work of autonomous artists, print-making has a place in a number of artistic phenomena, including phenomena which abandon principles of modern art - through Andy Warhol’s reproduction of brands of canned food. Printmaking appears as if it will become a part of civilization with an immense opportunity to become a critical instrument in the hands of artists. Leiden, 29 April 2017 Aminudin TH Siregar English translation by Jerry Chamberland www.terasprintstudio.com ![]() Press Release “DIARY SENI” Pameran seni rupa Joko ‘Toying’ Widodo (94 Astist books, paintings, sculpture and mixed media) 6 – 25 Oktober 2017 MIRACLE PRINTS Art Shop & Studio Jl. Suryodiningratan 34, Mantrijeron, Yogyakarta 55141 Pembukaan : Jumat, 6 Oktober 2017, pkl. 16:00 (4 sore) Dibuka oleh : Prof. DR. M. Dwi marianto MFA Pembacaan puisi oleh: Ginanjar Wiludjeng “Garis/tulis/gambar adalah elemen seni dimana aku bermain. Tak ada salah-benar, yang ada kebebasan berkreasi untuk menemukan makna. Tidak terikat oleh konvensi, gaya atau aliran. Kebebasan ekspresi lebih diutamakan untuk menemukan kemungkinan dan makna baru”. “Bahan dan teknis tak ada yang baku, semua tergantung dari apa yang dibutuhkan saat itu. Bahan murni adalah persembahan dari keadaan yang terlantar, harus kita tempatkan pada semestinya”. (“DIARY SENI”, Joko ‘Toying’ Widodo 2017) PENGANTAR “Sang Penjelajah Sepi” Joko 'Toying' Widodo (lahir 1962) tergolong seniman yang tidak gampang berkompromi ketika menyangkut idealisme berkaryanya dan ia siap menerima segala resiko karenanya. Baginya melukis, membuat patung atau karya tiga dimensi dan mengerjakan artists book, adalah kegiatan khidmat bak laku spiritual yang harus bebas dari segala intervensi pihak luar yang dapat mengganggu kelurusan ide-idenya. Joko Toying termasuk sedikit dari seniman yang masih kuat bersikap akan adanya wilayah otonom seniman, sebuah wilayah yang harusnya dipisahkan dengan berbagai kepentingan seperi kurasi, publikasi, pasar dan semacamnya. Seni haruslah diciptakan hanya demi kepentingan untuk menemukan makna, titik. Dalam pameran ini Joko Toying memamerkan sederetan artist book berjumlah 94 buah yang merupakan 'buku harian'nya, 20 lukisan akrilik di kertas, 2 patung dan sebuah karya mixed media relasi antara lukisan di kanvas dengan objek dari bahan kayu, alumunium dan bahan elektrik. Melalui karya-karya yang berentang tahun 1993 – 2017 untuk artist book nya dan lainnya bertahun 2017 kita akan menemukan betapa seniman sangat mengutamakan kebebasan tanpa terikat gaya, aliran atau aturan-aturan tertentu sebagaimana ia nyatakan dalam pernyataan seninya diatas. Namun bukan berarti kita disodori beragam gaya yang tidak jelas dan tidak bisa melihat sebuah kecenderungan tertentu seniman ini melalui karya-karyanya. Karya-karyanya selalu berangkat dari pengalaman personal-kisah-kisah kecil-intim yang dilihatnya melalui kaca mata seni yang intelek. Hal ini sebagian terwakili dari penggunaan berbagai material atau benda-banda yang kehadirannya begitu melekat dengan dirinya dan menyimpan kisah tersendiri dan sisanya terwakili oleh gambar/coretan/drawing/tulisan yang sarat simbol selaku manusia Jawa, seniman sekolahan dan bagian dari makhluk kosmopolitan. Kita juga dapat merasakan sentuhan-sentuhan emosional menyiratkan ketegangan dan pergulatan batin yang terekam dari penjelajahan sepi sang seniman. Ini sekaligus memperlihatkan betapa ia bersuntuk dan menyatu dengan berbagai materialnya seperti: kertas, kanvas, kayu, kawat, alumunium, charcoal, pena, pensil, cat, kolase dan lain-lain. Sekilas ia nampak sebagai penjelajah media namun lebih dari sekedar itu karena media baginya adalah sebuah konsekuensi mutlak dalam menyalurkan ide-idenya. Bahan atau material berdialog tanpa lelah dengan gagasan dan tidak pernah menjadi baku, ia fleksibel mengikuti situasi kondisi yang melingkupi sang seniman. Tentu hal ini tidak berlaku buat seniman yang suka asal comot bahan tanpa perhitungan dan mencari pembenaran karena tidak kunjung mendapatkan material yang diidamkannya. Penghormatan seniman terhadap bahannya adalah perhitungan filosofis untuk menemukan esensi sebagaimana ia katakan “Bahan dan teknis tak ada yang baku, semua tergantung dari apa yang dibutuhkan saat itu. Bahan murni adalah persembahan dari keadaan yang terlantar, harus kita tempatkan pada semestinya” (Joko Toying). Sang Penjelajah Sepi ini tidak kenal putus asa. Hiruk pikuk dan gegap gempita dunia luar yang sering tidak bisa diikutinya tidak sampai menghentikan ide-idenya yang mengental siap dimuntahkan. Ia seorang pengamat dari dekat karena berangkat dari hal-hal personal yang diintiminya namun bermain dari kejauhan dengan simbol-simbol dan kiasan. Ia seringkali luput ditanggapi karena tidak kunjung dimengerti, namun dirindukan sosoknya oleh teman-temannya. Ia menghadirkan pameran ini dengan khidmat buat kita semua. Miracle Prints/Syahrizal Pahlevi CV seniman. Nama : Joko ‘Toying’ Widodo Tempat / Tgl. Lahir : Solo / 29 April 1962 Alamat : Puluhan RT 2 Argomulyo, Sedayu, Sleman, Yogyakarta Telepon : 081548658799 Pendidikan : ISI Yogyakarta e-mail : [email protected] Pameran Tunggal: 2012: “Bimo Suci”, Kampung Kleben, Yogyakarta 2009 : “Aku Subjek” di Museum Dan Tanah Liat, Yogyakarta 2001 : “Tali Jiwa” di Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta 1998 : “Sapu Jagad” di Timbul Keramik, Kasongan, Yogyakarta Pameran Bersama: 2017: Drawing PURBA, Miracle Prints, Yogyakarta International Art Swizth, Jogja Gallery, Yogyakarta 2016 : “Sehari Boleh Gila”, Studio Kalahan Yogyakarta : “Drawing Pemersatu” Studio Kalahan, Yogyakarta 2015 : “Nandur Srawung” di Taman Budaya Yogyakarta 2014 : “ ISI ISI” Talenta Organiser di Jakarta 2013 : Pameran Drawing Sepanjang Yogya-Klaten-Solo di Balai Soedjatmoko Solo : “Dolanan #2” di Jogja Nasional Museum Yogyakarta 2002 : “Urip Mampir Ngombe” di Bentara Budaya Yogyakarta 2000 : Pameran Angkatan 86 di Galeri 678 Jakarta 1994 : Pameran Affandi Prize di Purna Budaya Yogyakarta 1991 : Pameran Dies Natalis ISI Yogyakarta ke VII : Pameran angkatan 86 di DKS Surabaya 1990 : Pameran bersama SAAG di Pura Wisata Yogyakarta 1988 : Pameran Angkatan 86 “Derap” di ISI Yogyakarta art response ![]() Press Release “ART RESPONSE” Pameran seni rupa oleh Much. Basori a.k.a Kang Basori Tempat : Miracle Art Shop & Studio, jl. Suryodiningratan 34, Mantrijeron, Yogyakarta 55141 Waktu : 5 – 23 September 2017. Buka jam 10:00 – 18:00 Pembukaan : Selasa, 5 September 2017, jam 16:00 Dibuka oleh : Yakobus Mego Suryo (Yogaroke) Acara : “Live response” Deskripsi : Sebagian besar karya yang akan dipamerkan ini adalah karya-karya yang pernah diunggah oleh Much. Basori dalam akun facebooknya “Kang Basori” dengan status “ART RESPON”. Unggahan-unggahan foto karya dalam intensitas yang cukup tinggi tersebut (baca: sering) tentunya menuai beragam tanggapan ala tanggapan di media sosial. Dalam sebuah percakapan Much. Basori mengatakan bahwa “Art Respon” yang ia maksudkan adalah “berkarya dengan cara merespon bentuk-bentuk rupa yang terhampar dihadapannya menjadi bentuk-bentuk baru sesuai keinginannya pada saat itu”. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa seniman mengutamakan refleks dan intuisi saat ia bekerja disamping tentunya kepiawaiannya dalam menaklukkan material dan media. Bentuk-bentuk rupa yang menjadi sasaran respon ala Much. Basori bisa berarti potongan kolase sengaja dan tak sengaja di kertas, percikan/tarikan/torehan garis dan warna yang dibuat oleh anaknya atau teman-teman seniman, reproduksi foto yang ada di majalah bekas, kardus makanan dan apa saja yang dianggapnya menarik, ditemukan dan dapat dijangkaunya. Jika setiap proses berkarya seniman seperti melanjutkan garis/bentuk/warna yang telah ada sebelumnya dapat juga dimaknai sebagai “proses merespon”, lantas apa yang membedakan garapan yang dilakukan oleh Much. Basori kali ini? Melihat intensitasnya yang cukup tinggi jika memakai ukuran upload image karyanya di laman facebook, tentunya ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Pastinya ia tidak sedang sekedar mempermudah proses berkaryanya atau sedang tidak ingin berumit-rumit dalam menuangkan ide. Karena ia juga menjanjikan melakukan “live response” dalam sesi pamerannya guna memberi semacam pembuktian ke penonton akan talentanya sebagai seorang “perespon terlatih”. Semoga pameran ini dapat memperkaya pengalaman kita dalam mengikuti sebuah proses kreatif seorang seniman. (Miracle Arts) Karya-karya buatan tahun 2015-2017 Media : tinta, akrilik, kertas, mika dll. www.terasprintstudio.com ![]() Press Release Banyolisme Pameran Lukisan karya Wahyu Gunawan Tempat : Miracle Art Shop & Studio, Jl. Suryodiningratan 34, Mantrijeron, Yogyakarta Waktu : 17 – 31 Agustus 2017, buka pukul 10:00 – 18:00 Pembukaan : 17 Agustus 2017, pukul 16:00 – selesai Dibuka oleh : Perupa Azhar Horo dan Dwi Setya “Acong” Penulis katalog : CP : Ria Novitri / 081539816190 Dsekripsi : Pelukis Wahyu Gunawan (kelahiran 1975) selama ini dikenal sebagai pelukis dengan karya-karya figuratif-naif yang beberapa kali sempat menjadi pemenang/finalis beberapa kompetisi seni lukis baik lingkup nasional dan beberapa lingkup internasional. Tidak banyak yang tahu bagaimana proses berkaryanya dikarenakan sosoknya yang tidak termasuk gemar berbicara di muka umum atau mengeluarkan statemen. Kali ini dalam rangka peringatan hari kemerdekaan RI ke 72 dan menandai “Hari Kemerdekaan Berekspresinya” Wahyu menggelar pameran tunggal. Wahyu menyajikan bagian dari proses kreatifnya untuk pencinta seni dengan menampilkan lukisan-lukisan berukuran kecil (30x30 cm) yang merupakan studi atau rekreasinya dalam membuat karya-karya yang lebih lanjut dan berukuran lebih besar. Bagi Wahyu pameran karya-karya berukuran kecil kali ini adalah”pra exhibition” atau bentuk persiapannya sebelum menggelar pameran (besar) tunggalnya pertengahan tahun 2018 di sebuah art space di Yogyakarta dengan karya berukuran diatas 100 cm persegi. Dalam pameran di Miracle Art & studio ini Wahyu akan memamerkan 10 lukisan ukuran 30x30 cm dan sebuah lukisan ukuran 120x100 cm sebagai model karya yang dijanjikannya untuk pameran tahun depan (Miracle Prints) |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
June 2022
Categories |