
JANGAN BERHENTI (Don’t Stop)
Pameran tunggal Edi Maesar
Tanggal : 25 Januari – 15 Februari 2019
Tempat : Miracle Prints, Suryodiningratan MJ II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
Pembukaan : Jumat, 25 Januari 2019, pukul 16.00 (4 sore)
Dibuka oleh : Ronnie S. Haryanto
Penulis : I Gede Arya Sucitra S.Sn, M.A
CP (WA) : Ria Novitri/087739315969
Pengantar Galeri:
“Dunia Kecil Maesar Jangan Pernah Berhenti”
Edi Maesar (kelahiran Baturaja, Sumatera Selatan 37 tahun lalu) merangkai dunia kecil dalam lukisan kecil-kecil berukuran mulai dari 13 cm x 17 cm sampai tidak lebih dari 22 cm x 27 cm. Karya-karya ini bermedia cat minyak di atas kanvas dibuat dalam periode hampir lima tahun terakhir. Dikerjakan disela-sela ‘aktifitas utamanya’ bekerja sebagai pelukis potret jalanan di Malioboro (dan jalan Mangkubumi) Yogyakarta saban malam.
Sejak kelesuan pasar seni rupa yang melanda banyak seniman termasuk dirinya beberapa tahun lalu, Edi Maesar cepat memutuskan harus mencari usaha lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan berkaryanya. Sejak pertengahan 2014 ia menjalani pekerjaan menjadi pelukis potret jalanan mengikuti jejak beberapa teman pelukis yang dikenalnya yang telah menjalani profesi tersebut sejak lama. Namun Edi Maesar tetap memelihara semangat berkeseniannya, ia tidak ingin terlena hanya bekerja untuk mencari pendapatan semata. Melalui hasil dari menjual jasa lukisan potret tersebut Edi Maesar selain dapat tetap mempertahankan dapur keluarganya tetap bernyawa, ia juga tetap dapat berkarya walau harus merubah metode kerjanya dengan kondisi yang baru.
Bekerja sebagai pelukis potret jalanan tentulah bukan hal mudah dijalani. Ada persoalan mental dan tentu saja kecakapan teknis yang mesti dimiliki. Mental yang kuat dibutuhkan karena dalam ranah seni rupa mainstream profesi pelukis potret jalanan dianggap bukan termasuk kegiatan seni. Ini tidak lebih pekerjaan mencari uang semata dengan memanfaatkan keahlian menggambar potret secara langsung dan keberanian bekerja di tengah kerumunan orang banyak. Edi Maesar dapat melalui semua itu dan tidak ambil pusing terhadap silang opini terhadap pelukis potret jalanan. Diantara jeda sebelum atau setelah bekerja di jalanan ia tetap mengasah kemampuan melukisnya dengan membuat karya-kecil-kecil yang menurutnya ekonomis dari segi material dan efektif mengisi waktu luangnya. Pelan tapi pasti berkarya kecil-kecil menjadi rutinitas kesehariannya sebelum berangkat atau setelah pulang bekerja melukis potret di jalanan dan tumpukan karyanya semakin banyak. Telah banyak pula yang diikut sertakan di berbagai pameran dan banyak pula telah menjadi koleksi teman-teman dan pencinta seni yang menyukainya.
Dalam hal tema, Edi Maesar menunjukkan minat yang beragam berhubungan dengan pengamatan yang dilakukannya. Sepertinya tema apapun akan masuk di kepalanya dan ditumpahkannya dalam waktu singkat pada karya kecil-kecilnya. Kesuntukan menekuni pekerjaan sebagai pelukis jalanan dan bertemu banyak orang membuat Edi Maesar memiliki pengamatan yang kaya terhadap aktifitas dan perilaku manusia di sekitarnya. Ia dapat menyaksikan beragam aktifitas dan jenis manusia ketika berada di lokasi ia bekerja termasuk dalam perjalanan pergi dan pulang kerja. Ada berbagai objek dan berbagai kegiatan yang direkam Edi Maesar dalam karya kecil-kecilnya, diantaranya: Kegiatan Ibu muda sedang memasak, anak belajar, pria dengan laptop, remaja bermain handphone, kegiatan perbaikan jalan, turis berjemur di pantai, Ibu menyusui dan handphone, bapak-bapak di kedai kopi, anak berulang tahun, sepotong daun, pemusik jalanan, pria dengan blangkon, kegiatan potong daging kurban, kemesraan dengan istri, demonstran kelelahan, karnaval tahun baru dan masih banyak lagi. Namun yang paling banyak dilukisnya adalah objek potret wajah yang menurut pengakuannya rata-rata adalah potret wajahnya sendiri.
Karya-karya potret itu dilukis demikian bebas karena ia tidak mengejar kepersisan atau kebenaran bentuk. Beberapa karya berobjek potret tersebut dengan garis-garis lepas dan distorsi bentuk sederhana mengingatkan saya pada karya-karya potret Marlene Dumas, perempuan pelukis kelahiran Afrika Selatan tahun 1953 yang tinggal dan bekerja di Belanda. Bedanya Marlene banyak menggunakan media cat air dan warna-warna renyah. Marlene melukis potret dan figur-figur berdasarkan foto yang dibuat dari kamera polaroid atau foto-foto dari majalah yang ia temukan dan anggap menarik. Tema-tema Marlene biasanya berkutat pada pornografi, erotika dan persoalan gender.
Pameran ini cukup penting buat Edi Maesar karena merupakan pameran tunggal pertamanya setelah sekian lama berkesenian. Selama ini ia cukup aktif di berbagai pameran kelompok, kompetisi melukis dan berbagai even lokal dan nasional. Ibarat perjalanan yang sudah diniatkan jauh-jauh hari, dengan segala perlengkapan yang disiapkan lengkap apalagi telah mendapat restu dari orang terdekat, mengapa harus berhenti?
Yogyakarta, 10 Januari 2019,
Syahrizal Pahlevi
................
Catatan seorang sahabat
JALAN PENCERAHAN
Nothing to lose, menjadi seniman harus siap mengalami penderitaan hidup, menjadi daya pendobrak, menuju kesempurnaan di dalam karya dan kualitas hidupnya.
Edi Maesar, 2019
Pada dasarnya, manusia mengharapkan perjalanan hidupnya dipenuhi dengan kemudahan, kemurahan hati, rejeki yang berlimpah, urusan duniawi lancar jaya, kesehatan yang baik tanpa derita siksaan dan jargon yang popular ‘muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga!’ Barangkali Edi Maesar muda saat masih dibangku sekolahan tidak akan membayangkan betapa jalan berliku dan terjal kesenian siap menemani keputusannya secara ideal sebagai seniman lukis, yang hidup dan mendirikan nafasnya melalui nadi berkesenian. Rentang 20 tahun berjalan semenjak menjadi mahasiswa angkatan 1999 seni lukis di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, Edi makin menemukan ‘cara dirinya bercerita’, menangkap realitas dan menjadikannya imaji reflektif dalam kanvas-kanvasnya, tentang banyak hal yang bertebaran disepanjang jalan berkeseniannya. Ada kesenangan, ada tegangan, ada tarikan, ada intrik, ada represi, ada birahi, ada kekuasaan, ada kesadaran, ada perenungan, ada tangisan, dan segudang perkara hidup lainnya. Seniman sebagai mahluk yang kompleks, dalam berkarya seni menampilkan dunia yang absurd dari alam bawah sadar dan disimbolisasikan dalam karya seninya. Penggambaran alam pikiran bawah sadar menjadi objek yang imajinatif dan fantastik merupakan salah satu metode sublimasi atas dorongan psikis yang telah mengalami tekanan. Karya seni merupakan gambaran dari harapan, mimpi, imajinasi, dan fantasi dan atau bahkan merupakan bentuk pengungkapan emosi, kecemasan, ketakutan, dan lain sebagainya. Itulah Edi Maesar, lelaki asal Palembang, Sumatera Selatan selalu gelisah dan mempertanyakan banyak hal secara kritis dalam glamor dan sunyinya jalan kesenian di Yogyakarta.
Sebetulnya, konsep awal dalam undangan menulis ini adalah wawancara selo Edi padaku di gubukku Teras Kali Bedog dan lalu dijadikan bagian teks dalam publikasi katalogusnya. Lalu aku bilang, “pameran ini bukan tentangku melihatmu, tapi sebaiknya tentangmu yang mampu terlihat. Ini kan pameran tunggal pertamamu, mari kita bicarakan hal yang ringan, yang nantinya berujung pada mengenal dan memahami cikal bakal jalan kesenianmu.” Alhasil, Edi lah yang aku wawancarai menjadi aktor artikel kecil ini. Memang benar jika dalam puitika sebuah lukisan bisa mengungkapkan seribu kata, namun penonton tentu bukan cenayang yang bisa membaca pikiran untuk mengetahui apa, siapa, bagaimana dan mengapa hal yang berlaku dan terjadi pada seorang seniman dan lukisannya. Sama halnya dengan takdir bumi yang bergerak dan tergerus, demikian juga arus berkesenian yang beriak kesana kemari, kadang kecil tiba-tiba besar, lalu surut lama dan harus mengairi dengan mata air di lain ladang. Tapi itulah keunikan dari kekuatan jiwa-jiwa gelisah dan dinamis seniman, dia membangun dialektika medan jiwa dan medan seninya melalui perubahan. Seniman dalam menciptakan karya seni tidak hanya menggambarkan sebuah realitas kehidupan, tetapi lebih dari itu melukiskan harapan yang menjadi impian dari realitas kehidupan agar dapat mengalami perubahan. Dalam hal ini, seniman melukiskan mimpinya akan realitas kehidupan yang menjadi harapan bagi seniman dan masyarakat luas. Paul Klee mengatakan bahwa melukis tidak untuk menafsirkan yang kelihatan, melainkan menerjemahkan agar menjadi kelihatan.
Edi Maesar sejak dibangku kuliah memang memiliki bakat dan semangat yang menonjol hal melukis, sketsa, drawing, dan diskusi seni. Dia pula mahasiswa dalam satu angkatan 1999 yang paling duluan (pertama) lulus kuliah dan mendapat gelar Sarjana Seni ISI Yogyakarta tahun 2004. Hasil dari komposisi motivasi, kecekatan dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan juga kecerdasan melihat peluang. Bekal ini semua tentu tidak hadir begitu saja. Dia tercipta dari perjalanan sejarah masa kecil, coretan tembok rumah hingga kejuaraan-kejuaraan masa sekolahan. Semua kejadian ada latar belakangnya, latar bibit, bebet, bobot (keluarga) dan ini menjadi pertanyaan dasarku pada Edi, “Bagaimana keluarga memberikan dorongan untuk hidup serius di jalan kesenian?”
“Dimulai dari kegemaranku coret-mencoret tembok rumah (sebelum SD), hingga orang tua mengarahkan dan membelikan/menyediakan buku tulis, buku gambar, serta peralatan dan bahan yang sederhana. Mulai SD aku makin hobi corat-coret (menggambar), nilai mata pelajaran kesenian selalu memuaskan guru dan orangtua, hingga masuk SMP. Di SMP mulai aktif mengikuti lomba menggambar, pernah juara umum lomba lukis tingkat kabupaten di tempat asalku, hal ini memicu semangat keluargaku utk mendorong/mengarahkanku keluar (merantau), melanjutkan ke SMSR di kota Palembang. Selama di SMSR, makin sering mengikuti lomba/kompetisi lukis, sering mendominasi sebagai pemenang, sampai-sampai koleksi piala berderet terpajang di rumah. Bahkan di sekolah pernah juara umum sebagai siswa paling berprestasi lho. Dari hal-hal tersebut di atas adalah gambaran bagaimana akhirnya orangtuaku dan anggota keluarga sangat support ketika aku berniat melangkah lebih jauh lagi hingga akhirnya melanjutkan sekolah di ISI Jogja. Hmmm… padahal waktu itu aku dapat jalur PMDK di UNY, bahkan namaku yang berasal dari Sumatera itu sudah tertera di papan pengumumannya untuk segera tindaklanjuti meregistrasi ulang... eeee malah aku membelot test masuk ISI Jogja.”
Perjalanan Edi di bangku kuliah tentu diselesaikan dengan disiplin dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, karena dia tentu tidak ingin membebani terlalu lama orang tua dalam hal biaya pendidikan. Dia ingin memberikan perhatian terbesarnya dalam edukasi dan menjadi bagian penting pengabdiannya atas kebanggaan kepada orang tua, “Waktu kuliah, seni adalah pengabdianku kepada orangtua dan anggota keluarga besarku. Setelah kuliah hingga saat ini, seni adalah citarasa dan pengabdianku kepada semua golongan masyarakat”, ujar Edi sambil menikmati segelas wine buah racikan rumahanku.
Nah, kalo sekarang di ring bebas ini, bagaimana menyakinkan dirimu untuk memilih jalan seni dan bagaimana jalan ini sekarang menghidupimu? ”Seni merupakan jalan hidup, saya bersyukur bisa memilih jalan ini, saya bisa melihat banyak hal dan pengetahuan beragam melalui seni. Seni adalah universal sains! Seni adalah wadah khusus untuk menampung segala sesuatu bentuk ide, cerita, gagasan, imajinasi, dan harapan hidup. Niat disertai keikhlasan adalah sugesti dan motivasi diri dalam berproses menciptakan karya berkualitas.”
Jadi jika seni adalah sebuah jalan berproses, bagaimana dirimu menanggapinya?...”Ya setuju, aku sepakat berkesenian itu berproses, bagaimanapun hasilnya nanti maka akan terbuka lebarlah pengetahuan tentang arti dari sebenar-benarnya hidup”. Berkaitan dengan proses berkesenian, tidak selalu ada ruang steril dan mulus disana, banyak tekanan dan intrik. Adakah kekecewaan personal dalam berkesenian yang berkaitan dengan struktur atau sistem di luar sana?
“…Ada, ketika kepekaan sosial tidak dapat digunakan dengan baik, kualitas hidup dan berkesenian menjadi buruk nilainya. Peran pemerintah dan para pecinta seni yang kurang jeli melihat potensi besar dalam negaranya untuk diangkat ke ranah internasional mancanegara. Terlalu sibuk memikirkan untung rugi dan kekuasaan, sering luput perhatiannya untuk menyejahterakan para pekerja/pelaku seni, dalam hal ini khususnya seni lukis”.
Berkarir sebagai professional artist tentu punya pandangan sendiri tentang hubungan mesra seniman dan karyanya, seperti Leonardo da Vinci sang genius universal dengan maha karya Monalisa yang penuh misteri, atau Vincent van Gogh dengan segudang lukisannya sebagai bagian dari terapi jiwanya. Bagaimana denganmu, bung Edi,…”Seniman harus menggunakan imajinasi dan bakatnya untuk membuka lebar pandangan/pengetahuan estetikanya tanpa batas kepada semua orang dan juga merupakan upaya seseorang utk membuka kebenaran dan identitas dunia bathin. Melalui kreativitas, karya seni kelak menemukan nilai terbaiknya menjadi warisan budaya yang bermanfaat”.
Edi Maesar pelukis yang memiliki semangat juang yang tangguh, sebagai perantauan, kehendak untuk cengeng dan mudah putus asa tentu dia tepis sedalam-dalamnya, namun bukan berarti hidupnya lancar damai tanpa halangan dan juga godaan. Dalam keadaan pasar seni rupa (sektor penjualan) lesu, paceklik dan susah akses, dia harus memikirkan teknis finansial keluarga yang tetap diranah kreativitas. Edi bukan tipikal seniman yang individu dan asosial dalam bergaul dan berkelompok. Tercatat dalam proses ini dia tergabung di komunitas perupa Palembang Sanggar Bidar Sriwijaya, kelompok angkatan lukis Gledek’99, kelompok lukis BLOK9 dan yang terakhir kini didaulat menjadi ketua PERJAM, Perupa Jalan Malioboro Yogyakarta. Salah satu keputusannya dalam proses pematangan diri, survival yakni menjadi pelukis jalanan yang siap tanding, untuk menerima orderan lukis wajah on the spot maupun lukisan model lainnya sesuai dengan selera peminatnya. Tantangan ini juga membuka cakrawala baru dalam mengenal relasi kuasa seni, seniman dan masyarakat yang dulu tidak terpikirkan olehnya bahwa seniman harus mampu lentur menghadapi liku derita berproses walau diluar keinginan idealnya. Edi memang sejak awal tidak ingin bekerja atau berpenghasilan dari kerja sektor formal lainnya selain melukis. Proses melukis dengan metode kerja yang on the spot, outdoor painting, menjadi energinya untuk tetap waras, dan melepaskan diri dari berbagai tekanan serta sebagai penghibur diri.
Menakar estetika lanskap lukisan profesional Edi Maesar cenderung bernafas impresionistik, walaupun sebagai pelukis akademik dia bisa melukis dengan berbagai macam gaya dan aliran. Hal ini dapat ditandai dengan penggunaan warna yang cerah cemerlang, tarikan kuas yang tegas, kadang pendek dan panjang, serta kemampuan menangkap cahaya yang jeli pada objek-objek lukisannya dan diselesaikan dengan goresan yang efektif dan cepat. Edi merasa dia klik, sejiwa dengan bahasa visual ini, energinya yang meledak-ledak dan spontan serta ketidakpatuhannya pada warna-warna alami yang tampak di mata, menyebabkan eksplorasi karyanya penuh kejutan, bertekstur dan dinamis, seperti yang tampak pada sejumlah 151 lukisan yang dipamerkan di Miracle Prints Art Shop & Studio, salah satunya karya Uncovered Motherland, 2018, menggunakan warna oranye cerah pada kulit wanita, impresi langit dan pemandangan alam yang simple namun dengan goresan yang kuat.
Dapat diamati bahwa pelukis impressionisme membawa kesegaran dalam seni lukis dengan warna-warnanya yang cerah, kebebasan garis, dan yang paling penting cahaya dalam lukisan karya mereka menjadi ciri khas tersendiri. Impressionisme adalah aktivitas melukis di luar ruangan, tidak melukis di dalam studio, mereka disebut sebagai outdoor painters, karena kaum impressionisme cenderung menangkap cahaya dengan cepat, selesai dalam waktu itu juga dan tidak menghendaki pendetailan. Dalam impressionisme murni, penggunaan cat hitam dan coklat dihindari terutama untuk bayangan, cat basah ditimpa ke dalam cat basah tanpa menunggu kering, untuk menghasilkan batas lembut dan pembauran warna, hal yang demikian itu betul-betul telah menjadikan impressionisme mempunyai pewarnaan yang segar meriah karena setiap warna digunakan dengan kedalaman yang penuh.
Kedalaman lainnya dalam lukisan Edi adalah kepekaannya secara simbolik terhadap berbagai fenomena, persoalan kemanusiaan, alam, politik hingga cinta kasih. Secara sadar Edi membangun interaksi simbolis melalui karyanya dengan orang lain. Melalui objek-objek simbolisnya, ekspresi seni tidak saja berdimensi pada pemberian makna terhadap realitas sosial, tetapi lebih sebagai media pembangkit kesadaran kritis dan aksi perubahan. Dengan demikian seni merupakan proses simbolisasi oleh seniman dari dorongan psikisnya. Fantasi akan menjadi seni jika diungkapkan dan dikontrol oleh ego yang tidak bertanggungjawab, realistis, dan logis. Albert Camus mengatakan bahwa diluar bingkai, seniman adalah orang yang menolak dan sekaligus menerima dunia. Seniman juga ingin mengubah dunia menjadi lebih indah, lebih teratur, dan lebih bermakna.
Setiap orang memiliki persepsinya sendiri pada hal-hal yang ideal, kesadaran kritis terhadap perubahan serta cara personal untuk mengungkapkannya. Edi Maesar melalui penggayaan lanskap lukisannya selama rentang dua puluh tahun ini, setidaknya memiliki kesadaran seni sebagai sublimasi dari bentuk tekanan energi psikis yang bersifat individual dan diekspresikan dalam karya seni; dan seni sebagai bentuk penyadaran bagi masyarakat terhadap fenomena sosial dari kepekaan sosial terhadap situasi kehidupan, dalam hal ini seni berfungsi sebagai media kritik terhadap kenyataan agar terjadi perubahan dalam sistem sosial dan budaya dalam masyarakat yang sesuai dengan harapan. Tema-tema subject matter lukisannya sangat beragam; terkandung nilai penyadaran, pembebasan, kontemplasi diri, hingga spiritual. Inilah jalan pencerahan Edi Maesar dalam proses pematangan diri dalam atmosfer medan kesenian.
Melukis sak modare, hingga mata tak mampu lagi mendefinisikan warna.
Selamat berpameran kawanku, Edi Maesar dan temukan hasratmu dalam relasi hangat seni, seniman, dan masyarakat.
Teras Kali Bedog, Yogyakarta, Januari 2019
I Gede Arya Sucitra
Teman satu angkatan Edi Maesar