
“Bedroom in Arles”
Trilogi Reduksi II
Seniman : Syahrizal Pahlevi
Tempat : KEBUN BUKU, jl. Minggiran 61 A, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
Materi : 15 karya seni grafis teknik woodcut reduksi di atas kertas
tahun 2017-2019 ukuran antara 60 x 60 cm sampai 70 x 100 cm
(frame) dan kumpulan tulisan
Waktu pameran : 12 – 26 Februari 2019
Pembukaan : Selasa, 12 Februari 2019, pukul 16.00 (4 sore)
Dibuka oleh : Kris Budiman
Penulis : AA. Nurjaman
Jam buka pameran : Selasa – Minggu. Pukul 10.00 – 17.00. Senin dan hari besar tutup.
Penyelenggara : Kerjasama Kebun Buku dan Miracle Prints
CP : Ria Novitri/087739315969
“Bedroom in Arles”: Seri II Pameran Trilogi Syahrizal Pahlevi
AA Nurjaman
Syahrizal Pahlevi menggelar pameran tunggal yang diberinya judul “Trilogi”. Kali ini pameran yang kedua dari Trilogi Pameran Tunggal karya-karya grafis yang dibuatnya dengan teknik cetak reduksi. Setiap penyelenggaraan pameran menyuguhkan tema yang berdiri sendiri, namun juga saling berkaitan. Pada pameran Trilogi pertama mengangkat tema “Dari Guanlan ke Arles”, diselenggarakan di Museum Dan Tanah Liat Yogyakarta, yang menyuguhkan karya-karya seni grafis buah karyanya ketika ia diundang residence di Guanlan, Shenzen, China. Pada pameran keduanya yang diselenggarakan di Kebun Buku, Pahlevi menampilkan sekitar 15 karya grafis yang terinspirasi dari lukisan Vincent Van Gogh “Bedroom in Arles” (1888 – 1889), tiga seri lukisan yang menggambarkan situasi kamar tidur Van Gogh yang berada di Arles. Dan pada pameran Trilogi ketiga, Pahlevi berencana menampilkan semua karya yang dibuatnya dengan teknik cetak grafis reduksi.
Ada apa dengan “Bedroom in Arles”? Kenapa perasaan Pahlevi begitu mendalam terhadap lukisan itu? Alasannya tak lain dari kemunculan suatu memori.
Pada tahun 1991 – 1993, semasa kuliah di jurusan seni lukis ISI Yogyakarta, Pahlevi pernah bekerja di galeri Gajah, sebuah galeri di kawasan Kranggan yang memproduksi karya-karya reproduksi buah karya seniman terkenal Eropa, seperti Picasso, Gauguin, dan yang paling sering dikerjakannya adalah mereproduksi karya-karya Vincent Van Gogh. Dalam kelanjutan kariernya sebagai seniman, Pahlevi lebih menekuni seni grafis. Hingga 27 tahun kemudian pada tahun 2017, ia diundang residence ke Guanlan Original Printmaking Base, Shenzen, China untuk mengembangkan seni cetak grafisnya. Ketika berada di Shenzen itulah, ia sempat mengunjungi Dafen Artis Village, yang merupakan sebuah pabrik reproduksi karya-karya seniman terkenal di dunia. Maka bangkitlah memori Pahlevi ke pengalaman hampir tiga puluh tahun lalu. “Memori itu seperti proses inkubasi, semakin ditahan semakin kuat menekan,” ungkapnya. Maka ketika kembali ke Yogyakarta, ia segera menyusun Trilogi Pameran Tunggalnya yang mengangkat memori ketika ia mengerjakan karya-karya lukisan reproduksi.
Dalam mewujudkan memorinya, Pahlevi tidak melukis sebagaimana pernah dilakukannya, melainkan menggunakan teknik cetak grafis melalui proses reduksi. “Pengertian istilah reduksi, erat kaitannya dengan pengungkapan kembali pengalaman di masa lalu. Suatu tatanan perjalanan yang tidak mungkin ditata ulang secara sempurna sesuai kenyataan seperti yang saya alami tempo dulu.”
Ungkapan Pahlevi menyatakan bahwa suatu pengalaman yang diwujudkan menjadi karya sastra maupun seni rupa, tentu saja melalui suatu proses penyederhanaan, sehingga yang tampil hanya bagian intinya saja sebagai pokok masalah yang membangkitkan memori-memori. Istilah reduksi dalam pameran tunggalnya kali ini yang diberi judul “Bedroom in Arles” erat dengan pengungkapan inspirasi, bahwa sesuatu yang diungkapkan adalah kesan mengenai lukisan “Bedroom in Arles”, bukan menggambarkan kembali karya Van Gogh secara utuh seperti pernah dikerjakannya tempo dulu. Maka melalui pameran ini Pahlevi menegaskan istilah reduksi sebagai makna dari memori-memori, yang kaitannya dengan salah satu teknik cetak grafis.
Reduksi “Bedroom in Arles”
Reduksi merupakan suatu teknik cetak menggunakan satu plat kayu melalui proses penghilangan bagian-bagian yang tidak diperlukan dalam menyusun tingkatan warna yang dicetak. Syahrizal Pahlevi dalam menciptakan karya-karyanya kali ini hanya menggunakan satu papan cetakan atau sebuah plat kayu lapis. Plat kayu itu diberi warna cat dengan cara di rol kemudian diterapkan pada kertas dengan cara dipres. Setelah disalin menjadi beberapa edisi sesuai kebutuhan, plat kayu cetakan itu kemudian digores dengan pahat grafis untuk membuat obyek gambaran berikutnya yang akan dipres dengan warna berikutnya. Setelah didapatkan warna kedua, diteruskan dengan obyek gambaran yang diberi warna ketiga dan seterusnya, sampai plat cetakan itu habis fungsinya. Cetakan reduksi satu plat tidak bisa diulang.
Pengertian reduksi dalam karya Pahlevi “Bedroom in Arles” menampilkan beragam rekonstruksi dari tiga seri karya Vincent Van Gogh “Bedroom in Arles” (1888 – 1889) melalui teknik cetak grafis. Lain halnya dengan lukisan “Badroom in Arles” yang dibuat Vincent Van Goh yang dibuat langsung di kanvas, di mana ekspresi goresan dan sapuan warna bisa terlihat dengan jelas. Ekspresi dalam karya “Bedroom in Arles” buah karya Pahlevi hanya bisa terlihat dari bidang-bidang warna yang tercetak, baik bidang warna yang menyerupai garis-garis, maupun bidang warna yang membentuk obyek gambaran.
Pahlevi mengungkapkan, “pada proses pembuatan seni grafis, seniman tidak bisa langsung melihat hasil ekspresinya seperti dalam proses melukis. Seniman dituntut untuk lebih sabar dan lebih imajinatif supaya bisa memperkirakan hasil ekspresinya setelah proses pencetakan.”
Maka dari itu, pada proses pembuatan cetakan, suatu imajinasi hasil akhir dari proses cetak pertama harus sudah bisa ditafsirkan bentuknya. Kemudian ketika proses cetak kedua, ketiga dan seterusnya, seniman dituntut untuk mampu menafsirkan tumpang-tindih dari imaji-imaji yang akan diwujudkan. Dan ketika bisa dicapai hasil akhir dari semua proses, maka seniman mendapatkan suatu impressi kedalaman makna dari suatu reduksi pengalaman masa lalunya.
Proses reduksi yang bisa diartikan sebagai penyederhanaan bentuk yang lebih dikenal sebagai proses abstraksi. Istilah abstraksi dalam karya seni lebih menekankan kepada tampilan suatu inti masalah. Dalam karya-karya Pahlevi kali ini hampir tidak ditemui gambaran obyek-obyek seperti pada lukisan aslinya, tetapi lebih kepada pengalaman kesan impressi dari memori masa lalunya.
Kita bisa melihat karya pertama yang berjudul ‘Rekonstruksi Van Gogh’ (2017) wood cut reduksi 30 x 30 cm, edisi 3 + 1, di mana Pahlevi menggambarkan dimensi tempat tidur hampir serupa dengan yang digambarkan Vincent Van Gogh “Bedroom in Arles”. Pada karya ‘Rekonstruksi Van Gogh III’ (2017) wood cut reduksi 57 x 86 cm, edisi 4 + 1, warna campuran hijau, biru dan putih mendominasi warna bidang gambaran, sementara warna merah jingga, coklat kehitaman dan coklat kekuningan mendominasi ekspresi garis pada obyek gambaran. Pada ‘Rekonstruksi Van Gogh IV’ (2017) wood cut reduksi 86 x 54 cm, edisi 4 + 1, obyek gambaran tempat tidur dan ruang kamar mulai dipenuhi bidang-bidang warna impressif merah, merah muda, coklat, coklat kekuningan, coklat muda dan putih ditambah ekspresi garis-garis hitam yang membentuk obyek gambaran. Dan pada ‘Rekonstruksi Van Gogh X’ (2018) wood cut reduksi 57 x 86 cm, edisi 5 + 1, mulai muncul proses abstraksi lukisan “Bedroom in Arles” melalui warna hijau muda, hijau dan hijau kekuningan. Sementara warna merah, coklat kekuningan dan putih menjadi semacam warna abstraksi dari obyek gambaran. Dan pada karya ‘Rekonstruksi Van Gogh XII’ (2018) wood cut reduksi 57 x 86 cm, edisi 4, Pahlevi benar-benar mewujudkan abstraksi lukisan Vincent Van Gogh “Bedroom in Arles” dalam bentuk abstraksi.
Makna Abstraksi Pahlevi
Apa yang digambarkan Pahlevi melalui karya-karya grafisnya, tidak lain suatu komunikasi antar manusia melalui penafsiran makna. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi itu adalah bahasa imaji rupa, gerak, ritme, yang diolah melalui ekspresi demi merogoh pendalaman rasa. Dalam penafsiran bahasa imaji belum pernah ditemui adanya gramatika baku seperti dalam bahasa verbal, karena Pahlevi sebagai seniman berusaha sendiri dalam menciptakan bahasa pengungkapannya yang khas. Dalam komunikasi seni murni, penafsiran logika yang bekerja memang berbeda dari penafsiran logika benda-benda yang bernilai guna. Dalam seni murni, suatu barang seni yang tercipta tidak diperuntukkan supaya bernilai tepat guna, melainkan untuk memenuhi hasrat logika rasa imajinatif. Tentu saja saat menafsirkan karya, logika nalar konseptual bisa saja ikut berperan, namun kekhasan komunikasi lewat karya seni terletak bukan pertama-tama pada makna logika konseptualnya, melainkan pada efek rasawi imajinatifnya. Melalui efek itulah orang lantas menalarkan maknanya. Pada titik ini, seni memang merupakan kegiatan mereproduksi efek imajinatif dan rasawi.
Lantas apa yang ingin diungkapkan Syahrizal Pahlevi mengenai ruang tidur Van Gogh yang sudah direproduksi ribuan kali?
Pahlevi mengutarakan lukisan ruang tidur Van Gogh “Bedroom in Arles” dalam beberapa sudut pandang, seperti terlihat dari beberapa seri karya grafisnya. Ia terus mengutak-atik inspirasinya dari gambaran realistik menuju ketingkat absurd bahkan abstrak. Maksud Pahlevi dengan membuat beberapa tingkatan karya yang semakin absurd dengan tumpang-tindih antara garis dan warna, tidak lain untuk membangun makna yang kompleks sekaligus mendalam. Karena perumusan seni pada awalnya seperti yang dirumuskan Plato melalui teori mimesis, tidak lebih sebagai hasil peniruan.
Plato pada 2500 tahun yang lalu sudah memandang seni melalui sudut pandang filosofi, atau lebih populer dengan istilah mimesis, terjemahan yang paling dekat adalah representasi. Dalam teori mimesis terdapat dua wilayah penciptaan seni, yaitu wilayah nyata yang berasal dari ide-ide sempurna dan wilayah ilusi yang merupakan salinan dari ide-ide sempurna. Diringkaskan oleh Plato, bahwa dunia sempurna bersifat non spasial dan non temporal, sedangkan dunia ilusi bersifat spasial dan temporal.[i]
Teori mimesis dijelaskan Plato melalui pertanyaan, “apa bedanya tukang kayu yang membuat tempat tidur dan pelukis yang melukis tempat tidur?” Makna dari pertanyaan itu, keduanya menghasilkan tempat tidur, tapi siapakah yang menghasilkan esensi tempat tidur?
Pencipta tempat tidur yang sebenarnya, menurut Plato, adalah Dewa (maksudnya konsep tempat tidur yang bersifat non spasial). Pembuat tempat tidur kedua: tukang kayu, dan pembuat tempat tidur ketiga: pelukis yang hanya merepresentasikan tempat tidur, yang berarti kedua-duanya mewujudkan karya spasial atau temporal yang tidak menampilkan esensi apalagi kebenaran. Kesimpulan Plato, bahwa semua hasil kesenian pada dasarnya mimesis atau “representasi”. Dan representasi bagi Plato hanya sejenis pertunjukkan yang tidak perlu ditanggapi secara sungguh-sungguh. Seniman, menurut Plato, tidak memiliki pemahaman tentang subjek yang tampil dalam karya-karya mereka. Representasi subjek dalam karya seni, menurut Plato, tidak akan memberikan apa-apa untuk kehidupan manusia. Plato mengutarakan komunitas ideal ini secara rinci dalam karyanya Republic[ii].
Di titik inilah letaknya pengertian inspirasi. Karya Pahlevi ingin mengungkapkan pengalaman yang berulang, yang dimulai pada tahun 1991 ketika ia bekerja sebagai tukang gambar reproduksi karya-karya seniman Barat terkenal. Pengalaman itu berulang hampir tiga puluh tahun kemudian, ketika ia melihat proses reproduksi karya yang sama oleh para artisan China di Dafen Artis Village di kota Shenzen. Menurut Pahlevi, pengalaman selalu real namun sekaligus kompleks, mengandung demikian banyak unsur tumpang-tindih sehingga bentuknya tak jelas dan sulit dirumuskan secara memadai. Pemilihan teknik grafis diperuntukan guna menelusuri kerumitan itu dengan menyederhanakannya melalui teknik cetak yang disebut reduksi, karena ia sebenarnya sedang mereduksi pengalaman-pengalamannya yang tumpang-tindih dengan berbagai persoalan lain dalam kehidupannya.
Maka karya Pahlevi yang semakin jauh kemiripannya dengan karya Van Gogh, baik komposisi warna, garis maupun ruangnya, tidak lain adalah semacam upaya untuk merumuskan pengalaman-pengalamannya yang semakin dirasakan, justru semakin tak berbentuk. Di titik inilah makna seni hendak merogoh kedalaman pengalaman kemudian mengkomunikasikannya melalui medan bentuk dan medan imaji supaya mengena pada indra batin kita. Itulah yang disebut ‘gaya’, ‘style’ atau ‘karakter’. Itu sebabnya di dunia seni rupa, bentuk wajah dipersingkat konturnya oleh para seniman pra modern seperti pada karya-karya patung nias. Kemudian diburamkan rinciannya oleh para seniman impressionisme, dirusak bentuknya oleh para seniman ekspresionisme, dibelah menjadi kotak-kotak oleh kaum kubisme, dibuat ganjil opeh para surealisme dan dihilangkan bentuk wadagnya oleh kaum abstrakisme. Oleh karenanya Picasso pernah mengatakan, ‘Art is a lie that enables us to realize the truth’, seni adalah kebohongan untuk melihat kebenaran.
Kebenaran apa yang terletak pada seni
Bagi seniman seperti Syahrizal Pahlevi, pengalaman yang langsung dialami akan berbaur campur aduk dengan aneka perasaan, kepekaan moral, imajinasi nilai, kesadaran, impian bawah sadar dan sebagainya. Dunia dan kehidupan bukanlah ‘obyek’ di luar sana. Dunia dan kehidupan adalah latar belakang dari medan pemikirannya, sekaligus sesuatu yang senantiasa merupakan bagian intim di dalam dirinya. Ia sudah demikian menyatu dengan dunia, dan dunia sudah selalu ada dalam dirinya menjadi kesatuan asasi dalam ‘perasaan’ yang memunculkan imajinasi’ dan ‘perilaku’. Ia menyadari dirinya hanya lewat interaksi dengan dunia sekelilingnya, dan juga sebaliknya.
Hal inilah yang membedakan pendalaman seniman dengan para ilmuwan ketika menghadapi suatu masalah. Cara penyampaian dari kedua profesi itu juga berbeda. Jika seniman mengorek permasalahan hingga ke akar-akarnya, para ilmuwan mengutamakan jarak dan analisis. Para seniman mengungkapkan suatu permasalahan melalui subyektifitas perasaannya, para ilmuwan menyampaikan persoalannya melalui obyektifitas analisis dengan mengungkapkan salah satu tafsiran abstrak – pragmatis suatu permasalahan. Dalam sudut pandang para ilmuwan, tidak penting bahwa seseorang yang menjadi obyek permasalahannya memiliki nama. Bagi ilmuwan yang berprofesi dokter, tidak penting nama dan kedudukan dari pasiennya, yang membedakan adalah macam penyakitnya. Dalam ilmu sosial, data nama hanya diperlukan untuk analisis statistik. Dalam ilmu ekonomi, data nama hanya untuk membedakan si kaya dan si miskin guna kepentingan pasar suatu produk. Dalam agama, nama adalah simbol yang akan dibawa sampai ke alam baqa. Dalam filsafat moralitas, baik-buruknya nama seseorang bergantung kepada sebab dan akibat yang akan menentukan berharga atau tidaknya orang itu dalam kehidupan berdasarkan kebaikan dan keburukan perilakunya. Pada titik ini, baik sains, agama maupun moralitas sebenarnya mereduksi atau menyederhanakan kompleksitas dan ambiguitas pengalaman seseorang.
Lain halnya dalam seni, nama memiliki arti yang sungguh-sungguh pelik. Bagi Pahlevi, nama Vincent Van Gogh sangatlah penting. Keunikan hidupnya menjadi medan untuk diungkapkan melalui bahasa hati yang paling dalam, ‘perasaan’. Pengalaman mereproduksi lukisan, yang merupakan akar hidup Van Gogh, kemudian dibedah, dianalisis, direka ulang atau direkonstruksi sehingga menyentuh bagian terdalam dari batinnya tidak saja sebagai seorang seniman, tetapi juga sebagai manusia. Demikianlah kepekaan seniman dalam mengungkap berbagai persoalan besar maupun kecil mampu memberi bentuk pada pengalaman yang tak jelas, menampilkan yang tadinya tersembunyi, memperkatakan hal yang tak terumuskan, membunyikan hal yang tak tersuarakan, intinya menampakkan pengalaman batin yang tak terungkapkan.
Maka melalui batin terdalamnya, yang hendak dirogoh dan diungkapkan Pahlevi bukanlah sekedar ‘keindahan’ fisik, melainkan ‘kebenaran’. Termasuk di dalamnya adalah kebenaran dari hakekat seni sendiri. Dalam tradisi estetika, seni dimengerti sebagai ars (ketrampilan), tekhne (keahlian), dan berkaitan dengan keindahan (kalon). Yang sering terabaikan adalah bahwa seni terutama berkaitan dengan ‘penciptaan’ (poein). Maka karya-karya seni yang dibuat oleh para artisan yang mereproduksi lukisan seperti yang dialaminya hampir 30 tahun lalu bukanlah suatu hasil penciptaan, seperti yang diungkapkan Plato dalam teori mimesisnya, karena penciptaan ‘poein’ berkaitan dengan akar kata estetika yaitu aisthenasthai yang berarti persepsi. Maka seni terutama adalah menyoal penciptaan ‘persepsi baru’, persepsi tentang kebenaran yang lebih dalam dari realitas yang kita hadapi sehari-hari. Seni memang lebih terkait dengan ‘kebenaran’ kehidupan, yang pada hakekatnya seni adalah tampilnya kebenaran secara menyentuh.
Kebenaran dalam seni bukanlah kebenaran ilmiah, bukan kebenaran religius, bukan pula kebenaran moral, doktrin, dogma, agama atau keyakinan apapun yang sifatnya konvensional, melainkan kebalikannya, justru munculnya realitas-realitas yang awalnya tersembunyi, yang tak disadari namun nyata dan seringkali bertabrakan dengan dogma, religius, ilmiah, rumus dan kebenaran moral atau budaya. Seni adalah kebenaran kenyataan hidup yang kita alami seperti adanya, kebenaran akan kenyataan yang tak mengenal hitam-putih, kebenaran dari kenyataan yang pelik dan tumpang-tindih. Maka dalam karya-karya grafisnya, Pahlevi seringkali mengungkapkan kompleksitas kehidupan yang menginspirasinya dengan warna-warna dan garis-garis tumpang-tindih.
Demikianlah fungsi seni, termasuk seni rupanya, digunakan para seniman untuk menyingkap aneka lapisan, kompleksitas, dan misteri realitas yang menggugah kesadaran masyarakat intelektual. Oleh karenanya, konsep seni bahkan pengertiannya seringkali berubah sesuai dengan konteks permasalahannya.
Yogyakarta, 25 Januari 2019
AA Nurjaman
[i] Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 851-852.
[ii]Buku Plato, Republic jilid X, diterjemahkan oleh Francis M. Cornford, The Republic of Plato, (London: Ozford University Press), hal. 321-340, kemudian diterbitkan ulang dalam The philosophy of Visual Arts, hal. 63.
**************
Pernyataan seniman
Tentang Trilogi Reduksi.
Istilah Trilogi umumnya dipakai para penulis untuk proyek tulisan atau novelnya yang terdiri atas tiga bagian yang saling bertautan. Sementara Trilogi Reduksi disini saya maksudkan sebagai rangkaian tiga pameran tunggal saya sendiri yang tautan ketiganya ada pada provokasi teknik woodcut/linocut reduksi sebagai satu-satunya teknik yang dipakai dalam membuat karya untuk ketiga pameran tersebut. Teknik woodcut reduksi adalah salah satu dari teknik relief print atau cetak tinggi dalam seni grafis. Dalam teknik ini, hanya digunakan satu pelat kayu sebagai acuan cetak yang akan dicukil sampai habis/rusak untuk menghasilkan lapisan warna yang diinginkan seniman.
Lebih jauh tentang teknik reduksi dapat dilihat di tulisan saya di https://kompas.id/baca/x/akhir-pekan/2018/01/06/reduksi-suicide-printmaking/
Setiap bagian Trilogi memiliki judul berbeda-beda sesuai tema yang dibawakan di setiap pameran.
Tentang judul “Bedroom in Arles”.
Ini adalah judul dari tiga versi lukisan yang serupa satu sama lain dari pelukis terkenal Vincent Van Gogh berobjekkan kamar tidurnya sendiri dibuat tahun 1888 sampai 1889. Seri ini masih dilengkapi dengan dua buah sketsa berobjek sama pada surat pribadinya untuk adiknya Theo dan temannya pelukis Gauguin. Arles adalah kota keciL terletak di pinggiran utara Perancis dimana Van Gogh tinggal lebih dari setahun disana namun konon menjadi masa produktifnya dengan menghasilkan banyak lukisan dan gambar. Salah satunya adalah 3 versi lukisan “Bedroom in Arles.
Saya mengambil visual yang ada di tiga lukisan Van Gogh tersebut sebagai bahan acuan untuk karya yang saya kerjakan. Sudah menjadi topik umum bahwa karya-karya Van Gogh banyak menjadi objek dalam industri reproduksi karya master yang dikerjakan di seluruh dunia dan “Bedroom in Arles’ menjadi salah satunya yang pavorit dikerjakan/dipesan. Dalam karya-karya saya, “Bedroom in Arles” Van Gogh menjadi bahan menautkan memori, membaca referensi dan melepaskan imajinasi dalam bentuk karya teknik woodcut reduksi dicetak di atas kertas.
Memori: Tahun 1991 – 1993 semasa masih menjadi mahasiswa di jurusan seni lukis ISI Yogyakarta saya pernah bekerja di sebuah galeri di Yogyakarta (Galeri Gajah di kampung Kranggan Yogyakarta) membuat lukisan pesanan berupa reproduksi karya master Eropa termasuk reproduksi karya-karya Van Gogh.
Referensi: Ketika menjalani 2 bulan masa residensi di Guanlan Original Printmaking Base, Shenzhen, China tahun 2017 saya sempat mengunjungi Dafen Artist Village, Shenzen, sebuah tempat terbesar reproduksi karya-karya Van Gogh yang terkenal di seluruh dunia. Saya membuat beberapa dokumentasi dan catatan disana. Mengenai Dafen Artsist Village dapat dilihat di https://theculturetrip.com/asia/china/articles/a-brief-history-of-dafen-art-village/ atau https://www.aljazeera.com/indepth/features/dafen-oil-painting-village-world-art-factory-180213181434532.html
Melepaskan imajinasi: Topik saya adalah praktek membuat reproduksi lukisan yang pernah menjadi pekerjaan saya dahulu dan saya saksikan lagi ketika berkesempatan ke Dafen Artist Village, Shenzen, China. Cerita dan visual dalam lukisan Van Gogh berjudul “Bedroom in Arles” saya ambil sebagai bahan untuk bertualang dengan elemen-elemen seni rupa. “Bedoom in Arles” dan Van Gogh hanyalah sebuah kasus dimana telah menjadi simbol praktek reproduksi lukisan karya master yang dikerjakan di seluruh dunia.
Rangkaian trilogi
Trilogi Reduksi I: berjudul “Dari Guanlan ke Arles”, berupa pameran 10 buah karya seni grafis buatan tahun 2017-2018 yang telah dipamerkan di MDTL, ds. Kersan, Tirtonirmolo, Yogyakarta pada 20 – 30 Januari 2018. Pameran ini menampilkan karya-karya yang dibuat di China dan karya-karya yang dibuat di Indonesia sepulang dari China. Penulis Hans Knegtmans dan Harry Prayitno. Dibuka oleh Bambang ‘Toko’ Wicaksono.
Reportase pameran dapat dilihat di http://www.satuharapan.com/read-detail/read/dari-guanlan-menuju-jalan-lain-ke-arles atau http://www.pictaram.life/post/1697132746553503118_1384004796
Trilogi Reduksi II berjudul: “Bedroom in Arles”. Berupa pameran karya-karya tahun 2017-2019 dimana ada beberapa karya dalam pameran Trilogi I ikut disertakan karena berkaitan tema. Tempat pameran direncanakan di KEBUN BUKU Yogyakarta, tanggal 12 – 26 Februari 2019 dan akan dibuka oleh Kris Budiman pada selasa, 12 februari 2019, pukul 16.00 (4 sore). Penulis AA. Nurjaman.
Trilogi Reduksi III: belum ada judul. Berupa pameran pilihan karya-karya teknik woodcut reduksi yang saya buat sejak tahun 1988 sampai tahun terakhir menjelang pameran nantinya. Diharapkan Trilogi Reduksi III akan menjadi ‘jawaban’ dari rangkaian pameran ini. Tempat pameran dan waktu pameran belum ditentukan.
Syahrizal Pahlevi
******************
Opening speech ole Kris Budiman (Kebun Buku, 12 Februari)
Saat dihubungi oleh Pahlevi rasanya saya senang dan tanpa berpikir panjang menyambut positif. Pertimbangannya satu, yaitu judul pameran Bedroom in Arles. Saya sangat suka dengan karya Vincent van Gogh ini. Kemudian, setelah saya pikir-pikir lagi, ada beberapa hal yang menarik berkaitan dengan kerja Pahlevi. Pertama, obsesi Pahlevi yang panjang, bertahun-tahun dalam menekuni seni grafis.
Kedua, rancangan pameran ini memerlukan napas panjang karena merupakan pameran trilogi. Selain itu, ketiga, dari sini kita bisa belajar tentang salah satu karya masterpiece van Gogh serta bagaimana Pahlevi meresponsnya.
Van Gogh tidak merekam realitas, melainkan menangkap suasana (atmosfer) dari suatu ruang. Yang dia tangkap adalah citraan-citraan. Nah, apa yang dilakukan oleh Pahlevi bisa dibaca dengan menempatkan karya van Gogh sebagai teks induk atau teks latar bagi proses berkaryanya serta relasi-relasi yang terbangun di antaranya. Dilihat secara psikologis barangkali kita bisa menyebutnya sebagai stimulus-respons. Akan tetapi, jika pembacaannya pada tataran teks, bisa kita telusuri kaitan-kaitan interteks di antara dua gugusan karya, yakni di antara karya van Gogh dan karya Pahlevi. Pertautan-pertautan apa yang terjadi, secara empiris, tekstual, atau piktorial, entah pada tataran warna, suasana, atau elemen-elemen visual lainnya.
- Kris Budiman –
***********************
Liputan media
LEVI'S BEDROOM.....
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/levis-bedroom-in-arles

online_catalog_trilogi_ii_syahrizal_pahlevi_2019.pdf |