pdf__katalog_print_normal.pdf |
Catatan Kris Budiman Sewaktu pertama kali saya dikontak oleh Tina, seketika itu juga terbayang rentang waktu yang terbilang cukup panjang yang telah saya lalui dalam mengenal dan (terkadang) mengamati entah karya-karya Tina Wahyuningsih ataupun Sinta Carolina Karya-karya Sinta --terutama berupa drawing-- bisa langsung diidentifikasi sekejap mata dari, pertama, diksi warnanya yang khas, meriah, berwarna-warni. Sinta pun gemar menghadirkan artefak-artefak (benda- benda) dan hewan-hewan yang ada di dalam kehidupan sehari-hari yang sering kali tampak "sepele" sehingga luput dari amatan kita. Memasuki karya-karya Sinta adalah menikmati puitika kehidupan sehari-hari (the poetics of everyday life) atau seakan-akan memasuki dunia fabel masa kanak. Sementara Tina --dikenal dengan patung-patung lunaknya-- selama ini gemar menjelajahi bentuk-bentuk dan figur-figur yang asosiatif. Bentuk-bentuk yang mungkin membawa asosiasi kita pada sosok-sosok insani dan seperti-manusia (human-like), atau makhluk-makhluk imaginer tertentu, bahkan barangkali semata bentuk sebagai bentuk itu sendiri. Ketika saya mengetahui judul pameran ini, yakni Happy Anxious Days, saya tergugah oleh ambiguitasnya, selain pada kemungkinan menautkannya pada situasi pandemi Covid-19 saat ini. Penautan pada konteks pandemi tentu lebih mudah dilakukan karena mereka berdua memamerkan karya-karya (berupa dan di atas) masker. Sementara yang saya maksud dengan ambiguitas itu adalah dalam hal tafsir terhadap judul tersebut. Di satu sisi ia berarti hari-hari cemas yang berbahagia, membahagiakan; di sisi lain dapat pula kita pahami seperti ucapan selamat: Selamat (menjalani, merayakan) hari-hari cemas. Hari-hari cemas itu tentu saja secara langsung merujuk, sekali lagi, kepada hari-hari yang masih dan sedang kita jalani selama beberapa bulan terakhir ini di tengah ancaman wabah. Akan tetapi, bukan itu saja. Dengan frasa itu Sinta dan Tina di satu sisi seperti sedang menyindir atau, setidaknya, menyodorkan sepotong ironi kepada kita; di sisi lain mereka pun menawarkan optimisme untuk tetap bahagia dan selamat dalam melalui kondisi darurat ini. Kepada Sinta dan Tina, saya ucapkan: Happy Anxious Days. Selamat berpameran dengan gembira, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Kris Budiman MERAKI “Meraki” {may–rah–kee}—bahasa Yunani—berarti hal yang dilakukan dengan kreativitas dan cinta hingga sebagian dari jiwa mewujud di dalamnya. Kata itu mampu merepresentasikan kerja seniman yang bekerja mencipta dengan daya pikir melalui olah bentuk dan rasa. Menurut konsep seni S.Sudjojono, seni adalah jiwa ketok, jiwa seniman yang terlihat dalam karya-karyanya. Konsep ini tidak merujuk pada penilaian atau standar teknik tertentu, namun menekankan pada proses penciptaan karya, bagaimana seniman mengolah cita, rasa dan karsa dalam diri lalu mewujudkan itu ke dalam bentuk karya yang mampu mewakili dirinya. Proses ini seperti menelusuri pengalaman sadar dan bawah sadar seniman dengan membebaskan eksplorasinya, sehingga ia meninggalkan simbol-simbol personal sebagai bahasa yang menyatakan pemikirannya yang lebih mengacu pada jati dirinya. Di masa pandemi Covid-19 yang melanda dunia, keterbatasan gerak semestinya tidak menjadi persoalan bagi seniman. Masa berbulan-bulan “dirumahkan” ibarat digiring kembali ke studio guna melakukan perenungan kembali, mencipta karya dan mengurangi aktivitas di luar rumah. Kemajuan teknologi telah mempermudah penyajian presentasi hasil karya seni. Pada pameran “Meraki” ini, hadir karya-karya Harindarvati, Sumbul Pranov dan Meuz Prast yang mereka cipta selama masa pandemi. Karya-karya tersebut akan diunjukkan melalui pameran virtual, live streaming dan ragam media online lainnya. Hingga perjumpaan antara karya dan penikmatnya tetap ada. Karya mereka sangat beragam. Karya-karya yang merepresentasikan jiwa kreatornya, karena sebagian dari diri mereka tergambar di sana. Sumbul Pranov, misalnya, ia terinspirasi oleh gumpalan awan dengan objek seorang perempuan yang sedang memikirkan sesuatu, yang menarasikan cita-cita tinggi, dan beberapa objek anjing yang menarasikan kesetiaan melebihi kesetiaan manusia sekali pun. Citra tersebut menggambarkan sebagian dari diri Sumbul sebagai seniman patung, yang kini kian berkurang, karena banyak pematung beralih melukis dan jarang membuat karya patung. “Meraki” dalam bahasa Jawa berarti nyedhaki atau mendekati. Mendekati dalam konteks ini menjadi sebuah proses penggalian dalam mengenali diri, hingga karya-karya yang terlahir dari perenungan tersebut merupakan cerminan sebagian dari jiwa senimannya. Karya-karya Harindarvati mengeksplorasi sosok perempuan misterius dengan narasi surealis dan bermain warna kulit. Ia menemukan keasyikan sekaligus kemisteriusan dalam tubuh perempuan lain yang dilihatnya yang juga merupakan representasi dari dirinya yang paling dalam. Lain halnya dalam karya-karya Meuz Prast yang menghadirkan banyak citra mata. Ia lebih banyak melihat pun dilihat daripada berbicara dan mengidentifikasi peristiwa yang terjadi yang dibuatnya menjadi materi dalam karya-karyanya yang dihadirkan dalam pameran ini. Pameran virtual “Meraki” berlangsung pada 24 Juli sampai 6 Agustus 2020 di Miracle Galeri Suryodiningratan, Yogyakarta. Hal ini sebagai upaya menyikapi kondisi pandemi yang sedang terjadi, sekaligus tetap menyambung nafas berkesenian melalui dunia virtual. “Kerja, kreativitas, dan jiwa!” itulah yang disuguhkan dalam “Meraki”.
Setelah hampir 4 bulan terpaksa tanpa kegiatan pameran akibat pandemi Covid-19, untuk kali pertama, masih di tengah pandemi Miracle prints mengadakan pameran. Tapi tetap memakai protokol kesehatan yang ditetapkan WHO, pembukaan tidak ada kerumunan, hanya akan ada pembukaan virtual. Karya-karya tetap didisplay dan pengunjung yang ingin melihat karya langsung dipersilahkan. tentu saja dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Semoga kita semua sehat dan tetap kreatif. Rencana pameran akan dibuka oleh Dr. Wegig Murwonugroho (pengajar di Universitas Trisakti Jakarta) Salam, Miracle Prints Press Release Pameran Sketsa “Zig-Zag” M. Dwi Marianto dan Joseph Wiyono Menskets (membuat karya sketsa) merupakan aktivitas artistik yang mengawali proses penciptaan suatu karya seni. Dalam pengertian umum, sketsa adalah rancang bangun dari sebuah karya seni. Dalam konteks yang lebih luas, sketsa adalah catatan visual penyimpan kegelisahan, ide, inspirasi yang bersifat cepat, spontan, dan praktis. Acap kali para seniman (visual) menuangkan gagasannya untuk projek karyanya melalui sketsa terlebih dahulu. Arti penting sketsa ketika menjadi karya mandiri adalah karena kandungan nilainya merupakan buah-buah pemikiran dan interpretasi tentang sesuatu hal yang dicerap oleh si seniman atau sketser. Sketsa adalah penting, akan tetapi acap diabaikan ketika hanya (dianggap) selesai sebagai rancang bangun. Sketsa adalah studi mengenai sesuatu yang diimplementasikan melalui pendayagunaan garis secara efektif, akurat, dan tepat guna. Sketsa dalam Pameran Sketsa “Zig-Zag” oleh M. Dwi Marianto dan Joseph Wiyono yang akan berlangsung pada 8 hingga 21 Juli 2020 di Miracle Prints, selain menggugah kembali nilai-nilai sketsa sebagai karya murni, juga akan menempatkan karya sketsa dalam konteks situasi pada zamannya. Termasuk di sini, terkait penyelenggaraan pameran, mencoba merespon situasi terkini yang sedang melanda dan teralami, yaitu: situasi pandemic Covid-19 yang mengharu-biru situasi dan emosi individu para sketsernya maupun masyarakat. Zig-zag sebagai konsep dalam pameran ini adalah respon dan resonansi dari ke-zig-zag-an situasi terkini yang mau tidak mau menjadi keniscayaan cara mempertahankan keberlangsungan (berbagai aspek) hidup. Bagi sketser yang sedang berpameran, zig-zag juga menjadi cara menginterpretasi bagaimana mendayagunakan waktu dan kesempatan di kesibukan jam kantor untuk berzig-zag dengan waktu dan garis masing-masing untuk menghasilkan karya sketsa. Bentuk pameran direncanakan dalam bentuk formal/manual dan virtual. Format manual dengan cara memajang karya di galeri dengan mengadopsi protokol kesehatan yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Format pameran virtual dilaksanakan dalam bentuk tayangan digital melalui platform media sosial dan forum digital lainnya. Menyertai pameran, sebagai side event adalah acara webinar ataupun zoominar dan acara mensketsa bersama secara live yang melibatkan sketser maupun partisipan yang undangan atau yang mendaftar dari berbagai tempat masing-masing. Informasi lebih lengkap tentang acara Pameran Sketsa “Zig-Zag” M. Dwi Marianto dan Joseph Wiyono tertera di poster. Sambutan: 'Sketsa Tidak Pernah Memaksa'. Dalam pandangan seni rupa masa kini sketsa manual memang bukan jadi faktor krusial lagi dalam membentuk seseorang menjadi pelukis handal. Telah ada banyak alat bantu dan kemudahan teknologi sekarang yang dapat menggantikannya. Namun bagi yang meyakini pentingnya sketsa manual dalam perjalanan berkeseniannya, lakukanlah dengan nikmat dan tanpa keraguan sedikitpun. Karena disitulah akan tergambarkan dengan jujur tujuan berkesenianmu. Pameran sketsa dan drawing dua tokoh seniman yang juga staf pengajar ini menunjukkan kepada kita apa yang dimaksudkan dengan 'kenikmatan' dan 'melakukan tanpa keraguan' itu. Semoga kita dapat memetik pelajaran dan memperoleh hakekat darinya. Syahrizal Pahlevi, sketser . |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
June 2022
Categories |