teras
  • MIRACLE PRINTS
    • News >
      • PLEASURE-PASSION >
        • Ariswan Adhitama
        • M. Muhlis Lugis
        • Reno Megy Setiawan
        • Syahrizal Pahlevi
      • Archives >
        • Mini Residency >
          • Online Application
      • Home >
        • MEMBER of Miracle Prints >
          • Support
        • Gallery >
          • Merchandise
        • TERAS Management
        • TERAS PRINT DEALER
        • About
        • Links
        • Contact
  • Studio
    • Facilities
    • Editioning
    • Classes
    • History and Technique Printmaking
    • Articles on Printmaking from Art in Print
  • Printmaker Syahrizal Pahlevi
  • JIMB
  • Blog

miracle blog

wajah buku

5/26/2021

0 Comments

 
alim_bakhtiar_wajah_buku_catalog.pdf
File Size: 9986 kb
File Type: pdf
Download File

Picture
Menyambut pameran tunggal ilustrasi buku Alim Bakhtiar “Wajah Buku” di Miracle Prints, 3 – 17 Juni 2021

“Wajah Buku, Wajah Alim, Wajah Ilustrasi Kita”
Alim Bakhtiar, perupa-penyair  terkemuka Jogja memamerkan lebih dari 30 ilustrasi buku terseleksi yang dibuatnya sepanjang karirnya menekuni genre ilustrasi. Ranah berkaryanya sebenarnya mulai dari puisi, novel, lukisan, drawing, karikatur, seni grafis dan ilustrasi. Namun ia memiliki minat khusus terhadap seni ilustrasi.

Ada banyak perupa yang juga kerap membuat ilustrasi buku seperti pelukis Ipong Purnama Sidhi dan seniman grafis Ong Hari Wahyu yang memiliki karakter khas dalam ilustrasi-ilustrasinya. Dan nama Alim Bakhtiar mampu menempati ruang tersendiri. 

Ilustrasi Alim bergaya realis,kaya warna, detail, ornamentik Jawa yang kental. Contoh paling muthakhir adalah ilustrasi novel yang dikarangnya sendiri berjudul ‘Sriti Wani”. Ilustrasi-ilustrasinya dapat membuat nglangut penikmatnya berimajinasi kemana-mana melampaui cerita novel itu sendiri.

Secara kebetulan novel Sriti Wani baru saja mendapatkan hadiah utama dari sebuah platform novel kwikku yang cukup dikenal di kalangan pengarang. Kemenangan ini salah satu yang ikut melambungkan nama Alim Bakhtiar selaku perupa-pengarang yang layak diwaspadai. Ditambah sosoknya sendiri selama ini dikenal kritis dalam menyikapi masalah sosial dan perpolitikan di Indonesia. Lengkap sudah ia adalah salah satu seniman yang berbahaya.

Dalam pameran ini rata-rata adalah ilustrasi yang dibuat berdasarkan pesanan penerbit. 30 an karya asli yang bisa ia kumpulkan dipajang rapih dalam pigura kaca berbagai ukuran. Rata-rata berukuran A3, namun ada juga beberapa ukuran A2.

Alim juga memajang buku-buku yang memuat ilustrasinya tersebut. Kita jadi bisa membandingkan dan merasakan bagaimana karya aslinya dan karya ilustrasi yang sudah menjadi bagian buku yang sebelumnya melalui proses layout, cetak dan binding.

Mengamati satu persatu ilustrasi yang dipamerkan seakan tergambarkan bagaimana seni ilustrasi buku ini berjalan. Alim, sekalipun memiliki pengalaman panjang dengan dunianya tidak luput dari tarik menarik antara kepentingan ‘pengarang-penerbit dan ilustrator’ dalam mewujudkan sebuah ‘kolaborasi’.

Adakalanya dalam kolaborasi tersebut porsi sang ilustrator sangat besar sehingga ia mampu menggiring arah ilustrasi yang akan dibuatnya sekehendak hati dan perasaannya. Namun seringkali juga porsi sang ilustrator harus diperjuangkan kuat karena harus berbagi ketat dengan porsi penerbit (dan penulis) yang biasanya menuntut banyak. Disitulah, dalam tarik-menarik itulah ilustrasi-ilustrasi Alim lahir.

Demikian sekedar pengantar buat pameran menarik ini. Bagi mereka yang peduli dengan posisi seni ilustrasi pameran ini layak disimak.

Syahrizal Pahlevi
Miracle Prints

0 Comments

bahagia itu sederhana

4/28/2021

0 Comments

 
katalog_bahagia.pdf
File Size: 5850 kb
File Type: pdf
Download File

Picture

Kata Sambutan Miracle Prints

 
Menjelang Idul Fitri 1442 H ini Miracle Prints memamerkan karya-karya lukis, sketsa dan gambar Justina TS.
Seharusnya pameran ini diselenggarakan tahun lalu, pada tanggal dan bulan yang sama. Namun pandemi Covid 19 yang tengah ganas-ganasnya menunda pameran ini hingga setahun kemudian.
Justina TS adalah seorang perempuan perupa yang boleh dianggap tengah memunculkan kembali dirinya setelah sejak lama vakum.
Perupa didikan Seni Lukis ISI Yogyakarta angkatan tahun 1994 ini seangkatan dengan perupa Heri Purwanto, Zulfahendra, I Made Mustika dan I Wayan Sudarna Putra yang namanya telah familiar di mata publik seni rupa selama ini.
Terakhir kami ingin mengucapkan selamat ulang tahun untuk Justina yang lahir tanggal 10 Mei bertepatan dengan tanggal pembukaan pameran ini. Semoga pamerannya berjalan lancar.
 
Yogyakarta, 2 Mei 2021
 Ria Novitri

*******
Artist Statement
 
Bahagia tak perlu dicari
Bahagia kita sendiri yang menciptakan
Karena bahagia itu tentang rasa
Rasa yang tumbuh ketika melihat orang lain bahagia salah satunya
Bahagia terkadang tumbuh juga dari hal-hal yang sepele
 
Pada pameran kali ini, mencoba menorehkan rasa bahagiaku sendiri
Kadang terselip diantara tangis dukalara, rasa prihatin/empati dengan keadaan orang lain
Terselip juga pesan moral
Ya, bahagiaku sederhana saja, kuabadikan lewat karya
Semoga menjadi KEbahagiaAN tuk semua.  SESEDERHANA ITU.
 
 
Justina TS

*******

Seni Menghayati Bahagia
Oleh Syahrizal Pahlevi
 
Tulisan pengantar pameran tunggal Justina TS di Miracle Prints.
Nama Justina TS cukup jarang saya dengar dalam pameran-pameran seni rupa khususnya di Yogyakarta. Melihat lukisannyapun belum. Namun sekitar 1 tahun belakangan nama tersebut mulai terdengar muncul dalam beberapa pameran bersama. Tetapi saya belum berkesempatan melihat karyanya.
Memang medan seni rupa Yogyakarta begitu aktif dan keras. Nama-nama perupa baru bermunculan menggilas nama-nama perupa lama yang tidak atau kurang aktif. Salahkah perupa-perupa lama yang tidak aktif tersebut? Sementara nama-nama barupun bukan jaminan akan selalu diingat dan diperhatikan oleh publik seni rupa. Jika mereka tidak mampu menjaga kontinyuitas berkarya dan berpameran maka umur berkeseniannya akan pendek saja.
Kemunculan (kembali) Justina TS tentu perlu disambut dengan suka cita. Bagi teman-temannya atau mereka yang pernah mengetahui aktifitas berkarya dan berpameran Justina di masa lalu ini adalah kemunculan kembali. Namun bagi generasi sekarang yang sama sekali tidak pernah mengenal aktifitas Justina maka ini adalah momen kemunculan seorang perempuan perupa.
********
Mengusung judul “Bahagia Itu Sederhana” melalui sekitar 15 lukisan cat akrilik di kanvas, beberapa sketsa  dan gambar di kertas, Justina seakan ingin mengajak pemirsa melakukan monolog terhadap diri masing-masing, termasuk monolog untuk dirinya sendiri. Apakah bahagia itu? Sudah bahagiakah kita? Bagaimana mencapai bahagia itu? Dan kemudian disimpulkan olehnya sendiri dengan sebuah ungkapan: “Bahagia Itu Sederhana”.
Sesederhana itu?
Tentu Justina tidak serta merta menemukan ungkapan tersebut yang kemudian ia mantapkan menjadi judul pameran tunggal perdananya di Miracle Prints saat ini. Ada rentetan panjang situasi personal  yang dihayatinya dan nampaknya kuat berkontribusi atas pemilihan judul pameran di atas.
Justina lahir di Surabaya 10 Mei 1970. Sejak kecil ia sudah ditinggalkan sosok ayah dan hanya dirawat oleh ibunya seorang diri. Umur 7 tahun memasuki usia SD ia pindah ke Ngadiwinatan, Yogyakarta dititipkan ibunya tinggal di rumah eyangnya. Setidaknya sepuluh tahun ia tinggal bersama eyang dan lingkungan yang ketat menerapkan aturan bergaul dan bertingkah laku ala kalangan ningrat.
Menjalani kehidupan di lingkungan yang ketat, jiwa merdeka Justina terusik. Setumpuk unggah-ungguh, tata cara berpakaian, berucap dan sebagainya yang diterapkan oleh eyangnya dirasanya sebagai belenggu. Ia berusaha mengikutinya sebisanya. Namun tak jarang ia dianggap suka membangkang karena  tidak mengikuti aturan dengan tertib seperti melenceng dalam cara berpakaian dan dalam bertingkah laku.
Sejak kecil Justina sudah suka melukis. Karena tidak banyak memiliki mainan seperti boneka atau alat masak-masakan, ia menciptakan permainan sendiri dengan membuat gambar-gambar menggunakan pensil jahit ‘merah-biru’ milik ibunya. Kesukaannya menggambar bebek dan koboi lengkap dengan pistolnya.
Semasa tinggal bersama eyangnya di Yogyakarta ia kerap mengikuti lomba melukis dan mendapatkan kejuaraan mulai tingkat lokal, nasional hingga internasional. Diantaranya ia beberapa kali menjuarai lomba lukis anak Kyoto Jepang yang bergengsi tersebut.Masa tinggal bersama eyangnya ini ia lewati hingga menempuh pendidikan di SMSR Yogyakarta.
Lalu selepas SMSR ia menikah muda dan pindah ke Jakarta bersama suami di tahun 1990.
Kemudian anak pertamanya lahir. Praktis hari-harinya disibukkan dengan tugas ibu rumah tangga yang harus mengurus suami dan mendidik anaknya.
Sementara jiwa melukisnya yang dibawa sejak kecil tetap membara menuntut untuk diberi ruang. Namun kesibukan selaku ibu muda dengan anak ternyata sangat menyita hari-harinya.  Antara keinginan dan kenyataan yang harus dihadapi ternyata tidak berjalan mudah dimatanya. Karena sulit membagi waktu, Ia harus menunda keinginannya tersebut untuk waktu yang cukup lama.
Baru di tahun 1994 ia memutuskan mendaftar di ISI Yogyakarta dan diterima sebagai mahasiswa jurusan seni murni program studi seni lukis. Tahun itu juga ia resmi pindah ke Yogyakarta sementara suaminya tetap di Jakarta.
Sebetulnya keputusannya berkuliah di ISI dimaksudkannya sebagai ‘pelarian’ dari rutinitas kesehariannya mengurus anak dan suami yang begitu membelengu kesibukannya. Ia membutuhkan kesibukan yang lain yang dapat memberi suasana baru, dan pilihannya masuk ke suasana akademis di seni rupa yang juga menjadi hobinya sejak kecil. Ia berharap dengan kesibukan barunya sebagai mahasiswa seni lukis kehidupannya menjadi bervariasi dan berwarna.
Namun setelah beberapa tahun menjalani kuliah, ia merasa harapannya kurang terpenuhi. Ia merasa pengajaran di kampus tidak sebagaimana ia bayangkan sebelumnya. Perkuliahan dijalaninya tidak terlalu bersemangat walaupun secara akademik ia tidak mengalami kesulitan mengikuti setiap mata kuliah. Menurutnya ia justru merasa banyak menimba ilmu lewat pegaulannya dengan kakak kelas dan para seniman yang telah meninggalkan kampus yang sarat pengalaman dan praktek lapangan. Dua nama dicatatnya: Eddie Hara dan Klowor Waldiono. Khusus nama yang terakhir  terasa sangat spesial buatnya karena tak lelah menyemangatinya agar terus berkarya dan berproses.
Cukup lama ia menyelesaikan studi di ISI. Bertepatan anak kedua dan ketiganya lahir sehingga ia harus mengambil cuti dan menunda skripsinya yang separuh jalan. Namun pihak kampus memotivasinya agar menyelesaikan kuliahnya mengingat capaian akademiknya dianggap baik. Sebagai informasi, tahun-tahun tersebut pihak kampus ISI Yogyakarta gencar memanggil para mahasiswanya yang cuti  untuk menyelesaikan studinya. Baru di tahun 2004 ia berhasil menyandang gelar sarjana S1 seni lukis.  
Perjalanan hidup Justina berlanjut. Untuk mengamalkan ilmunya dan membantu memenuhi kebutuhan keluarga, selepas dari ISI atau tepatnya mulai 2003  ia menjadi pengajar  melukis di beberapa sekolah dan les privat di Yogyakarta yang berlangsung cukup lama hingga 2014. Kesibukannya memang bertambah, tapi ia tetap tidak mampu membagi waktu melukis untuk dirinya sendiri. Hari-harinya berkubang dalam rutinitas mengajar dan mengurus rumah tangga.
*******
Momentum. Momentum menjadi hal penting buat seorang Justina. Ia tidak ingin kehilangan momentum dan berusaha menandai setiap momentum yang dialaminya. Baginya momentum-momentum yang berhasil ditandainya adalah ruang katarsis dirinya sambil menimang-nimang masa lalu sebagai persiapan dalam melangkah ke depan.
Justina gemar berada di keramaian. Ia mempunyai kebiasaan mengunjungi pasar tradisional yang menjadi tempat pavoritnya keluar dari rutinitas kesehariannya. Saking kerapnya, kegiatan mengunjungi pasar menjadi semacam ritual buatnya.  Tidak lengkap hari-harinya jika tidak berkunjung ke pasar.
Dalam satu hari ia mengaku bisa bersafari ke beberapa pasar tradisional yang ada di Yogyakarta sekaligus. Tidak selalu bertujuan membeli barang. Sering ia hanya ingin menenggelamkan dirinya di keramaian pasar sembari mengamati tingkah polah manusia disana. Termasuk juga berbincang dengan para penjual, buruh gendong, penarik becak, tukang parkir dan pembeli adalah agendanya di pasar.
Selain berbincang atau sekedar menyapa, di pasar ia kerap membuat sketsa atau gambar apa saja yang menarik baginya di atas kertas sembarang yang ia temukan. Bisa kertas pembungkus barang/makanan, kertas nota pembelian dan kertas apa saja.  Namun ia tak hendak menyimpan  apalagi menjadikannya dokumentasi. Karena baginya  tangkapan-tangkapan visual berupa sketsa atau gambar-gambar tersebut tidak lain sebagai upaya dirinya dalam memahami situasi. Setelah dirasanya cukup dinikmati gambar-gambar tersebut kemudian kerap dibuang atau dimusnahkannya. Hanya sedikit yang ia sisakan dan disimpan.
Justina berpandangan, dengan memperhatikan orang-orang yang begitu beragam di pasar, ia dapat membandingkan persoalan dirinya sendiri dengan persoalan orang lain dan belajar menyikapinya agar bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Memang demikianlah adanya, Dengan membuka mata terhadap permasalahan orang lain, kita akan mendapatkan pembanding. Jika sebelumnya kita merasa bahwa persoalan hidup kitalah yang terberat, bisa jadi setelah mengetahui persoalan orang lain kita mendapati betapa sebenarnya kita masih dipihak yang beruntung. Bisa jadi persoalan hidup kita bukan apa-apa.  
Pameran tunggal ini seharusnya dilaksanakan tanggal 10 Mei 2020 yang lalu tepat dimana ia berulang tahun ke 50. Namun mengingat pada saat itu pandemi Covid 19 tengah panas-panasnya dan banyak aktifitas pameran ditangguhkan, Justina menunda pamerannya.
Momentum 50 tahun (saat ini ia berusia 51 tahun) dirasanya sebagai momen penting. Pada usia inilah ia memutuskan mewujudkan kegemaran masa kanak-kanaknya, yaitu melukis secara lebih intens. Ia berharap kedepannya dapat lebih aktif lagi dalam berkarya dan berpameran. Pameran tunggal pertama ini baginya sebagai titik awal untuk ambil bagian dalam seni lukis Yogyakarta serta mengobati kerinduannya berkarya.
******
Bahagia Itu Sederhana. ‘Bahagia’, sekalipun sama-sama urusan perasaan hati, ia berbeda dengan ‘senang’ atau ‘gembira’. Jika gembira biasanya hanya berlangsung pendek dan senang lebih sedikit panjang umurnya di atas bahagia, maka bahagia umumnya berlangsung panjang atau lebih lama lagi.
Rasa gembira biasanya berlangsung sesaat karena setelahnya orang bisa marah atau bersedih dengan cepat. Seperti seseorang yang gembira karena baru saja mendapatkan undian berhadiah dari sebuah produk makanan, namun sesaat kemudian ia bersedih karena ternyata hadiah yang dijanjikan ternyata bohong. Rupanya undian tersebut hanya akal-akalan produsen makanan tersebut agar produknya laku keras.
Perasaan senang sedikit berada di atas gembira. Seseorang yang merasa senang karena baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan yang diinginkannya. Ia senang karena sudah terpikir akan hari-harinya kemudian dan terbayang akan besaran gajinya nanti. Perasaan senang ini bisa berlangsung cukup lama sampai tiba saat bekerja ternyata hari-harinya cukup meletihkan. Belum lagi waktunya habis dengan kemacetan di jalan yang kian hari semakin padat saja. Rasa senangnyapun berkurang atau justru menghilang.
Berbeda dengan bahagia. Bahagia biasanya mengacu pada perasaan positif yang berlangsung cukup lama, bisa berhari-hari, berminggu-minggu, bulanan hingga tahunan. Dalam bahagia bukan tidak ada saat-saat sedih atau kecewa, namun ia akan mampu mengatasinya dan percaya bahwa kebahagiaannya akan tetap dapat dipertahankannya.
Ambil contoh misalnya, orang yang bahagia dengan pekerjaan barunya yang  dirasakannya sudah sesuai dengan apa yang menjadi minatnya sejak remaja. Walaupun ketika menjalani ia sering kelelahan harus lembur dan berjibaku dengan kemacetan lalu lintas setiap hari,  tetap tidak menghilangkan kebahagiaannya. Atau seseorang yang bahagia dengan perkawinannya dan kehadiran anak-anaknya.  Sekalipun  sering ada percekcokan dengan pasangannya dan rasa jengkel terhadap sikap anak-anaknya perasaan bahagia tidak dapat diabaikannya.
Sementara Aristoteles membagi bahagia dalam 2 hal: 1. Hedonia, yaitu rasa bahagia yang berakar dari hal menyenangkan. Umumnya berkaitan dengan perasaan yang muncul saat melakukan hal disukai, menyayangi diri sendiri, mewujudkan impian dan merasa puas. 2. Eudaimonia. Berakar dari tentang pencarian makna hidup. Komponen penting dalam hal ini adalah perasaan memiliki tujuan hidup dan nilai. Kaitannya sangat erat dengan pemenuhan tanggung jawab, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain dan menjalani hidup sesuai idealisme.
Karya-karya lukis dan drawing Justina yang dipamerkan dalam kesempatan ini secara umum memang nampak berusaha menampilkan dunia bahagia baik bahagia yang berakar dari  hal menyenangkan hingga bahagia yang berakar dari pencarian makna hidup.
Boleh dikatakan lukisan dan drawing dalam pameran tunggal ini adalah semacam motivasi personal  yang ia yakini dan berdasarkan penghayatan atas kehidupannya sendiri. Setidaknya dapat ditelisik dari pemilihan warna yang cenderung cerah; kuning muda,  hijau, biru  dan warna kulit manusia yang cerah. Wajah tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam keadaan tersenyum (atau berusaha tersenyum?). Dan adegan penggambaran tokoh-tokohnya dalam berbagai aktifitas sosial yang sering ditemui di masyarakat.
Lukisan berjudul “Akrobat”, cat akrilik di atas kanvas, 40x30 cm, 2021 secara gamblang menyiratkan itu. Lukisan berobjekkan seorang badut sirkus tengah bermain juggling  berbagai benda ditangannya dari atas sepeda roda satu. Ada buku, kuas lukis, telenan untuk memasak, kaca hias, tas tangan perempuan dan botol susu bayi. Diatas kepalanya masih ada cangkir  minuman dan tatakannya.  Dan badut itu? Ia nampak tersenyum riang. Bukankah demikian tugas seorang badut?
Menurut Justina, badut itu adalah personifikasi dirinya. Badut, bagaimanapun kondisi hatinya, ia harus tetap menghibur, menunjukkan kegembiraan dan keterampilan dalam memainkan atraksi di hadapan penonton. Justina mengatakan: “Peran ibu dalam keluarga seperti badut sirkus. Susah senang harus terlihat ceria. Tertutup oleh polesan make up yang selalu terlihat tertawa ceria menghibur orang lain yang berarti menghibur diri sendiri juga”. Badut atau dirinya sendiri dalam lukisan tersebut harus tetap terlihat ceria dan cekatan dalam mengerjakan tugas sebagai istri dan ibu anak-anak, menjalankan kodrat sebagai perempuan kebanyakan dan mengambil hak sebagai individu mandiri (diwakili oleh benda-benda yang dimainkan oleh badut).
 
Dalam “Perkasa”, akrilik di atas kanvas, 50x50 cm, 2020 Justina berpendapat bahwa perempuan haruslah sosok yang perkasa, tangguh mengarungi samudra  kehidupan (karena tugas-tugas rumah tangganya?) dan tetap bahagia menjalaninya. Ia melukiskan dua orang perempuan tengah berjuang mendayung  perahu  ditengah gemuruh ombak dan ikan-ikan yang berloncatan. Wajah perempuan tersebut nampak gembira, menepiskan segala ketakutan, keletihan dan keraguannya.
 
Yang cukup lucu adalah “Ada Apa Dengan Cinta”, akrilik di atas kanvas, 35x25,4 cm, 2020. Lukisan berlatar kuning tersebut menggambarkan sebuah keluarga; ibu, ayah dan anak. Sang ibu sangat besar dan gemuk sementara sang ayah terlihat kecil dan kurus.Anak perempuannya diantara keduanya. Keluarga tersebut nampak saling menyayangi.  Cinta memang bukan masalah fisik belaka. Ada misteri yang tak terlihat dan hanya yang menjalaninya yang tahu.
 
Menurut Justina memelihara binatang kucing akan membangkitkan semangat hidup, karena kucing binatang tangguh yang akan terus bangkit setiap mengalami jatuh. Ia melukiskan sosok seorang perempuan yang suka cita memelihara kucing-kucingnya yang banyak. Sepertinya sang perempuan sangat menikmati kegiatannya.  “Joanna dan Kucing Kesayangan”, akrilik di atas kanvas, 40x40 cm, 2021.
Nyaman itu tanda bahagia.  Terlihat seorang anak perempuan tengah tertidur sambil memeluk kucing kesayangannya. Anak tersebut terlihat begitu nyaman, begitu juga kucingnya yang nampak tenang dipelukan tuannya. Memang kita sering menyaksikan betapa anak-anak nampak begitu nyaman dan bahagia dengan binatang piaraannya sehingga kerap dibawa tidur bersama. “Lelap”, akrilik di atas kanvas, 30x30 cm, 2021.
Sementara lukisan yang tampaknya merespon pandemi Covid 19. “Brokat Masker”, akrilik di atas kanvas, 50x50 cm, 2020. Tampak seorang perempuan bergaya mengenakan “masker fashion” terbuat dari kain brokat yang berenda tembus pandang. Sementara di belakangnya sederetan perempuan paramedis berbaju APD tertutup mengenakan masker medis. Fashion kadang mengalahkan logika kesehatan yang seharusnya diutamakan dalam menghadapi pandemi ini.
Melihat caranya melukis nampak ia tidak ada kesulitan sama sekali. Garis-garisnya luwes, lancar. Deformasi bentuk kekanakan dan warna cukup terolah. Penempatan figur-figurnya enak saja. Terlihat ilmu seni lukis yang pernah didapatnya di masa kuliah terterapkan.
Kedepan, finalis Philip Morris Indonesia Art Award tahun 1997 ini hanya perlu konsisten dan jangan sampai putus melukis. Melukis apa saja tidak perlu ada keraguan. Melukis apa yang disukai, apa saja yang dirasakan dan ingin diungkapkan.
Jika ada yang perlu dikritisi dalam pameran ini barangkali penggambaran beberapa figur yang gemuk, makmur nampak stereotif  terpengaruh karya beberapa seniman lain yang kerap menggarap figur serupa, sebut saja contoh Arifien Nief dan Wahyu Gunawan dalam lukisan-lukisan awalnya. Mengapa simbol bahagia/makmur mesti identik dengan tubuh gemuk? Justina perlu lebih percaya diri dengan penggambaran bentuk figur yang fundamental miliknya.
Untuk melengkapi apa yang telah ditampilkan oleh Justina melalui karya-karyanya dalam pameran ini, perlu saya kutip beberapa kata bijak “Bahagia Itu Sederhana” yang banyak bertebaran di sekitar kita. Tidak perlu dipikirkan terlalu dalam. Cukup dinikmati dan diresapi saja:
“Bahagia itu…..sederhana. Tersenyumlah dan selalu bersyukur”.
“Bahagia itu mudah. Berpikirlah dan bertindaklah dengan sederhana”.
“Bahagia itu sederhana, sesederhana melihat orang yang kita sayangi bahagia”.
“Bukan kemewahan yang akan membuatmu bahagia. Tapi kesederhanaan yang akan membuatmu tampak istimewa”.
“Bahagia itu sederhana, bersyukur dengan apa yang kita miliki bukan dengan apa yang dimiliki orang lain”.
”Bahagia itu sederhana, hanya saja standar kebahagiaan kita yang terlalu tinggi makanya sulit bahagia”.
Bahagia itu sangat sederhana, selalu menghargai apa yang telah diraih walau sekecil apapun”.
 
Suryodiningratan, akhir April 2021
 
*****
TESTIMONI:

Bagi saya, pameran tunggal sahabat saya ini sangat surprise. Setelah sekian belas tahun tak terdengar aktivitas dalam pameran-pameran.
Bahkan saya sempat bertanya-tanya sendiri kemanakah gerangan Justina selama ini, ada apakah dengan kehidupan dan sekeliling Justina?
Dan hari ini terjawab sudah, tiba-tiba dia muncul lagi dengan penyegaran baru. Ya Justina telah kembali lagi kedunianya.
Karya-karya Justina ini seketika mengingatkan saya ke masa lampau saat kami masih berstatus mahasiswi ISI Yogyakarta, Jurusan Seni Rupa Murni, dimana seorang Justina memiliki semangat besar untuk membuat karya.
Melukis adalah salah satu kebahagiaan sejatinya.
Laksmi Sitaresmi

Justina Tri Sudjatmi, saya memanggilnya Mbak Yus. Salah satu dari lima perempuan yang waktu itu satu angkatan, jurusan seni murni, Seni Lukis ISI Yogyakarta.
Kami masuk ditahun 1994 bersama dengan 25 kawan seminat utama yaitu seni lukis.
Terakhir saya lihat karya Mbak Yus kisaran tahun 2000 pada pameran angkatan “PERTEMUAN 94” di Taman Budaya-Bulak Sumur Yogyakarta. Lama sudah saya tidak melihat karya-karyanya, sudah sekitar 20 tahun Saat ini Mbak Yus kembali berkarya dengan spirit baru.
Selamat berkarya, selamat berpameran, dan sukses selalu
Heri Purwanto

Kreativitas Justina
Catatan nama ini tidak begitu asing diingatanku “Justina,” seolah memoriku dibuka kembali diantara 1987-1989, dengan aktifitas kegiatan sketsa yang begitu kental dimalam hari.
Perempuan sendiri diantara teman-temannya yang kebanyakan laki-laki di SMSR, merupakan adik kelasku di SMSR.
Dua tahun selalu aktif berkegiatan sketsa dimalam hari, karena siangnya kita harus masuk sekolah.
Ada juga waktu yang cukup lama setelah kelulusanku dari SMSR dan Justina masihkah melanjutkan kegiatan sketsanya? Karena kesibukan tugas masing-masing kami jarang bertemu.
Talenta melukisnya tidak diragukan lagi, dengan prestasi kejuaraan lomba melukis yang sudah dicapainya.
Justina seangkatan dengan Erica dimasanya. Karya demi karya diciptakan dengan keriangan warna dan obyek-obyek keseharian yang biasa dilakoninya. Di SMSR selama 4 tahun, cukup tegas dan lantang untuk menentukan sebuah obyek dan permainan linier di lukisan dekoratifnya.
Perjalanan berlanjut saat masuk ISI Prodi Seni Lukis tahun 1994. Penggemblengan selama studi, karya Justina semakin terasah, intuisi terlatih, mengolah obyek, garis, bentuk, warna, dan teknik apapun.
Dipenghujung pameran Mei 2021 ini, terlihat jelas peningkatan dalam karyanya, ini berkat ketekunan dan daya juangnya untuk berkarya dengan sungguh-sungguh.
Sukses untuk sebuah prosesmu Justina..…hingga tercapainya pameran tunggalmu di Miracle Art Space.
Semangat tentunya! Ini sebuah awal melangkah untuk menuju agenda berkesenian dengan waktu yang panjang.
Yogyakarta, 27 April 2021
Klowor W


Picture
Liputan di harian Disway, 3 Juni 2021
Picture
Picture
0 Comments

Kecil Itu Indah Miracle #4 “VAKSIN”

3/30/2021

0 Comments

 
Picture
Kecil Itu Indah Miracle #4
 “VAKSIN”
1 – 30 April 2021
Tempat:
MIRACLE PRINTS
Suryodiningratan MJ. II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
www.terasprintstudio.com
 
LIVE STREAMING 1 April 2021, pukul 16.00 melalui IG: miracle.prints dan Fb: Miracle Art’s
 
Kontak admin: 081539816190
Jam buka pameran: Senin – Sabtu, pukul 11.00 – 16.00
******
 





KECIL ITU INDAH-Miracle #4
‘VAKSIN’        
Kecil Itu Indah  menjadi even tahunan Miracle Prints sejak tahun 2017. Pada 2017 dan 2018 menggunakan judul ‘Kecil Itu Indah After Edwin’s #1 dan #2’. Sejak 2019 mulai menggunakan judul ‘Kecil Itu Indah – Miracle’. Tiga pameran tersebut diselenggarakan tanpa tema.
‘Kecil Itu Indah-Miracle’ tahun lalu tidak dapat terselenggara dikarenakan pandemi Covid-19. Tahun ini even tersebut  diadakan lagi dan mengusung tema khusus: “VAKSIN”.
***
Sampai saat ini pandemi Covid-19  belum juga selesai. Belum ada juga tanda-tanda akan selesai. Banyak orang mulai stres. Karena sulit beradaptasi dengan keadaan yang berubah. Keadaan yang tidak mereka perkirakan sebelumnya.
Sebagian yang dapat beradaptasi, berdamai dengan situasi pandemi. Mereka menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan yang positif dan produktif. Termasuk disini mereka yang justru mengambill keuntungan dari kondisi ini. Bersukaria diatas kesusahan orang lain.
Di Indonesia pandemi ini sudah hampir setahun berjalan. Terhitung sejak pemerintah mengumumkan penemuan kasus Covid 19 pertama di bulan Maret 2020. Namun di berbagai negara pandemi Covid 19 sudah mereka jalani lebih dari setahun.
Ada negara yang menganggap situasinya sudah mulai dapat dikendalikan. Namun banyak negara juga masih berjuang keras mengendalikan penyebaran kasus yang terus saja bertambah. Belum lagi katanya muncul varian baru yang lebih ganas dan sulit diprediksi.
Simpang siur informasi ini semakin membuat tidak ada jaminan bahwa keadaan akan segera pulih sebagaimana sebelum pandemi. Juga tidak ada jaminan manusia akan dapat bertahan dengan kondisi tak menentu ini. Artinya mereka yang stres dan tidak dapat beradaptasi akan terus bertambah kedepannya.
Namun kita jangan pesimis. Biarkan pemerintah bekerja dan menunjukkan kinerjanya sesuai mandat. Kita warganegara wajib menjaga semangat masing-masing, membangun optimisme kehidupan kedepan yang lebih baik. Sekalipun itu bukan hal mudah semudah menyusun   kata-kata.
***
Tahun 2021 ini isu yang bergulir adalah vaksin. Beberapa negara telah mulai melakukan vaksin ke warganya. Termasuk Indonesia yang telah mulai memvaksin warganya sejak awal Februari 2021 lalu.
Para ahli berlomba membuat vaksin yang manjur dari yang termanjur. Persoalan apakah vaksin kemudian menjadi modus dagang dan politik itu adalah soal lain.
Vaksin adalah harapan untuk mengatasi pandemi. Semua mata tertuju pada kemukjizatan vaksin ini. Seakan setelah nantinya sebagian besar manusia telah divaksin lalu persoalan selesai. Betulkah?
Pameran Kecil Itu Indah #4 ini mengambil tema VAKSIN untuk menyikapi situasi terkini. Para seniman yang dijaring lewat undangan terbuka dibebaskan membuat karya media apapun merespons kata ajimat tersebut tanpa tekanan sedikitpun. Termasuk yang akhirnya tidak bersetuju terhadap adanya tema.
Hasilnya menjadi bermacam-macam. Ada yang  melakukan respons terhadap tema secara langsung dan ada yang merespons secara tak langsung. Ada pula yang tidak berada di keduanya.
Yang merespons secara langsung mungkin melihat ada persoalan yang urgen dan hendak dikatakan terkait tema tersebut.
Yang merespon secara tak langsung bisa jadi seperti pepatah “sambil menyelam minum air”. Artinya karya-karya mereka sembari membincangkan tema  juga  berkehendak merambah hal-hal lain diluar tema yang dirasa oleh senimannya dapat dikaitkan. Ada yang masih terang benderang penggambarannya dan ada juga yang cukup samar.
Namun dalam pameran ini ada juga karya-karya yang jika didekati seksama tidak nampak sama sekali keterkaitan dengan tema. Pameran ini memang juga membuka peluang hadirnya karya-karya yang justru berjarak jika dihadapkan dengan tema.
Inilah keseimbangan.
Sekalipun beragamnya visual dan sikap yang ditampilkan peserta pameran, yang perlu dicatat adalah bagaimana karya-karya yang dibuat tetap memiliki konteks yang melatar belakanginya. Seni bukan sekedar persoalan garis, bidang, bentuk, warna yang melulu bertujuan memuaskan mata penikmat.
Secara media sebagaimana diprediksi lukisan di atas kanvas tetap menjadi primadona perupa dalam berkarya. Ini hal lumrah dan terjadi dimana-mana. Namun demikian pameran cukup ada variasi karena banyak juga yang berkarya dengan bahan kertas dengan media cat air dan lainnya. Ada juga seni sulam, beberapa seni cetak grafis dan objek tiga dimensi.
Pameran diikuti tidak hanya oleh para seniman profesional, tetapi juga mahasiswa seni dan para otodidak. Selain didominasi berlatar belakang pendidikan seni rupa mulai D3, S1, S2 sampai S3, ada  juga yang berlatar belakang sarjana farmasi, akademi kesehatan, anak SMA dan yang masih berstatus siswa sekolah dasar. Persoalan VAKSIN memang tidak hanya menjadi domain orang dewasa tapi juga perlu sampai ke para remaja termasuk anak walaupun usia mereka belum termasuk sasaran divaksin.
Akhirnya kami juga berharap even Kecil Itu Indah-Miracle #4 ‘VAKSIN” ini menjadi ajang para seniman menjaga daya kreasi dan daya hidup untuk tetap sehat dan optimis menghadapi situasi ke depan yang masih menjadi tanda tanya ini.
Selamat menikmati pameran.
Syahrizal Pahlevi
Miracle Prints
 
 
********
Catatan:
  • Peserta pameran adalah seniman undangan dan seniman yang diseleksi melalui pendaftaran terbuka.
  • Seleksi pendaftaran terbuka diperuntukkan bagi peserta mulai usia 12 tahun keatas. Dibagi dalam dua kategori: Kategori usia 12 – 18 tahun dan kategori usia 18 tahun keatas. Alasannya: Walaupun prioritas vaksin Covid 19 diinformasikan untuk usia 18 tahun keatas, namun usia dibawahnya adalah penyaksi. Merekapun berhak beropini tentang sesuatu hal yang akan berimplikasi terhadap kehidupan mereka kelak.
  • Adalah kebetulan sebagian seniman (mungkin beberapa termasuk dalam pameran ini) telah menerima suntikan vaksin beberapa waktu lalu. Ini hanya kebetulan karena tema pameran ini telah ditawarkan ke perupa sejak dua bulan lalu.
 
Peserta pameran:
  1. Agung ‘Tato’ Suryanto
  2. Agus Syahri
  3. Alie Gopal
  4. Ananta O’Edan
  5. Andre Marsyandi
  6. Angga Sukma Permana
  7. Anggi Panca
  8. Anond Anindito
  9. Arus Siang
  10. Catur Agung Nugroho
  11. Desy Gitary
  12. Didung Putra Pamungkas
  13. Dwi Nambi Wibowo
  14. Edi Maesar
  15. Edo Pop
  16. Faisal Hamidy
  17. Farhan Siki
  18. Fikri Habibi
  19. Gabrielle Maria Anna
  20. Gita Putipatria
  21. Gusmen Heriadi
  22. Hafizh Aulia Hanani
  23. Hardiana
  24. Harind Arvati
  25. Heri Purwanto
  26. Irawan Hadi
  27. Johnny Gustaaf
  28. Kasih Hartono
  29. Kemala Hayati
  30. Koh Handra
  31. Laila Tifah
  32. Meuz Prast
  33. Moh. Muhaimin
  34. Monica Cindy
  35. Nahum Suwarsita
  36. Nur Aziz
  37. Oky Tisna
  38. Reno Megy Setiawan
  39. Ridi Mardianto
  40. Rizal Misilu
  41. Rizal Pahlevi Wibowo
  42. Sigit Handari
  43. Syam Terrajana
  44. Taufikur Rohman
  45. Tiang Senja
  46. Tina Wahyuningsih
  47. Tini Jameen
  48. Tri Prabandani
  49. Untung Widi
  50. William Robert
  51. Windi Delta
  52. Watie Respati
  53. Wira Liandy
  54. Yaksa Agus
 
“VAKSIN” di mata perupa:
 
Narasi vaksin adalah memasukkan zat asing ke dalam tubuh, dimana zat tersebut merasuki tubuh melalui jaringan dan berpadu dengan daya tahan tubuh untuk mengenali zat asing lainnya yang tidak diinginkan. Agung ‘Tato’ Suryanto, Pasca Sarjana ISI Yogyakarta, “Jaringan”, water color on paper, 22x21 cm, 2021
 
*****
 
Hidup merupakan sebuah rangkaian misteri yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan satu pemahaman. Ada pepatah mengatakan “Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift, that is why it’s called a present”. Manusia terkadang terlalu sibuk memikirkan apa yang telah terjadi dimasa lalu, mempelajari masa lalu dengan sangat serius. Disatu sisi juga sangat memikirkan masa depan yang entah masih ada atau tidak, karena tidak seorangpun tahu akan apa yang terjadi esok. Dua hal yang selalu menimbulkan banyak tanda tanya dalam hidup manusia. Membuat manusia mencoba mempelajari segala hal yang ada baik di dunia ini maupun di luar sana. Namun manusia melupakan arti hari ini, hari ini sebuah hadiah dan karena itu disebut present. Apa yang diperoleh hari ini biarlah itu dinikmati sebagai sebuah pemberian. Angga Sukma Permana, S2 ISI Yogyakarta, “---“. Acrylic on canvas, 15x20 cm, 2021
*****
 
Vaksinasi untuk melindungi dari virus Covid19,bagi segelintir orang sepertinya sangat merepotkan.Karya ini dibuat karena rasa penasaran saya dan imajinasi usil dan kenakalan saya terhadap wanita pemakai Burqa yg harus ada di tempat umum utk menerima suntikan vaksin,walaupun realitanya mungkin tidak seperti itu karena ini hanyalah gambar humor. Anon Anindito, S1 ISI Yogyakarta, “Untitled”, water color on paper, 21, 29,7 cm, 2021
*****
 
Simpang siur isu tentang Vaksin Covid-19 yang kemudian menimbulkan opini yang beraneka ragam di tengah masyarakat membuat saya pribadi menjadi kebingungan untuk memilih untuk ikut Vaksin atau tidak. Didung Putra Pamungkas, S2, “Lamunan Isu”, mixed media on canvas, 30x30 cm, 2021
*****
 
Gagasan karya ini didasari antara keraguan dan harapan tentang hasil vaksin untuk mengatasi wabah Covid19. Edo Pop, S1 ISI Yogyakarta, “Pasca Vaksin”, acrylic on canvas, 30x30 cm, 2021
*****
 
Energy baru judul yang saya ambil dari tema Vaksin ini,  Apel hijau yang menyimbolkan sesuatu yang baru dan fresh, setelah beberapa bulan terahkir corona mulai mencampuri urusan individu dan kelompok, vaksin yang menjadi pro dan kontra masyarakat. yang mau tidak mau harus diikuti demi mengembalikan kelangsungan dan kesejahteraan masyarakat . dimana waktu tidak hanya berhenti pada titik tertentu, waktu terus berjalan dan kita harus bisa menerima evolusi yang ada.
Dan background kaktus di belakang mengharapkan setelah menerimanya vaksin ini masyarakat menjadi semakin kuat menghadapi kondisi virus di segala musim karena itu sifat kaktus yang kuat. Gabrielle Maria Anna, ISI Yogyakarta, “Energi Baru, acrylic on canvas, 15x20 cm, 2021
*****
 
Saya pikir kehadiran vaksin dapat meringankan kerja malaikat kematian yang selama setahun ini sudah bekerja keras dengan melihat banyak nya korban meninggal akibat covid-19. 
Vaksin hadir sebagai upaya memberikan waktu luang agar malaikat kematian bisa punya waktu untuk istirahat sejenak di sela sela pekerjaan nya. Gita Putipratia, S1 Farmasi, “Tidur Siang Kematian”, pen marker on paper, 30x30 cm, 2021
 
*****
 
Dalam karya ini saya membidik kegiatan di lingkungan sekitar dengan melukiskan keseharian sebagian kecil masyarakat selama berada di rumah untuk menambah imunya salah satunya dengan riang menghias rumah bertanam hias ,hal ini diharapkan menjadi solusi "VAKSIN " tubuh dan rekreasi pikiran di masa pandemi...saya gambarkan dengan "wuwungan" (hiasan pada kepala atap rumah) berbentuk kaktus yang juga merupakan tanaman yang menyimbolkan survivor ,tanaman yang sangat kuat dalam cuaca ekstrim. Heri Purwanto, S1 ISI Yogyakarta, “The Wuwungan, acry;ic on canvas, 30x30 cm, 2021
*****
 
Vaksin yang saya ketahui adalah tambahan kekebalan tubuh yang diaktifkan melalui proses medis/injeksi.
Vaksinasi Anti Covid19 diharap mampu menghidupkan perlindungan dan penginderaan ekstra terhadap virus yang membahayakan tubuh.
Namun disela harapan itu, masih tersisa pertanyaan; haruskah pelaksanaannya dipatuhi menyeluruh tanpa syarat? Kasih Hartono, ISI Yogyakarta, "Power Defense", acrylic on canvas, 30x27 cm, 2021


*****
 
Perempuan yang mengundang tanya, akan keberadaannya di suatu tempat. Laila Tifah, S1 ISI Yogyakarta, “Kutunggu Di Pasir, acrylic on canvas, 35x35 cm, 2019
*****
 
Ketika sebelum pandemi Covid-19 melanda, manusia bekerja, bermain, pergi ibadah, berpesta serta aktivitas lainnya (normal), namun kini manusia terbatas dalam ruang gerak begitu kecil, berjarak (Social Distancing).
“Kerinduan kecil” ini bentuk representasi tentang kerinduan kepada teman, kekasih, keluarga, bermain, berjama’ah dalam beribadah, berjabat tangan, berciuman dalam kehangatan. Berharap dengan ditemukannya vaksin tidak hanya mengobati wabah ini melainkan mengobati rindu akan pertemuan tanpa ada jarak.  Muh. Muhaimin, S1 Sekolah Tinggi Kesenian WILWATIKTA Surabaya, “Kerinduan Kecil”, ink, acrylic on paper, 30x30 cm
 
*****
 
Karya ini menceritakan tentang kondisi alam yang saat ini sedang tidak baik baik saja, dimana wabah covid 19 yang terjadi di seluruh dunia yang berdampak besar bagi seluruh kehidupan manusia. Karya ini terinspirasi oleh keresahan-keresahan yang melanda manusia khususnya di indonesia dimana masyarakat indonesia yang perekonomiannya rendah sangat terdampak, situasi covid 19  ini berdampak sangat besar bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, dalam kondisi saat ini masyarakat harus menaati peraturan pemerintah yang menganjurkan harus tetap berada di rumah sedangkan masyarakat indonesia yang harus menghidupi keluarganya dengan cara bekerja di luar rumah jadi sebuah dampak besar bagi keluarganya yang menjadi sebuah ide terciptanya karya lukis ini yang di ibaratkan dengan pipa pipa berkarat yang terpusat pada satu lubang yang menggambarkan kondisi buruk yang melanda bumi ini. Ridi Mardianto, S1 STKW Surabaya, “Berdampak terdampak”, water color on paper, 30x22 cm, 2021
*****
 
Kita ada pada waktu dirapal  jadi wahyu. Kita ada pada masa jauh dari biasa. Kita  jelma  moksa sekumpul doa. Syam Terajana, S1, “Apokalipso “, acrylic on paper, 18x23 cm , 2021
 
*****
 
Sebagai ajang rekreasi murah meriah bagi berbagai lapisan masyarakat pasar malam selalu berhasil menarik banyak khalayak untuk tumpah ruah didalamnya. Namun semua itu tidak dapat ditemui lagi disaat pandemi menyerang hampir seluruh belahan dunia. Berbagai kegiatan yang melibatkan banyak orang ditiadakan, termasuk pasar malam. Banyak orang yang menginginkan pasar malam kembali. Kembali merasakan suka cita bersama sanak saudara didalam suasana meriah pasar malam. Taufiqur Rohman, SMA Sederajat, “Pasar Malam kembali”, acrylic on canvas, 30x30 cm, 2021
*****
 
Karya ini merupakan pengalaman subjekitf saya terhadap menunggu giliran vaksin. Tiang Senja, ISI Yogyakarta, “Fase”, acrylic on canvas, 20x20 cm, 2021
*****
 
Vaksin bagai takdir, ada yang sudah, ada yang belum, ada yang tidak mau, dan ada varian lain, cemberut, gelisah, marah karena sasaran vaksin dianggap belum tepat. Apakah generasi muda tidak layak masuk prioritas? Lalu generasi "belum lansia, tapi sudah tua", apa salahnya menerima vaksin? Tapi biarlah. Jodoh, maut, rezeki vaksin di tangan Tuhan. Kembali pada ketahanan sabar dan "rukun". Desy Gitary, “Rukun”, oil on canvas, 25x25 cm, 2021
*****
 
Karya ini memvisualkan seorang pemuda yang berusaha melindungi
pikirannya, pendengaranya dari isu” yang beredar sekarang dengan menggunakan media kantong plastic sebagai penutup untuk melindungi kepalanya. Andre Marsyandi, “The absence of humanity?”, acrylic, crayon on canvas, 30x30 (1 cm), 2021
 
*****
 
Sebuah langkah kecil dari harapan yang besar. Terciptanya vaksin menjadi babak baru dalam masa berkabut ini. Terlepas percaya atau tidaknya, mampu atau tidaknya si vaksin ini membebaskan kita dari belenggu pandemi yang telah setahun menghantui kita semua. Tidak ada salahnya mencoba. Kita tak pernah tau hasilnya jika tak mencoba dan merasakan. Vaksin adalah bentuk usaha nyata manusia untuk mencoba memproteksi diri sendiri dan orang lain. Demi usai nya pandemi. Anggi Panca, S1 Seni Rupa UNESA Surabaya, “Babak Baru”, linocut on paper, 25x25 cm, 2021
*****
 
“Suara.com - Meski vaksin Covid-19 dinilai penting, tetap saja ada orang yang anti dengannya. Mereka disebut dengan "anti-vaxxer", kelompok orang yang menghindari vaksin lantaran meyakini teori konspirasi yang berberedar.
Salah satunya klaim bahwa vaksin Covid-19 tidak aman dan para peserta percobaan meninggal setelah mendapat obat ini.
Para ahli telah mengecam teori-teori ini. Bahkan, profesor bakteriologi emeritus di Universitas Aberdeen, Hugh Pennington, mengatakan klaim ini berbahaya."Mitos-mitos ini perlu ditangani karena beberapa orang benar-benar mempercayainya. Mereka bisa berbahaya," tutur Pennington, dilansir The Sun”.
Menanggapi hal tersebut melewati karya yang saya buat, saya ingin menyampaikan bahwasannya masyarakat diharapkan lebih menggali dan mencari bukti kebenaran yang sesungguhnya mengenai berita dan informasi tentang vaksin tersebut. Dwi Nambi Wibowo, SMA, “Konspirasi Vaksin”. Oil on paper, 28x25 cm, 2021
*****
 
Setahun sudah virus covid 19 melanda seluruh negara di bumi ini
Dan telah merubah segala tatanan kehidupan. Vaksin yang baru baru ini di ciptakan menjadi sebuah
Jawaban dari segala kegundahan, dan semoga harapan untuk hidup normal masih ada. Faisal Hamidy, Modern School of Design Yogyakarta, “Hope”, mixed media on paper, 19x19 cm, 2021
*****
 
Vaksin Covid 19 adalah sebuah keniscayaan bagi penduduk bumi, dan para produsen vaksin. Farhan Siki, S1, “Who is Pfizer?”, stencil on gunny fabric, 30x25 cm, 2021
*****
 
Pertempuran ini belum usai, lawan kita belum juga menyerah. Kita harus terus bertahan! Tunggu apa lagi? Vaksin adalah satu-satunya cara. Apa yang ha-
To be Continued In the next episode of : The Battle of Organic!
Hafizh Aulia Hanani, SMA,“ : The Battle of Organic”, silkscreen on paper, 21,5 x 23,5 cm, 2021
 
*****
 
Kabar segar bagi segala kalangan, vaksin mengubah banyak pandangan dan pemikiran. Perubahan bentuk yang tak permah kita kira. Semoga hal baik selalu menghampiri kita. Semoga dengan adanya vaksin memperbaiki keadaan ada, sebagaimana bunga menggambarkan dirinya. Kemala Hayati, SMA, “Ubah Mengubah”, sulam payet on canvas, 20x20 cm, 2021
*****
 
Semua ini terjadi karena faktor kelalaian manusia yang tidak bisa menjaga dan menyayangi bagian dari bumi ini.
Kini keadaan bumi ini hanya menjadi puing puing dari semua keindahan yang mana bumi ini pada masanya akan ada titik terang baru yang akan memperbaiki keadaan secara perlahan. Monica Cindi, SMA, “Fana Kehidupan”, acrylic on canvas, 30x30 cm, 2021
*****
 
Setelah satu tahun lebih dilanda pandemi, akhirnya masyarakat menemukan pencerahan melalui vaksin yang sudah mulai direalisasikan di sejumlah daerah.
Vaksin yang dihasilkan berkat kesabaran, kerjasama, dan niat tulus ini tentunya harus didukung dan disambut penuh oleh kita semua.
Lukisan ini adalah ilustrasi masyarakat sebelum dan sesudah divaksin. Bentuk antusiasme ini diharapkan menginspirasi masyarakat Indonesia untuk bersama-sama mencapai kekebalan kelompok atau menuju herd immunity. Tini Jameen, “Menuju Herd Immunity, acrylic on canvas, 30x30 cm, 2021
 
*****
 
"Awal cerita" mengacu pada masalah efek samping yang dihasilkan saat vaksin disuntikkan, vaksin yang diciptakan dari jenis virus yang sama dan telah dilemahkan akan menimbulkan efek samping terutama pada penglihatan, noise-noise putih yg terlihat pasca vaksin menjadi sangat mengganggu, hal tersebut juga berakibat sakit kepala bahkan demam hingga pingsan. Kegelisahan akan vaksin tersebutlah yang mendorong untuk menciptakan karya tersebut. Wira Liandy, SMA, “Awal cerita”, mezzotint on paper, 15x15 cm, 2021
*****
 
Merekam kemarau panjang 2019. Rizal Misilu, ISI Yogyakarta, “Kemarau 1”, pen on paper, 22x22 cm, 2019
*****
 
Superhero deep sea juga harus ikut vaksin agar tubuh mereka juga sehat dan kuat untuk menjaga kota liliput dasar laut. Rizal Pahlevi Wibowo, 12th, kelas 6 SD, “My town vaksin”, 30x30 acrylic on canvas
 
*****
 
Selayaknya sistem imun yang tidak memiliki tempat khusus di dalam tubuh manusia, serta tidak di kontrol oleh organ pusat, seperti otak. Ia menjadi muasal lahirnya kekebalan tubuh. Fikri Habibi, “Muasal”, acrylic on canvas, 30x30 cm, 2021
*****
 
Sosok Virus c19, digambarkan tetap menantang, namun seperti menyerah terhadap dunia yg dipijaknya. Vaksin yang telah diciptakan menjadi seperti ajang pertempuran berbagai macam jenis penyakit. Bagi si vaksin dunia itu sangat indah untuk di hancurkan, namun alangkah indahnya jika tidak berhasil di hancurkan. Ananta O’Edan,“Vaccine Change The World”,Drawing on paper, 29x21 cm, 2021
*****
 
Terinspirasi dari penyakit yang melanda dunia saat ini dan segala upaya yang dilakukan diri darinya. Saya melukiskannya sebagai sosok Semar yang menggendong air pawita sari atau yang disebut juga air kehidupan yang dipercikkan ke gunungan sebagai symbol dunia. Untuk mengakhiri pagebluk yang terjadi. Agus Syahri, ”Banyu Prawito Sari”, mixed media on board, 25x18 cm, 2021
*****
 
Syringe of Hope adalah karya yang menggambarkan bagaimana perjuangan para pejuang kesehatan melawan kematian melalui vaksin. Sbagaimana kita ketahui keberadaan Covid 19 momok yang telah menghantui manusia di seluruh dunia dan telah merenggut jutaan nyawa dan juga kerugian materiil yang tidak sedikit.
Dengan adanya vaksin dan berbagai metode pengobatan, manusia saat ini memiliki secercah harapan dimana mereka akan memiliki kebebasan dan kehidupan lagi. Hardiana, “Syringe of Hope”, mixed media on canvas, 22x15 cm, 2021
*****
 
Satu tahun lebih semua berusaha merubah pola hidup (kebiasaan) setiap hari dengan apa yang disebut dengan New Normal untuk menyikapi pandemi Covid 19. Kini kita memasuki perkembangan berikutnya setelah ditemukannya vaksin untuk pencegahan dan juga imunitas. Era ditemukannya vaksin ini adalah sebuah pintu terbuka untuk berbagai kemungkinan mengalirnya cerita baru yaitu rasa optimis akan sebuah keadaann yang lebih baik dengan berbagai dinamikanya tentu. “Pintu Terbuka-Cerita Baru Mengalir”, acrylic on canvas, 30x30 cm, 2021
*****
Kurang lebih pandemi covid 19 berlangsung 1 tahun, banyak terjadi persoalan sosial ekonomi, kesehatan politik. Vaksin merupakan solusi pemerintah menghentikan pandemi ini. Banyak masyarakat mengharapkan agar tetap sehat, terhindar dari covid 19 dan pulih dengan baik. Sadar atau tidak disadari dengan memproduksi dan menggunakan vaksin, baik itu kemasan botol, kardus dan packaging kainnya, alat suntik, jarum, apabila di seluruh dunia menggunaakannya, terbayangkan berapa jumlah sampah yang dihasilkan. Bagaimana pengolahan limbah dan dampak lingkungan apalagi saat ini lingkungan sedang krisis dalam hal penanganan sampah. Oky Tisna, “Harapan & Sampah”, acrylic on canvas, 30x30 cm, 2021
*****
Sejak awal muncul pandemi covid 19, semua panik dan serba tidak jelas. Berita seakan berdatangan simpang siur, semu terlihat begitu samar. Namun selalu ada cahaya semangat untuk terus bangkit dan survive. Muncul cahaya dan harapan baru dalam ketidakpastian dan kesamaran. Dalam karya ini disimbolkan dengan lingkaran-lingkaran kuning sebagai bentuk optimisme. Dengan latar belakang biru kehitaman sebagai hal yang luas dan samar. Dalam karya ini representasi cahaya sebagai vaksin dan harapan untuk terus survive di situasi pandemi saat ini. Catur Agung Nugroho, “Cahaya Harapan”, acrylic, oil stck on canvas, 15x15,5 cm, 2021

 
 
 


Link liputan media
http://new.widyamataram.ac.id/content/news/pameran-karya-kecil-itu-indah-karya-seniman-diharapkan-menjadi-vaksin-di-tengah-pandemi#.YGa7QzwxXIV

 
https://www.beritamerdekaonline.com/pameran-karya-kecil-itu-indah/
 
https://www.kompas.tv/article/159720/ragam-cara-perupa-yogyakarta-merespons-vaksin-dalam-pameran-di-miracle-prints
 
https://jogja.antaranews.com/berita/481490/54-karya-seni-berukuran-mini-dipamerkan-di-yogyakarta
 
https://smol.id/2021/04/03/54-karya-seni-rupa-ukuran-mini-dipamerkan-di-yogyakarta/
 
https://ijn.co.id/54-karya-seni-rupa-berukuran-mini-dipamerkan-di-yogyakarta/
 
https://impessa.id/read/1864/event/pameran-bertajuk-kecil-itu-indah-menjadi-vaksin-tersendiri-di-tengah-pandemi.html
 
https://m.harianjogja.com/jogjapolitan/read/amp/2021/04/03/510/1067940/berdimensi-kecil-seniman-pamerkan-karya-mini-di-jogja
 
https://www.instagram.com/p/CNJ0-sLLtDU/
 
https://qrc.kompas.id/scan?kode=kk-279811/04/202
 


Picture
Kompas e-paper, 11 April 2021
Picture
Media Indonesia cetak, 11 April 2021
Picture
KR cetak, 7 April 2021
0 Comments

kedi

1/12/2021

0 Comments

 
Picture

“KEDI” Pameran Tunggal Lukisan Faisal Hamidy

Kucing Dan Kita
 
Kucing buat seorang Faisal Hamidy meminjam istilah yang sering digunakan Suwarno Wisetrotomo ‘memiliki makna berlapis-lapis’.
Kucing tidak sekedar makluk lucu, nakal, menggemaskan namun penuh mitos, sejarah, kisah sedih dan nasib mengenaskan. Namun tentu saja baginya kucing juga secara visual memiliki bentuk yang indah, estetis yang menarik untuk digambar.

Hamidy sengaja memberi judul pamerannya KEDI yang berarti kucing dalam bahasa Turki. Ini bukan tanpa alasan.
KEDI merupakan judul sebuah filem dukumenter  besutan sutradara berkebangsaan Turki, Ceyda Torun. Filem itu berkisah kucing-kucing jalanan di kota Istanbul, Turki yang diopeni dan menjadi bagian kehidupan masyarakat disana. Filem tersebut begitu terkenalnya dan menjadi pembicaraan para kritikus filem dan para penonton. Bahkan tokoh utama filem yaitu kucing-kucing jalanan menjadi bintang bak selebriti yang dielu-elukan penggemarnya.

Tidak terkecuali dengan Hamidy. Ia begitu terkesannya dengan filem tersebut.Namun ia juga menggali sejarah, kisah dan mitos kucing dari berbagai referensi untuk memperkaya gagasannya. Dengan mengambil judul dari filem tersebut sebagai judul pameran dan juga menjadi judul beberapa karya lukisnya, pelukis kelahiran Jakarta, 1974 ini seakan menegaskan posisinya yang berbeda dari kebanyakan pencinta hewan.

Bila kebanyakan pencinta hewan (kucing) hanya peduli dengan binatang  (kucing) peliharaannya yang manis-manis, Hamidy justru peduli dengan nasib kucing-kucing yang kurang beruntung, yang tak terawat dan diacuhkan manusia.Semua ini berawal dari pengalamannya sendiri yang coba ia rekonstruksikan dalam karyanya.

Karya berjudul “Penyeberang Jalan”, cat minyak diatas kanvas, 30x40 cm, 2020, menceritakan kisah kucing yang menurut Hamidy bukan merupakan makluk penyeberang jalan yang baik yang akhirnya menjadi korbannya sendiri.

Hamidy sekali peristiwa di masa lalu pernah tidak sengaja melindas mati kucing peliharaannya sendiri saat ia harus memindahkan posisi sepeda motornya di rumahnya. Peristiwa itu demikian membekas di kepalanya sehingga memutuskan melukiskannya. Untuk mengembalikan jejak peristiwa ia membuat cetakan ban motor yang diberi cat dan dicetakkan langsung ke kanvas. Kemudian hasil cetakan diresponnya dengan berbagai goresan cat yang mengimpresikan bekas keberadaan seekor kucing yang terlindas termasuk bercak darahnya.

Di “Penyeberang Jalan #2”, media campuran diatas kanvas, 79x69 cm, 2020, ia juga memasukkan cetakan ban sepeda motor untuk mengimpresikan jejak atau sisa-sisa sebuah peristiwa kecelakaan kucing yang tertabrak kendaraan di jalan raya yang pernah disaksikannya. Kali ini ada bidang putih kuat menggambarkan  marka jalan membelah bidang kanvas.

Sebagaimana kebanyakan orang, Hamidy percaya mitos bahwa jika ada seekor kucing tertabrak di jalan maka ada kewajiban orang yang menabrak atau yang melihatnya untuk menguburkannya. Jika tidak, maka ada kesialan yang akan menimpa orang-orang yang bersangkutan. Pada saat itu ia yang bukan si penabrak berinisiatif menguburkan kucing malang tersebut.

Kucing dimata Hamidy identik dengan luka atau bekas luka di tubuhnya. Luka-luka tersebut didapat seringnya karena kucing memang suka berkelahi dengan sesamanya. Tetapi luka pada kucing juga terjadi akibat kecelakaan atau karena ulah iseng manusia. Luka pada tubuh kucing mendapat perhatian lebih pada Hamidy. Setidaknya ada 10 lukisan dalam pameran ini yang bercerita atau menginformasikan soal luka tersebut (Head #1, Head #2, Ibu dan Anak, Jumpa di Persimpangan, Konflik, Yellow Cat, Tiga Saudara, Terlelap termasuk Penyeberang Jalan #1 dan #2).

Pada “Head #1, cat minyak diatas kanvas,, 58x72 cm, 2020, ia membuat visual mengasosiasikan bentuk muka kucing dengan mata besar, telinga dan gigi-gigi runcing. Di bagian kiri wajah ia memberi fokus bidang kecil berwarna merah darah serupa torehan luka. Di kanvas yang lain ia menggambarkan seekor kucing tengah tidur terlelap. Tapi perhatikan, ada goresan luka pada bagian tubuhnya (“Terlelap”, akrilik diatas kanvas, 60x80 cm, 2020)

Gestur dan geliat kucing sedang bermain, bersantai juga tidak luput dari perhatiannya. Namun lagi-lagi penggambarannya tidak sederhana karena begitu banyak cerita yang ingin disematkan pada lukisan kucing-kucingnya.

Tidak hanya pengalaman pribadinya, Hamidy juga tertarik menyoal masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Karya “Rebutan Pepesan Kosong”, akrilik diatas kanvas,, 75x45 cm, 2021 sepertinya ingin menyentil seringnya manusia saling berebut ‘sesuatu’ hingga berkelahi seperti kucing. Lukisan dominan merah tersebut menggambarkan sosok-sosok kucing yang hanya kebagian wadah tempat makanan yang kosong, sementara ikannya sudah tidak ada atau hanya ilusi.

Humor juga ada. Pada “Maneki Neko”, cat minyak diatas kanvas,  80x60 cm, 2020, Hamidy menyoal keberadaan ‘boneka hoki’ yang dipercaya masyarakat Tionghoa sebagai pembawa keberuntungan di dunia usaha. Ia seakan iseng bertanya, apakah dalam situasi Covid – 19 ini, dimana sebagian besar usaha menjadi lesu, boneka hoki tersebut masih berdaya? Tidakkah kerja boneka hoki semakin berat?

Karya Hamidy secara umum becorak ekspresif dengan kecenderungan abstraksi.Untuk mengasosiasikan seekor kucing ia hanya perlu mempertegas bentuk telinga, bola mata, dan barisan gigi kucing yang runcing. Selebihnya adalah permainan garis membentuk bidang acak namun terarah.

Tema kucing cukup sering digarap pelukis. Setidaknya telah ada dua pelukis yang intens menggarap tema serupa: Pelukis Popo Iskandar dan Klowor Waldiono. Popo Iskandar dengan torehan pisau palet yang tebal dan kokoh menghadirkan misteri binatang kucing lewat bentuk mata dan gestur. Sementara Klowor Waldiono cenderung lebih riang, gembira dengan geliat gerak kucing-kucingnya yang ekspresif.

Namun Hamidy sepertinya menempuh jalan yang lain. Ia nampak lebih realis karena berangkat dari keprihatinan yang dirasakannya. Selain itu adanya pengalaman empiris semakin memberi bobot pada kisah yang ingin disampaikannya.

Melalui pameran ini ia ingin mengajak agar kita tidak hanya peduli dengan kucing rumahan yang manis-manis dan terawat baik, namun juga memperhatikan kucing-kucing jalanan yang tidak terurus dan kurang beruntung.
Dalam kasus ini ia telah melakukan sesuatu.
 
Syahrizal Pahlevi, perupa
-----------------
Faisal Hamidy menempuh pendidikan Disain Komunikasi Visual di Modern School of Design, Yogyakarta tahun 1995, kuliah Fotography di FSMR ISI Yogyakarta tahun 1988 dan sempat kuliah di prodi Seni Lukis di ISI Denpasar tahun 1999.Saat ini ia berkarya dan tinggal di Yogyakarta.
 
Artikel ini dengan berbagai editan telah dimuat di Harian Disway, terbitan Jumat, 1 Januari 2021 dengan judul “Momen Tragis dan Manis Tentang Kucing”
 
****************
Catatan Pendek.
Kedi, ada Luka
Pemeran Lukisan Faisal Hamidy.
Kedi, tajuk pameran tunggalnya Faisal Hamidy di Miracle Prints Yogyakarta. Di sana digelar lukisan canvas dan coretan sketsa hitam putih di atas kertas. Kedi dalam bahasa Turki untuk sebutan kucing, dan saya tidak tahu mengapa dia lebih senang mengunakan kata Kedi, bukan Kucing. Tetapi dari karya-karyanya, terbaca kalau dia sangat tahu tentang kucing.
Lukisan Faisal H., abstrak ekspresionis dengan sapuan kuas yang liar dan tidak kompromi lagi pada realitas objek. Dia lebih senang menggambarkan kegelisahan pikirannya dari pada mimesiskan sosok kucing di bidang kanvas dan kertasnya.
Faisal H., tidak ingin proses kreatif berkaryanya terganggu oleh corak dekoratif. Padahal peluang itu ada, misalnya dengan merespon efek sapuan kuas yang meninggalkan jejak. Dia lebih senang membiarkannya, dan tidak perlu diisi lagi dengan unsur hias, sebab efek itu sudah berkarakter, menginformasikan energi pikirannya.
Faisal Hamidy menurut saya, tidak sedang menggambar kucing. Kucing itu hanya sebagai objek saja agar dia dapat menunjukan kasih sayangnya pada yang dicintai. Bahkan bila kita cermati karya-karyanya, tidak akan menemukan gambar kucing, sebab kucing diwujudkan dengan samar.
Kosakata visual yang digunakan, didominasi oleh garis dan blok warna yang dinamis, dengan sapuan kuas non-naturalistik. Ini adalah jalannya untuk menuju ekspresi transendental (kandinsky).
Mengamati lukisan Faisal H., misteri yang masih mengganggu pikiran saya, adalah bercak merah atau blok merah selalu hadir disetiap kanvasnya.
Apakah ini sebagai tanda “luka”, pada yang dicintai !?.
Selamat dan sukses, terus berkarya tetap menjadi diri sendiri sebagai pelukis yang merdeka.
Alex Luthfi R.
Saung Banon Arts
4 Februari 2021.
Yogyakarta.

(Diambil dari status facebook alexandri luthfi
https://web.facebook.com/alexandri.luthfi )

0 Comments

selo

12/25/2020

0 Comments

 
Picture
SELO Super Hero
Pameran Tunggal Agung ‘Tato’ Suryanto
Apresiasi yang tidak sama terhadap seni di berbagai daerah bisa menjadi pijakan ide buat seorang seniman berkarya. Bisa jadi di suatu daerah apresiasinya dianggap sudah begitu tinggi namun di suatu daerah lain apresiasinya masih dianggap rendah sehingga kurang memuaskan seniman.
Kali ini seorang perupa, Agung ‘Tato’ Suryanto menyandarkan ide-ide patung terbarunya yang  akan dipamerkan di Miracle Prints, Gallery, Artshop & Studio, Yogyakarta mulai tanggal 9 sampai 22 Januari 2021 dari perbedaan apresiasi yang ditangkapnya. Judul pamerannya  singkat: SELO.
Agung Tato mencatat betapa patung-patung ready made berkarakter ‘action figure super hero’ yang dikonsumsi kolektor mainan tidak pernah mendapat tempat dalam khazanah seni patung di tempatnya belajar dan mengajar di Surabaya.
Padahal menurutnya patung-patung tersebut dibuat dengan kaedah seni patung yang serius sebagaimana diajarkan di akademik.
Sepintas ini hal sepele. Namun hal sepele  sering justru dapat menjadi sangat fundamental yang berimbas pada kekuatan ekspresi yang akan dihadirkan seniman dalam karya-karyanya.
Itu satu soal atau SELO pertama…….
 
SELO lain.  
Secara kebetulan Selo adalah nama sebuah dusun di pertemuan kaki gunung Merapi dan gunung Merbabu. Dusun ini begitu terkenal di kalangan para pendaki termasuk Agung Tato sendiri yang juga suka mendaki gunung.  Aroma bebatuan yang menghampar dan menjadi daya hidup penduduk lokal di sekitar kaki gunung  memberi kesadaran pada Agung untuk melekatkan karakter batu yang keras dan pejal pada karya-karyanya.
Ini semacam empati dan penghormatan atas kekuatan lokal yang mencerminkan kehidupan yang pantang menyerah demi menghidupi keluarganya. Buat Agung apa yang ia saksikan semacam “super hero’ kecil di dunia nyata yang patut diapresiasi.
 
SELO ketiga.
Saat ini Agung tengah mengambil studi doktoral di ISI Yogyakarta. Alhasil ia harus pulang balik Surabaya-Yogyakarta karena pekerjaan dan keluarganya ada di Surabaya. Karena ia ingin irama kerjanya tidak terputus gegara harus pulang balik, iapun  membuat tempat kerja/studio di dua tempat.
Ia mengembangkan pola kerja yang bersifat mobile dimana karya-karya patungnya yang memerlukan waktu pengerjaan cukup lama didesain sedemikian rupa dapat dibawa pulang balik antara dua studionya. Karena itu objek patungnya dibuat ukuran  tidak terlalu besar dan tidak memakan tempat saat harus dibawa naik bis atau kereta api.
Jebolan Arsitektur UNTAG ’45 Surabaya 1989 – 1997 ini menjabarkan judul pamerannya sebagai berikut:
“Kata ‘selo’ mengandung beberapa arti, tergantung cara pengucapannya. Selo bisa berarti waktu luang. Selo juga bisa berarti batu. Tapi selo juga berarti nama tempat. Sebuah desa sebagai titik mulai jika kita hendak mendaki gunung Merapi atau Merbabu.
 
Jika iseng kita ketik kata ‘selo’ pada google, masuk pada wikipedia, ‘selo’ mengacu pada beberapa hal; tempat, benda, dan nama tokoh. Pada tempat, ‘selo’ sebuah desa di kecamatan Selo, kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Desa ini berada persis di antara Gunung Merapi dan Merbabu. Pada benda, selo adalah sebuah alat musik gesek (cello). Dan nama tokoh, misal, Ki Ageng Selo. 
 
Pada pameran tunggal kali ini, kata ‘selo’ saya sematkan sebagai judul utama. Kata ini muncul sekitar bulan September 2020 saat saya sedang mencari sebuah tema untuk menyatukan beberapa karya yang bisa saling terkait. Pas di bulan-bulan tersebut, saya sedang menarasikan untuk karya desertasi dengan subjek utama batu.
 
Asumsi saya, kata ‘selo’ adalah kata yang pas jika disematkan sebagai tema dalam pameran tunggal kali ini. Tema saya lebih menarasikannya pada waktu luang dan batu”. Demikian kata Agung Tato yang melanjutkan kuliah di seni rupa STKW Surabaya 1998 – 2008 kemudian Pasca Sarjana ISI Yogyakarta 2012 – 2014 dan kini tengah menjalani Program Doktoral di ISI Yogyakarta masuk tahun 2016.
 
Seni patung  Agung Tato menyandarkan pada bentuk-bentuk boneka mainan ‘super hero’ yang digubahnya sedemikian rupa. Ia melakukan pemotongan, penempelan , penambahan bentuk dengan bahan epoxy clay hingga melakukan pewarnaan permukaan patungnya mirip atau mendekati karakter batu.
Gubahannya masih mengandalkan bentuk-bentuk asalnya yang sebagian besar tetap dipertahankan. Patung-patung tersebut tetap sosok berotot namun kini mengemban cerita baru, cerita yang diarahkan oleh senimannya. Tubuh-tubuh tersebut seakan dipinjam dan dilipat gandakan ke’hero’annya.
Terkait hal ini Agung Tato yang pernah memenangi kompetisi seni rupa Mandiri Art Award (2015), UOB (2013), Jakarta Art Award (2008) dan lain lain ini mengatakan:
“Kenapa figur mainan anak yang jadi materi pokok? Berawal dari rutinitas jika hari Minggu selalu bertandang ke pasar loak di Surabaya. Di suatu  Minggu saya mendapatkan mainan jenis action figure "Hulk" dengan kondisi tak lengkap (tanpa tangan).
Dari mainan ini saya mendapat gagasan untuk menggubahnya. Karena dia tak punya tangan, saya menggubahnya dengan memberinya tangan, bukan hanya dua tapi enam. Seperti dalam arca Ganesha”.
 
Dari percobaan pertama tersebut Agung Tato lebih serius mencari mainan yang sesuai idenya. Ia mulai belanja mainan secara daring dari sebuah website dan bereksperimen dengan lebih banyak mainan dan bermacam gubahan.
 
Metode penggubahannya memanfaatkan potensi apa yang dilihatnya pada mainan tersebut. Dalam bahasa Agung Tato demikian: “Karena mainan action figure ini berkarakter melebih-lebihkan atau menyangatkan dan bersifat karikatur, maka saya menguatkan pada karakter tersebut. Misal, dengan menambahkan jumlah tangannya, menonjolkan tekstur tubuhnya, membesarkan ukuran tangan atau kakinya”.
 
Pamerannya kali ini selain karya patung ada juga lukisan berbahan silicon rubber. Namun yang dominan adalah patung-patung ‘pasca super hero’ dalam berbagai gubahan ganjil.
Munculnya gubahan bentuk-bentuk ganjil  karakter super hero yang sangat berbeda dari keluaran pabriknya ini,  Agung Tato seakan ingin mengatakan: ‘Nah, sekarang mereka adalah seni patung, mau ngomong apa lagi kalian….?”.
 
Syahrizal Pahlevi, perupa yang menulis

********************

*2nd Encounter*
Sila-sila teman ngopi silo di sela pameran selo Agung Tato


SAYA MASIH TERINGAT tinggal di jl. Parangtritis, tahun 2002, mendapat ajakan pameran di Galeri Surabaya. Tema-nya ‘Sebuah Perjumpaan’, semacam “A Encouenter?”, konsep acara promosi perupa dari jogja dua orang - Surabaya dua orang, jadi berempat yaitu Agung Tato (STKW), Didi tirtosari (Unipa), Nanang Zul (ISI) dan saya. Meskipun belum saling kenal kecuali saya dengan Nanang zul karena tinggal se-rumah di jogja, sepakat menyiapkan pameran itu bersama, sejak mengumpulkan foto dan data karya-biodata, hingga saya mengenal Agung Tato bukan sekedar mahasiswa baru stkw, beliau ini juga lulusan arsitek, hobi jalan-jalan di gunung, blusukan pasar loak dan kolektor buku. ‘Perjumpaan 2002’ ini pun jadi pameran pertama saya di Surabaya.

Ada ingatan indah saat pembukaan pameran itu, di sela-sela pengunjung masuk galeri kita mendapat ‘pujian istimewa’ dari dosen ‘senior’ stkw, Pak Nuzulis Koto dengan berteriak ‘Jelek!!’, hingga dinding  galeri bergetar karena kejutan itu. Saya dan Kurator, Mbak Ika Ismurdyahwati (Bandung) saling pandang menatap sumber suara, serasa berdebar, senyum masam, lalu menyapa hormat ‘senior’, meskipun tanpa balasan imbang, dalam hati saya memilih lega karena penilaian jujur itu masih ada.

Karya Agung Tato waktu itu instalasi lampu bolam, dari berbagai bahan; ada bolam asli yang dinyalakan, ada dari keramik coklat-biscuit, dari gypsum putih plus kabel listrik, semua disebar dilantai hampir sepenuh galeri. Hanya sedikit space gerak, Sehingga pengunjung tidak santai melewati bolam untuk menikmati karya lainnya. Dalam hati (lagi), apa mungkin karena karya instalasi ini (bolam) atau karena seluruh karya yang dipamerkan telah merubah ruang jadi ‘terror’ hingga kita dapat ‘pujian istimewa’, entahlah, hingga kini kita malah makin berteman dengan ‘senior’, sekali lagi terima kasih Pak Nuzulis.

Kenapa saya harus berterima kasih? selama ini kita bikin karya sering basa-basi minta komentar, masukan, entah pesan atau kesan kalo perlu kritik dan pasar. Dari pembukaan itu saya telah mendapat banyak hal yang menggedor ke-malu-an, perasaan kerja, daya cipta, lintasan imajinasi, bahkan saat ini saya masih merasakan ‘pujian istimewa’ bikin hati riang, optimis pada disiplin seni.

Mungkin ada yang belum tahu bahwa agung tato itu ‘sadis’, santai tapi disiplin. Kerja profesional tapi tidak pelit resep, irit bicara tapi mudah berbagi pengetahuan kecuali kita yang malas bertanya. Beliau mungkin tidak pandai melawak karena bukan pelawak, tapi daya humor-satir sering terselip di karya-karyanya, misalnya membuat seni instalasi batu bisa bernafas kembang kempis (bukti dari kehidupan yang mendesah). Sedangkan untuk pameran tunggal ini Agung tato mempersiapkan karya Lukis kertas dan kanvas, mulai dari teknik tinta, cat air, cat minyak dan campuran bahan silicon rubber. Selain itu menampilkan karya 3 dimensi, berupa patung ‘figure action’ dengan pendekatan rakit ulang dengan bahan epoxy clay. 

Menurut Agung Tato, tema SELO dipameran ini lebih menarasikan pada waktu luang dan batu. Sepertinya ada indikasi trend pendemi, karena aktifitas fisik yang dibatasi menginspirasi untuk memanfaatkan waktu luang dirumah, re:kreasi dari karya sebelumnya hingga karya baru. Waktu luang jadi pembebasan memori naik gunung, membuka rekaman karakter batu di sela gunung. 

Dalam buku sejarah, batu digunakan untuk kebutuhan monument, kegiatan reliji, penanda tempat, titik pusat, termasuk jimat, karena dianggap tenang-abadi. Sedang waktu luang seperti ruang yang leluasa dan sia-sia, mengingatkan kutukan bagi Sisifus, semua keber-ada-an di dunia disebabkan dari tindakan sebelumnya. Sisipus mendorong batu hingga puncak, lalu meluncurkan batu itu ke bawah. bahwa proses menghadapi kutukan, bukan menyerah pada keadaan, termasuk keadaan mapan, melainkan melakukan perombakan. Melalui upaya mencari makna dari kehidupan itu sendiri.

Seperti karya-karya lukisan dipameran tunggal ini, Agung Tato mengabadikan suasana kelam pendemi dengan citra batu diberi judul ‘C19’,  citra batu juga terdapat di lukisan ‘Melepas Wajah (Merapi)’, ‘Main Bola (Merapi)’, ‘Tatapan Malinkundang’, yang mengingatkan kisah legenda kutukan seorang ibu pada anak berubah ujud batu. Atau lukisan tentang ‘Old school’, ‘Dante’, ‘Selo Ageng’ menyiratkan figur super hero lokal. Sedang lukisan lainnya lebih mirip sketsa drawing berjudul ‘Fosil’, ‘Pembuat angin’, figur ‘M’ inisial ini menunjukan nama suku di Indonesia identik senjata khasnya. 

Selain itu masih banyak cara orang memaknai hidup, dengan belajar sejarah, mengkoleksi barang antik, hingga berburu ke pasar loak. Seperti apa yang dilakukan oleh Agung tato tiap hari minggu blusukan ke pasar loak, yang membedakan kondisi dulu dan sekarang adanya wajib prokes. Dari pasar ini ada temuan ‘action figure’, patung super hero yang tidak utuh, kemudian di utak-atik di studio menjadi kreasi multi-segi yang menampilkan sosok di luar habitat normalnya. 

Patung-patung ‘action figure’ itu di satu sisi, memiliki kosakata visual baru, di sisi lain - ikon budaya pop, barat. Keduanya dibenturkan dan menyatu, ditambah kesadaran bahwa visual paling biasa dari masa lalu tertentu dapat muncul kembali sebagai simbol yang mendefinisikan sejarah kejayaan, juga bagian dari penawaran ‘action figure’ yang bertema lokal. Dimana terselip humor kecil dan ingatan tajam untuk hal yang sangat populer.  Karya-karya patung itu meskipun dibalut citra batu dan lava pijar namun dari gestur atau pose patung itu telah mengekspresikan konsep/nama /judul masing-masing, yaitu figur ‘Kalijaga’ dengan pose meditasi dan gangguannya, ‘ITB’ yang membanggakan ganesha, ‘Cong li’ gaya petarung boxing, ‘Membesarkan kepala’ sindiran figure public majapahit dengan kaca pembesar  dan sebagainya. Bagi saya sebuah karya dengan ukuran yang tak terlalu besar orang akan dengan senang hati memusatkan perhatian pada detail. Penonton mungkin akan terdorong membungkus pikiran di sekitar karya yang dinikmati. 

Untuk itu, dengan duduk bersila saya harap pameran SELO ini tidak ditangkap hanya soal teknis dan artistik saja, supaya sebagai karya seni bisa bicara sesuai sejarah penciptaanya, durasi keberadaan, bobot konten, dan barokahnya masing-masing. Sedikit banyak pameran ini bisa jadi simbol celah re:kreasi untuk zaman kita yang kelebihan informasi sekaligus berhadapan dengan situasi yang sulit dimengerti. Saya ucapkan buatsemuanyaja selamat menikmati, selamat berpameran buat teman ngopi silo.. terima kasih ajakan selo ini.. 

Syalabi Asya
*Museum of Mind*
06/01/2021
 
 
 
 



 
 
 
 
 

agung_tato-cv_new.docx
File Size: 25 kb
File Type: docx
Download File

Picture
Artikel di harian Disway, Jumat, 1 Januari 2021
Picture
Artikel di harian Disway, Jumat, 1 Januari 2021
0 Comments

50 % off

12/20/2020

0 Comments

 
Picture
50 % OFF
Rindu Pangkat Tiga
Rindu artinya keinginan untuk bertemu. Dan keinginan itu semakin membuncah di masa seperti sekarang ini. Pameran ini, bagi kami Kelompok 86 adalah bentuk pengungkapan rasa rindu itu. Meski sesungguhnya baru tahun kemarin, 2019, kami pameran bersama di Galeri Fadjar Sidik Institut Seni Indonesia Sewon Yogyakarta.
Kerinduan kedua adalah pada pameran itu sendiri. Hiruk pikuk dan suasana pameran adalah sesuatu yang tak tergantikan. Walau apa boleh buat saat ini harus dilengkapi protokol kesehatan yang ketat. Namun kami percaya bahwa bagaimana pun kondisinya ia: pertemuan di ruang  kebudayaan itu akan selalu menyenangkan sekaligus membahagiakan. Dan kita tahu hal tersebut adalah terapi terbaik bagi imunitas.
Kerinduan ketiga dan yang paling penting yakni mempertemukan karya senirupa kami dengan penggemar atau penontonnya. Akan menjadi lebih sempurna apabila karya kami ketemu kolektor alias pembelinya. Nah demi menuju itu kami melakukan seperti layaknya “Year End Sale”dengan memberi potongan harga separuhnya. Kami berbincang dan saling mengingatkan untuk menampilkan harga sewajarnya. Bukan dinaikkan terlebih dahulu baru dikasih discount  seperti trik toko sebelah. 
Yogyakarta, 21 Desember 2020
 
Yuswantoro Adi
 


0 Comments

senses

11/19/2020

0 Comments

 
Picture
Artist Statement dan Konsep Karya SENSES
Arif Hanung TS
Pada hakikatnya, manusia mempunyai rasa kepekaan/perhatian. Dalam karya saya ini, saya
mengutarakan beberapa bentuk kepekaan seseorang terhadap orang yang disayanginya. Perasaan peka
tentu menjadi amat kuat dari waktu ke waktu. Sebagai seorang suami dan seorang ayah, saya
memperhatikan betul perihal kebutuhan dan perkembangan mereka, khususnya pada anak. Ada rasa
ingin tetap melindungi, rasa ingin terus mendampingi, dan juga rasa haru akan moment-moment
tertentu. Dengan segala kondisi, sebagai ayah tentu harus bisa memposisikan dirinya dalam keadaan
baik maupun “terlihat baik-baik saja”, tak lain dan tak bukan, itu semua demi orang-orang yang
disayanginya.
Sidik Purnomo
Mereka, kami atau kita dilahirkan dengan hakikat yang sama, sebagai manusia dengan atribut
lengkap sesuai kodratnya. Namun dalam proses tumbuh kembangnya, setiap insan melewati
latarbelakang dengan lika-liku yang berbeda satu sama lain, itulah mengapa perbedaan itu ada seperti
warna kulit, lingkungan hidup, pendapat, budaya, adat, hingga agama.
Selama tidak merugikan satu sama lain, bukankah itu hal yang indah dan meriah?
Komar
Pikiranmu, Bebanmu
Hidup tak lepas dari yang namanya beban. Setiap orang diuji dengan kesulitannya masingmasing.
Penyesalan terdahulu, ketakutan/kecemasan, kedepannya bisa menjadi beban jika terlalu
memikirkannya, yang menjadikan setiap kesulitan/penderitaan itu beban adalah pikiran. Guci
diibaratkan sebagai diri, dan kayunya sebagai beban. Bukan seberapa berat beban yang dipikul, namun
seberapa mampu untuk menyikapinya dengan pikiran yang jernih. Jika tak mampu untuk mengatasinya
sendiri, utarakan dengan orang-orang tersayang. #ojodipikirdewe.
Open minded
Karya ini merupakan representasi dari sifat saya. Selama ini saya tertutup kepada siapapun,
bahkan kepada keluarga sendiri. Saya terlalu egois bahwa saya bisa melakukan apapun sendiri tanpa
bantuan orang lain. Namun saya salah, justru berkat peran orang-orang disekitar saya lah yang
menjadikan saya seperti saat ini. Disitu saya mulai belajar untuk terbuka kepada siapapun, dan mencoba meninggalkan sifat-sifat buruk yang lalu.
Noris
Semboyan negara ini “bersatu kita teguh”, tidak benar-benar terwujud, hanya sebagian kecil saja yang dapat kita rasakan, tetap terpisah-pisah seperti suku, ras, agama dan sebagainya. Tidak jarang kita mendengar terjadinya perselisihan antar golongan, suku, maupun agama. Seperti visual pada karya ini, membentuk satu benda, yang dimaksud disini adalah Indonesia, tetapi antara tanah yang satu dan tanah yang lainnya tidak menyatu (yaitu semua perbedaan yang ada di Indonesia).
Gumelar Wahyu Aji
Pada karya kali ini saya memainkan indra penglihatan yaitu mata dalam prosesnya dengan memejamkannya untuk dapat melihat dan menghadirkan proyeksi visual dalam ruang hampa. Ambience yang gelap merupakan impresi awal yang saya rasakan dalam prosesnya, namun jika diperhatikan secara perlahan dan mulai hanyut didalamnya, terdapat berbagai macam warna dan tekstur muncul dalam kegelapan itu dan hadir menjadi berbagai macam bentuk. Tak dapat dipungkiri juga bahwa ada distraksi dalam prosesnya sehingga imaji yang muncul hancur/chaos. Lain halnya jika indra penglihatan tersebut diinduksi dengan pergeseran kesadaran baik dengan chanting atau subtansi kimia seperti yang dilakukan oleh beberapa leluhur. Imaji yang muncul merupakan akumulasi bawah sadar yang berusaha untuk berkomunikasi dan mengingatkan untuk introspeksi diri.

0 Comments

november rain

10/18/2020

0 Comments

 
Picture
‘NOVEMBER RAIN’, Display & Process
Tempat: Miracle Prints, Suryodiningratan MJ. II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
 
‘Display & Process #1’ Herly Gaya & Joko ‘Gundul’ Sulistiono
4 – 14 November 2020
 
‘Display & Process #2’  Keluarga Edo Pop  & Rifzikka Atmadiningrat
18 – 28 November 2020
 
Siapa tak kenal lagu November Rain dari Gun’s N Roses? Lagu panjang berdurasi 8 menit 52 detik ciptaan Axl Rose ini mengisahkan kesedihan akibat cinta yang bertepuk sebelah tangan. Lagu ini begitu terkenalnya dan dianggap sebagai lagu ballad terbaik sepanjang masa.
Menyambut bulan November ini Miracle Prints akan menampilkan 2 kloter display Duo seniman, masing-masing berlangsung 10 hari. Display akan dilengkapi dengan sesi tayangan langsung (live streaming) proses berkarya setiap seniman yang terlibat sehingga penonton tidak hanya disuguhi karya jadi namun juga dapat merasakan prosesnya.
‘NOVEMBER RAIN’, Display & Process, demikianlah judul pameran ini. Materi pameran berupa karya-karya yang didisplay di ruang galeri dan siaran langsung  proses berkarya seniman.
Menjalani masa-masa pandemi Covid 19 yang berkepanjangan  barangkali buat sebagian orang bagaikan tengah merasakan kisah patah hati sebagaimana digambarkan oleh lirik lagu legendaris Gun’s N Roses tersebut. Ada yang dapat mengatasinya dengan positif namun tidak sedikit pula yang berakibat negatif, merusak diri sendiri dan menjadi tidak produktif.
Seniman seharusnya dapat mengatasi dengan positif masa  ‘tidak mengenakkan’ ini dan menumpahkan kisah-kisahnya dalam karyanya. Apapun bentuk dan wujudnya.
Hujan di bulan November akan selalu dikenang. Begitupun karya-karya seniman.
…………………/We still can fine away/‘Cause nothing last forever/Even cold  November rain.
 
Syahrizal Pahlevi/Miracle Prints

Picture
Live streaming IG Miracle_Art Herly Gaya: Jumat, 6 November 2020, pukul 14.00-selesai/ Joko Sulistiono: Jumat, 13 November 2020, pukul 14,00-selesai
Picture
Live streaming IG Miracle_Art: aksi melukis Rifzikka Atmadiningrat, Senin, 23 November 2020, pkl. 14.00 - 15.00
0 Comments

melihat

10/9/2020

0 Comments

 
Picture
Melihat Dengan Pikiran.
Oleh : Alex Luthfi R.
 
I. Pengembaraan Johny Gustaaf.
 
Semangat berpameran Johny Gustaaf tidak runtuh oleh pandemi COVID-19 yang melanda Nusantara. Selama 14 hari ke depan (14 - 28 Oktober 2020), akan digelar lebih dari 20 karyanya di Miracle Prints Yogyakarta.
 
Pelukis berdarah Ambon kelahiran Jakarta ini, pada tahun 2005 studi seni lukis di SMSR Yogyakarta. Setelah lulus sekolah seni, pada tahun 2011 memutuskan menimba pengalaman dan sekaligus mencari rezeki di Maliboro pusat wisata kota Yogyakarta sebagai  pelukis potret.
 
Lebih dari 5 tahun menjalani hidup sebagai pelukis potret, Johny Gustaaf  banyak menerima pesanan lukisan dengan corak realis dan impresionis. Selama berkarya dengan corak realis dan impresionis untuk memenuhi pesanan pecinta seni, membuatnya menjadi peka terhadap kualitas warna dan cara mengharmonisasikannya. Dari pengalaman artistiknya ini, kemudian menjadi awal  dan sekaligus pemicu baginya untuk melukis secara mandiri.
Johny Gustaaf  akhirnya memutuskan tidak menerima pesanan pecinta seni lagi dan berkarya dengan bebas serta mandiri, untuk memberikan keleluasan bagi ide-idenya.
 
Johny Gustaaf, adalah tipe anak muda yang pandai berkomunikasi dan memiliki banyak teman pelukis. Pertemanannya dengan pelukis ternama di Yogyakarta, dan para alumni SMSR Yogyakarta, memberikan banyak pelajaran untuk dirinya.
 
Pengembaraan seorang Johny Gustaaf dengan mengunjungi banyak teman, lalu berdiskusi, membuatnya lebih dewasa di dalam memahami hidup sebagai pelukis. Dari pertemanan tersebut,  dirinya memperolah segudang pengetahuan juga wawasan,  yang dapat membangkitkan dirinya dan kemudian  menetapkan jalan hidupnya sebagai pelukis yang visioner.
 
Pameran ini adalah pameran tunggalnya yang perdana. Johny Gustaaf ingin menegaskan pada publik pecinta seni bahwa dirinya sudah hadir. Dan eksistensinya sebagai pelukis, ditunjukannya melalui karya-karya barunya yang ekspresif.
 
Melihat, dipilih menjadi tajuk untuk pameran tunggal perdananya. Kata “melihat”  dapat mengungkapkan berbagai hal  tentang dan mengetahui fenomena yang terjadi melalui indera mata. Dari Melihat tentu akan ada proses penjiwaan, yaitu meresapi dan menghayati sesuatu yang nampak serta apa yang ada disebaliknya.
 
Jadi pilihan daripada  kata Melihat ini,  Johny Gustaaf berkeinginan agar masyarakat dapat mengapresiasi karya seni lukisnya dengan  lebih cermat lagi. Kita bisa melihat  citra artistiknya dari bidang-bidang kanvasnya  yang sarat dengan dinamika warna serta goresan kuasnya  yang ekspresif itu.
 
 
II. Melihat Lukisan Johny Gustaaf.
 
Pada tahun 2017, untuk pertama kalinya Johny Gustaaf mencipta karya seni lukis dengan corak ekspresionis. Perubahan corak seni lukisnya ini, berhubungan erat dengan perasaan batinnya yang ingin lebih bebas dalam mengekspresikan gejolak emosinya di atas kanvas.
 
Johny Gustaaf dengan corak seni lukis ekspresionistis, seperti menemukan dunia barunya. Setiap hari melukis tiada henti, semangat yang ditunjukannya bertujuan untuk  mendapatkan hasil yang maksimal. Maka di dalam kurun waktu 3 tahun ini, kemajuannya sungguh luar biasa, produktivitasnya mampu menghasilkan lukisan yang indah dan semakin berkembang  tekniknya.
 
Dalam perbincangan sore di studionya, Johny Gustaaf menjelaskan dengan panjang lebar proses kreatifnya. “ ....goresan kuas  dengan varian garis-garis, aksen guratan-guratan pisau palet/kuas tumpul dan blok bidang warna menjadi unsur penting dalam seni lukis saya. Hasilnya, dari permainan warna, sapuan kuas dan guratan garis-garis (improvisasi) yang saya komposisi di atas bidang kanvas, dapat menjadi dinamis dan harmonis. Kemudian untuk ide-idenya, inspirasinya saya dapatkan dari keindahan alam semesta yang pernah saya lihat dan hayati”.
 
Kesan pertama yang saya peroleh ketika melihat dan mencermati semua lukisan yang diciptakan, adalah jiwanya yang lapar. Meskipun semua karya yang dihasilkan memiliki ciri dan detail yang hampir serupa, namun sensasinya tetap saja menggetarkan jiwa. 
 
Setelah saya lebih dalam lagi masuk ke wilayah proses kreatifnya, terungkap bahwa dirinya tidak ingin kehilangan keaslian dan spiritualitas seninya. Perasaan yang paling pribadi olehnya diekspresikan dengan meledak-ledak, terbebas  dari norma objek. Maka Johny Gustaaf saat ini sudah sampai pada penemuan formulanya sendiri untuk menghasilkan ciri dari seni lukisnya.
 
Baginya momen-momen puncak  dari suasana hatinya, harus segera ditranformasikan pada bidang kanvasnya. Sapuan kuas yang liar, komposisi warna yang dinamis, torehan aksen garis, merupakan drama dan eksperimentasi yang menghasilkan efek serta sensasi mengejutkan. Proses kreatif yang dilakukannya, memang memiliki kemiripan proses dengan yang dikerjakan oleh para pelukis ekspresionisme, yaitu  tidak ingin kehilangan momen serta moodnya.
 
Warna menjadi bentuk, sapuan kuas liarnya adalah jiwa dan guratan garis-garisnya merupakan perlambang dari suasana pikiran dan hati.
Mengapresiasi seni lukis Johny Gustaaf seperti “melihat” jiwa yang bergerak. Untuk itu sebaiknya kita membaca lukisannya tidak dengan mata, tetapi dengan pikiran, agar dapat memahami misteri yang berada di dalamnya.
 
Selamat berpameran dan sukses.
 
Yogyakarta, 14 Oktober 2020.
Saung Banon Arts Yogyakarta

0 Comments

Oyot

10/9/2020

0 Comments

 
Picture
OYOT
Pameran Tunggal Lukis Eksperimental – Karya Nur Aziz
 
Perjalanan waktu yang semakin kesini memang semakin memicu penalaran tertentu bagi para perupa. Bukan sebagai orang yang pertama dalam suatu hal, akan tetapi menjadi perupa yang semakin berani mengangkat gagasan atau menuangkan ungkapannya secara gamblang bukanlah hal yang sepele. Sejatinya, arus zaman dan tren seni rupa terkini yang terikat pada era kontemporer juga memberi pengaruh kepada para seniman/perupa dalam eksplorasi berkeseniannya. Tak terkecuali Nur Aziz, seorang perupa muda kelahiran Temanggung, 20 Agustus 1996 yang berdomisili di Yogyakarta, menggeluti dunia seni lukis eksperimental dalam beberapa waktu terakhir dan memutuskan untuk melancarkan pameran solo perdananya dengan tajuk “OYOT”.
Oyot yang berarti akar adalah hasil dari proses kontemplasi Aziz dimaksudkan sebagai simbol yang memaknai langkah pertamanya dalam berbagai hal termasuk kegiatan berkesenian yang ia tekuni. Segala permasalahan kehidupan yang termasuk didalamnya berkarya memiliki alasan-alasan yang mendasarinya. Aziz cenderung mencipta karya dengan eksplorasi media yang terinspirasi dari seni rajut yang memberikan kesan tersendiri pada karyanya. Secara umum karyanya merupakan lukisan abstrak dengan media lukis berupa kanvas dan cat akrilik. Uniknya ia menggabungkan seni rajut dalam komposisi lukisannya. Penempatan rajut pada karyanya bukan sembarang, tetapi memang Aziz sengaja memilih kanvas-kanvas yang tidak utuh dan memanfaatkan rajut untuk menyempurnakan bidang pada media lukisnya. Disitu dapat terlihat pula bagaimana Aziz sebagai seorang perupa memiliki sudut pandangnya sendiri dalam memilih media dan bahan untuk berkarya.
Membaca karya-karya perupa seperti Aziz adalah semacam refleksi terhadap eksplorasi yang semakin liar dengan mencipta karya lukisan yang dibumbui keteknikan instalasi. Walaupun pada dasarnya karya seni instalasi merujuk pada visual perupaan 3 dimensi, tetapi dalam hal teknis bisa disatukan dengan kemampuan merangkum persepsi dan pengolahan ide dan medium-medium yang ada, sehingga saya menyebut karya-karya seperti ini sebagai karya instalasi 2 dimensional. Melihat beberapa dari karyanya memang terlihat cukup sederhana dari segi visual, tetapi pada visualisasi tersebut secara umum Aziz menyajikan pemaknaan tertentu mengenai dasar pengangkatan gagasan hingga proses penyajian karya. Warna-warna yang mengabstraksi bidang lukisannya menguatkan hubungan simbolik antara ide dan pencapaian makna.
Dalam obrolan saya bersama Aziz, ia menjelaskan pemaknaaan yang merujuk pada cara ia memanfaatkan alam menjadi salah satu elemen estetis sebagai sebuah ungkapan terimakasih kepada alam yang banyak memberikan manfaat bagi manusia. Tali yang digunakan untuk variasi rajutan adalah tali rami yang berasal dali bahan-bahan alami seperti kulit pohon ataupun serat-serat tanaman. Aziz memilih tali alam sebagai kiasan asal mula terciptanya kanvas, dan ini merupakan respon imaji terhadap historis sebuah media yang digunakan, Aziz memandang kanvas sebagai media yang memiliki historis yang dihubungkan dengan tali rajutan yang diaplikasikan pada karyanya dan menjadikan nilai historis itu sebagai unsur yang menyempurnakan karyanya.
Kembali pada pemaknaan sang perupa, Nur Aziz terhadap tajuk “Oyot” ini, sebuah tindakan awal yang meng’akar’i atau mendasari langkah-langkah selanjutnya menjadi motivasi tersendiri sebagai seorang perupa yang berusaha menyajikan ungkapan terhadap realitas dengan bentuk abstrak namun memiliki daya eksplorasi bermakna yang patut diapresiasi menjadi pengalaman estetis bagi kita semua sebagai khalayak seni.
 
                                                                                                           
Andy Junaedi

0 Comments
<<Previous
Forward>>

    Author

    Write something about yourself. No need to be fancy, just an overview.

    Archives

    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    August 2021
    June 2021
    May 2021
    April 2021
    March 2021
    January 2021
    December 2020
    November 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018

    Categories

    All

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.