
100 Tahun Widayat
Seniman: Seniman undangan dan hasil seleksi aplikasi terbuka
Kurator: Syahrizal Pahlevi
Seleksi karya aplikasi terbuka: Risman Marah, Dedi Yuniarto, Ria Novitri
Penulis: Wahyudin
Pembukaan: Jumat, 18 Oktober 2019, pukul 16:00
Dibuka oleh: dr. Oei Hong Djien
Tanggal Pameran: 18 Oktober - 2 November 2019
Alamat: MIRACLE PRINTS, Suryodiningratan MJ. II/853, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
Jam buka: Senin - Sabtu, ukul 10:00 - 17:00
Website: www.terasprintstudio.com
Deskripsi:
Widayat itu penuh daya magis yang menyihir. Karya-karyanya, kisah hidupnya, gaya mengajarnya yang eksentrikk, kesan para kolektornya sampai carut marut pengelolaan museum yang ditinggalkannya.
Karya: Istilah “Decora Magis” oleh Agus Darmawan T
Teknik: Dijuluki seniman serba bisa. Mulai dari seni taman, seni grafis, sketsa, lukisan, relief.
Quote: “Greng”, “jelek saja belum apalagi bagus”
Gaya mengajar: Menunjuk lukisan mahasiswa dengan menggunakan kaki, Mengacuhkan mahasiswa.
Carut marut museum: Peristiwa hilangnya ratusan karya Widayat dari museumnya yang diberitakan oleh pers.
OHD: Widayat adalah salah seorang seniman perupa Indonesia yg sangat penting, dari segi karya maupun dlm bidang pendidikan. Ia telah mengembangkan gaya unik yg disebut dekora-magis, dekoratif yg mempunyai ciri2 non- perspektif, ada repetisi bentuk dan memenuhi bidang kanvas, namun tidak manis, malahan magis. Dekorativisme sangat erat hubungannya dg ornamentasi di karya tradisional yg oleh Widayat ditransformasikan jadi modern. Maka karya Widayat tak ada/lazim di Barat. Karyanya di atas kertas spt drawing, cat air, woodcut print juga bagus2. Ia mengabdikan diri untuk mengajar di ASRI - ISI Jogya setelah lulus selama 34 tahun. Ia mempunyai pengaruh besar pada seniman Jogya hasil didikannya. Oleh karena jasa2nya itu semua, sudah selayaknya kita memperingati hari jadinya yg ke-100 seperti kita memperingati seniman2 sebelumnya:Affandi. Sudjojono, Hendra Gunawan
Namun nama Widayat tidak berhasil menyihir seniman-seniman muda atau pendatang baru. Buktinya banyak dari mereka yang tidak tahu siapa Widayat.Tidak tahu karya-karyanya. Mereka sepertinya tidak peduli. Apa yang salah dari endidikan seni rupa kita hingga sosok Widayat tidak masuk dalam semua kurikulum pengajaran seni rupa Indonesia? Ataukah memang mahasiswa tersebut termasuk ‘kucluk’ atau sering bolos mata kuliah seni rupa Indonesia?
Pada 100 Tahun Widayat
Lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, 9 Maret 1919—pelukis Widayat atau, resminya, H. Widayat, berusia 100 tahun di tahun 2019 ini. Tapi kita tahu, pada 22 Juni 2002, dia telah berkalang tanah.
Sepanjang umurnya yang delapan puluh tiga itu Widayat mengesankan sebagai juru ukur pegawai kehutanan dan juru gambar peta rel kereta api di Palembang; pimpinan Seksi Penerangan—dengan pangkat Letnan Satu—di Divisi Garuda Sumatra Selatan (1945-1947); pendiri Pelukis Indonesia Muda (PIM) bersama G. Sidharta, Murtihadi, Sayoga, dan Suhendra (Yogyakarta, 1954); Dosen seni rupa ASRI, pendiri dan pemilik Museum Haji Widayat di Mungkid, Magelang, Jawa Tengah (1994); Pelukis serbabisa; dan Maestro Seni Lukis Indonesia.
Atas semua itu, Widayat meninggalkan dua warisan estetis yang paling dikenal dan dikenang penghayat seni rupa (di) Indonesia—bahkan manca negara—yaitu lukisan “Dekora Magis” dan “Greng”.
Yang pertama adalah karya seni rupa, benda budaya, dan obyek artistik yang memampukan Widayat terpandang sebagai salah satu pelukis Indonesia terkemuka pasca generasi Affandi, Hendra Gunawan, dan S. Sudjojono. Alih-alih, lukisan-lukisan “Dekora Magis” Widayat tidak hanya bernilai artistik tinggi, tapi juga bernilai ekonomi menjulang dan menggiurkan banyak pecinta dan penjaja karya seni rupa (di) Indonesia.
Yang kedua adalah semacam kata kunci Widayat untuk mengidentifikasi dan/atau menilai lukisan. Seturut kata kunci itu, sebuah lukisan yang tersimpulkan baik-apik jika terdapat “Greng”. Dalam kalimat penulis seni rupa Agus Dermawan T., “Greng” merupakan “istilah khas Widayat untuk menandai lukisan-lukisan yang memiliki optimasi ekspresi, teknik perwujudan, getaran, serta keluasan imajinasi dan fantasi.”
Yang menarik, kata kunci ini justru populer melalui kolektor besar Oei Hong Djien (OHD). Sampai-sampai, bila tak senantiasa diluruskan OHD, banyak orang mengira kata kunci tersebut berasal dari atau kepunyaan pemilik OHD Museum, Magelang, itu.
Demikianlah, dengan kedua warisan itu, nama Widayat tetap bertakhta di lidah dan hati penghayat seni rupa Indonesia, utamanya di Yogyakarta, sekalipun ia telah berada di alam baka sejak 17 tahun lalu.
Pameran bertajuk “Legenda Magis” ini menggelar pusparagam karya seni rupa—antara lain lukisan, gambar, grafis, patung (kertas dan logam), dan keramik ciptaan 84 seni rupawan Indonesia lintas generasi yang tinggal dan berkarya di Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Tangerang, Banyuwangi, Temanggung, Sumedang, Solo, Magelang dll. 21 perupa diundang secara tertutup, 63 perupa dipilih lewat undangan terbuka oleh Risman Marah, Dedi Yuniarto, dan Ria Novitri.
Dengan itu, pameran ini berkehendak mempresentasikan ikhtiar kreatif—pikiran, perasaan, dan tanggapan—perupa atas riwayat daya cipta Widayat, terutama yang berkenaan dengan “Greng” dan “Decora magis” dalam bahasa visual seturut kadar dan kecenderungan artistik atau sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi mereka.
Dari situ kita boleh memandang “Legenda Magis” ini sebagai eksposisi karya seni rupa yang dianggap “Greng” oleh 90 perupa Indonesia atau merupakan tafsir estetis mereka atas “Greng” atau “Decora Magis” atau riwayat kreatif Widayat yang melegenda di dunia seni rupa Indonesia—bahkan di dunia seni rupa manca negara.
Yogyakarta, 18 Oktober 2019
WAHYUDIN,
Kurator seni rupa