Pameran Tunggal Agung ‘Tato’ Suryanto
Apresiasi yang tidak sama terhadap seni di berbagai daerah bisa menjadi pijakan ide buat seorang seniman berkarya. Bisa jadi di suatu daerah apresiasinya dianggap sudah begitu tinggi namun di suatu daerah lain apresiasinya masih dianggap rendah sehingga kurang memuaskan seniman.
Kali ini seorang perupa, Agung ‘Tato’ Suryanto menyandarkan ide-ide patung terbarunya yang akan dipamerkan di Miracle Prints, Gallery, Artshop & Studio, Yogyakarta mulai tanggal 9 sampai 22 Januari 2021 dari perbedaan apresiasi yang ditangkapnya. Judul pamerannya singkat: SELO.
Agung Tato mencatat betapa patung-patung ready made berkarakter ‘action figure super hero’ yang dikonsumsi kolektor mainan tidak pernah mendapat tempat dalam khazanah seni patung di tempatnya belajar dan mengajar di Surabaya.
Padahal menurutnya patung-patung tersebut dibuat dengan kaedah seni patung yang serius sebagaimana diajarkan di akademik.
Sepintas ini hal sepele. Namun hal sepele sering justru dapat menjadi sangat fundamental yang berimbas pada kekuatan ekspresi yang akan dihadirkan seniman dalam karya-karyanya.
Itu satu soal atau SELO pertama…….
SELO lain.
Secara kebetulan Selo adalah nama sebuah dusun di pertemuan kaki gunung Merapi dan gunung Merbabu. Dusun ini begitu terkenal di kalangan para pendaki termasuk Agung Tato sendiri yang juga suka mendaki gunung. Aroma bebatuan yang menghampar dan menjadi daya hidup penduduk lokal di sekitar kaki gunung memberi kesadaran pada Agung untuk melekatkan karakter batu yang keras dan pejal pada karya-karyanya.
Ini semacam empati dan penghormatan atas kekuatan lokal yang mencerminkan kehidupan yang pantang menyerah demi menghidupi keluarganya. Buat Agung apa yang ia saksikan semacam “super hero’ kecil di dunia nyata yang patut diapresiasi.
SELO ketiga.
Saat ini Agung tengah mengambil studi doktoral di ISI Yogyakarta. Alhasil ia harus pulang balik Surabaya-Yogyakarta karena pekerjaan dan keluarganya ada di Surabaya. Karena ia ingin irama kerjanya tidak terputus gegara harus pulang balik, iapun membuat tempat kerja/studio di dua tempat.
Ia mengembangkan pola kerja yang bersifat mobile dimana karya-karya patungnya yang memerlukan waktu pengerjaan cukup lama didesain sedemikian rupa dapat dibawa pulang balik antara dua studionya. Karena itu objek patungnya dibuat ukuran tidak terlalu besar dan tidak memakan tempat saat harus dibawa naik bis atau kereta api.
Jebolan Arsitektur UNTAG ’45 Surabaya 1989 – 1997 ini menjabarkan judul pamerannya sebagai berikut:
“Kata ‘selo’ mengandung beberapa arti, tergantung cara pengucapannya. Selo bisa berarti waktu luang. Selo juga bisa berarti batu. Tapi selo juga berarti nama tempat. Sebuah desa sebagai titik mulai jika kita hendak mendaki gunung Merapi atau Merbabu.
Jika iseng kita ketik kata ‘selo’ pada google, masuk pada wikipedia, ‘selo’ mengacu pada beberapa hal; tempat, benda, dan nama tokoh. Pada tempat, ‘selo’ sebuah desa di kecamatan Selo, kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Desa ini berada persis di antara Gunung Merapi dan Merbabu. Pada benda, selo adalah sebuah alat musik gesek (cello). Dan nama tokoh, misal, Ki Ageng Selo.
Pada pameran tunggal kali ini, kata ‘selo’ saya sematkan sebagai judul utama. Kata ini muncul sekitar bulan September 2020 saat saya sedang mencari sebuah tema untuk menyatukan beberapa karya yang bisa saling terkait. Pas di bulan-bulan tersebut, saya sedang menarasikan untuk karya desertasi dengan subjek utama batu.
Asumsi saya, kata ‘selo’ adalah kata yang pas jika disematkan sebagai tema dalam pameran tunggal kali ini. Tema saya lebih menarasikannya pada waktu luang dan batu”. Demikian kata Agung Tato yang melanjutkan kuliah di seni rupa STKW Surabaya 1998 – 2008 kemudian Pasca Sarjana ISI Yogyakarta 2012 – 2014 dan kini tengah menjalani Program Doktoral di ISI Yogyakarta masuk tahun 2016.
Seni patung Agung Tato menyandarkan pada bentuk-bentuk boneka mainan ‘super hero’ yang digubahnya sedemikian rupa. Ia melakukan pemotongan, penempelan , penambahan bentuk dengan bahan epoxy clay hingga melakukan pewarnaan permukaan patungnya mirip atau mendekati karakter batu.
Gubahannya masih mengandalkan bentuk-bentuk asalnya yang sebagian besar tetap dipertahankan. Patung-patung tersebut tetap sosok berotot namun kini mengemban cerita baru, cerita yang diarahkan oleh senimannya. Tubuh-tubuh tersebut seakan dipinjam dan dilipat gandakan ke’hero’annya.
Terkait hal ini Agung Tato yang pernah memenangi kompetisi seni rupa Mandiri Art Award (2015), UOB (2013), Jakarta Art Award (2008) dan lain lain ini mengatakan:
“Kenapa figur mainan anak yang jadi materi pokok? Berawal dari rutinitas jika hari Minggu selalu bertandang ke pasar loak di Surabaya. Di suatu Minggu saya mendapatkan mainan jenis action figure "Hulk" dengan kondisi tak lengkap (tanpa tangan).
Dari mainan ini saya mendapat gagasan untuk menggubahnya. Karena dia tak punya tangan, saya menggubahnya dengan memberinya tangan, bukan hanya dua tapi enam. Seperti dalam arca Ganesha”.
Dari percobaan pertama tersebut Agung Tato lebih serius mencari mainan yang sesuai idenya. Ia mulai belanja mainan secara daring dari sebuah website dan bereksperimen dengan lebih banyak mainan dan bermacam gubahan.
Metode penggubahannya memanfaatkan potensi apa yang dilihatnya pada mainan tersebut. Dalam bahasa Agung Tato demikian: “Karena mainan action figure ini berkarakter melebih-lebihkan atau menyangatkan dan bersifat karikatur, maka saya menguatkan pada karakter tersebut. Misal, dengan menambahkan jumlah tangannya, menonjolkan tekstur tubuhnya, membesarkan ukuran tangan atau kakinya”.
Pamerannya kali ini selain karya patung ada juga lukisan berbahan silicon rubber. Namun yang dominan adalah patung-patung ‘pasca super hero’ dalam berbagai gubahan ganjil.
Munculnya gubahan bentuk-bentuk ganjil karakter super hero yang sangat berbeda dari keluaran pabriknya ini, Agung Tato seakan ingin mengatakan: ‘Nah, sekarang mereka adalah seni patung, mau ngomong apa lagi kalian….?”.
Syahrizal Pahlevi, perupa yang menulis
********************
*2nd Encounter*
Sila-sila teman ngopi silo di sela pameran selo Agung Tato
SAYA MASIH TERINGAT tinggal di jl. Parangtritis, tahun 2002, mendapat ajakan pameran di Galeri Surabaya. Tema-nya ‘Sebuah Perjumpaan’, semacam “A Encouenter?”, konsep acara promosi perupa dari jogja dua orang - Surabaya dua orang, jadi berempat yaitu Agung Tato (STKW), Didi tirtosari (Unipa), Nanang Zul (ISI) dan saya. Meskipun belum saling kenal kecuali saya dengan Nanang zul karena tinggal se-rumah di jogja, sepakat menyiapkan pameran itu bersama, sejak mengumpulkan foto dan data karya-biodata, hingga saya mengenal Agung Tato bukan sekedar mahasiswa baru stkw, beliau ini juga lulusan arsitek, hobi jalan-jalan di gunung, blusukan pasar loak dan kolektor buku. ‘Perjumpaan 2002’ ini pun jadi pameran pertama saya di Surabaya.
Ada ingatan indah saat pembukaan pameran itu, di sela-sela pengunjung masuk galeri kita mendapat ‘pujian istimewa’ dari dosen ‘senior’ stkw, Pak Nuzulis Koto dengan berteriak ‘Jelek!!’, hingga dinding galeri bergetar karena kejutan itu. Saya dan Kurator, Mbak Ika Ismurdyahwati (Bandung) saling pandang menatap sumber suara, serasa berdebar, senyum masam, lalu menyapa hormat ‘senior’, meskipun tanpa balasan imbang, dalam hati saya memilih lega karena penilaian jujur itu masih ada.
Karya Agung Tato waktu itu instalasi lampu bolam, dari berbagai bahan; ada bolam asli yang dinyalakan, ada dari keramik coklat-biscuit, dari gypsum putih plus kabel listrik, semua disebar dilantai hampir sepenuh galeri. Hanya sedikit space gerak, Sehingga pengunjung tidak santai melewati bolam untuk menikmati karya lainnya. Dalam hati (lagi), apa mungkin karena karya instalasi ini (bolam) atau karena seluruh karya yang dipamerkan telah merubah ruang jadi ‘terror’ hingga kita dapat ‘pujian istimewa’, entahlah, hingga kini kita malah makin berteman dengan ‘senior’, sekali lagi terima kasih Pak Nuzulis.
Kenapa saya harus berterima kasih? selama ini kita bikin karya sering basa-basi minta komentar, masukan, entah pesan atau kesan kalo perlu kritik dan pasar. Dari pembukaan itu saya telah mendapat banyak hal yang menggedor ke-malu-an, perasaan kerja, daya cipta, lintasan imajinasi, bahkan saat ini saya masih merasakan ‘pujian istimewa’ bikin hati riang, optimis pada disiplin seni.
Mungkin ada yang belum tahu bahwa agung tato itu ‘sadis’, santai tapi disiplin. Kerja profesional tapi tidak pelit resep, irit bicara tapi mudah berbagi pengetahuan kecuali kita yang malas bertanya. Beliau mungkin tidak pandai melawak karena bukan pelawak, tapi daya humor-satir sering terselip di karya-karyanya, misalnya membuat seni instalasi batu bisa bernafas kembang kempis (bukti dari kehidupan yang mendesah). Sedangkan untuk pameran tunggal ini Agung tato mempersiapkan karya Lukis kertas dan kanvas, mulai dari teknik tinta, cat air, cat minyak dan campuran bahan silicon rubber. Selain itu menampilkan karya 3 dimensi, berupa patung ‘figure action’ dengan pendekatan rakit ulang dengan bahan epoxy clay.
Menurut Agung Tato, tema SELO dipameran ini lebih menarasikan pada waktu luang dan batu. Sepertinya ada indikasi trend pendemi, karena aktifitas fisik yang dibatasi menginspirasi untuk memanfaatkan waktu luang dirumah, re:kreasi dari karya sebelumnya hingga karya baru. Waktu luang jadi pembebasan memori naik gunung, membuka rekaman karakter batu di sela gunung.
Dalam buku sejarah, batu digunakan untuk kebutuhan monument, kegiatan reliji, penanda tempat, titik pusat, termasuk jimat, karena dianggap tenang-abadi. Sedang waktu luang seperti ruang yang leluasa dan sia-sia, mengingatkan kutukan bagi Sisifus, semua keber-ada-an di dunia disebabkan dari tindakan sebelumnya. Sisipus mendorong batu hingga puncak, lalu meluncurkan batu itu ke bawah. bahwa proses menghadapi kutukan, bukan menyerah pada keadaan, termasuk keadaan mapan, melainkan melakukan perombakan. Melalui upaya mencari makna dari kehidupan itu sendiri.
Seperti karya-karya lukisan dipameran tunggal ini, Agung Tato mengabadikan suasana kelam pendemi dengan citra batu diberi judul ‘C19’, citra batu juga terdapat di lukisan ‘Melepas Wajah (Merapi)’, ‘Main Bola (Merapi)’, ‘Tatapan Malinkundang’, yang mengingatkan kisah legenda kutukan seorang ibu pada anak berubah ujud batu. Atau lukisan tentang ‘Old school’, ‘Dante’, ‘Selo Ageng’ menyiratkan figur super hero lokal. Sedang lukisan lainnya lebih mirip sketsa drawing berjudul ‘Fosil’, ‘Pembuat angin’, figur ‘M’ inisial ini menunjukan nama suku di Indonesia identik senjata khasnya.
Selain itu masih banyak cara orang memaknai hidup, dengan belajar sejarah, mengkoleksi barang antik, hingga berburu ke pasar loak. Seperti apa yang dilakukan oleh Agung tato tiap hari minggu blusukan ke pasar loak, yang membedakan kondisi dulu dan sekarang adanya wajib prokes. Dari pasar ini ada temuan ‘action figure’, patung super hero yang tidak utuh, kemudian di utak-atik di studio menjadi kreasi multi-segi yang menampilkan sosok di luar habitat normalnya.
Patung-patung ‘action figure’ itu di satu sisi, memiliki kosakata visual baru, di sisi lain - ikon budaya pop, barat. Keduanya dibenturkan dan menyatu, ditambah kesadaran bahwa visual paling biasa dari masa lalu tertentu dapat muncul kembali sebagai simbol yang mendefinisikan sejarah kejayaan, juga bagian dari penawaran ‘action figure’ yang bertema lokal. Dimana terselip humor kecil dan ingatan tajam untuk hal yang sangat populer. Karya-karya patung itu meskipun dibalut citra batu dan lava pijar namun dari gestur atau pose patung itu telah mengekspresikan konsep/nama /judul masing-masing, yaitu figur ‘Kalijaga’ dengan pose meditasi dan gangguannya, ‘ITB’ yang membanggakan ganesha, ‘Cong li’ gaya petarung boxing, ‘Membesarkan kepala’ sindiran figure public majapahit dengan kaca pembesar dan sebagainya. Bagi saya sebuah karya dengan ukuran yang tak terlalu besar orang akan dengan senang hati memusatkan perhatian pada detail. Penonton mungkin akan terdorong membungkus pikiran di sekitar karya yang dinikmati.
Untuk itu, dengan duduk bersila saya harap pameran SELO ini tidak ditangkap hanya soal teknis dan artistik saja, supaya sebagai karya seni bisa bicara sesuai sejarah penciptaanya, durasi keberadaan, bobot konten, dan barokahnya masing-masing. Sedikit banyak pameran ini bisa jadi simbol celah re:kreasi untuk zaman kita yang kelebihan informasi sekaligus berhadapan dengan situasi yang sulit dimengerti. Saya ucapkan buatsemuanyaja selamat menikmati, selamat berpameran buat teman ngopi silo.. terima kasih ajakan selo ini..
Syalabi Asya
*Museum of Mind*
06/01/2021
agung_tato-cv_new.docx |