Oleh Nunuk Ambarwati
PROFIL
Ini merupakan kali ketiga pameran tunggal seorang Agustina Triwahyuningsih atau lebih populer disebut Tina Wahyuningsih (lahir di Purwokerto, 11 Agustus 1977). Pameran tunggal pertama di tahun 2011 (di Via Via Cafe, Yogyakarta), disusul pameran tunggal kedua di tahun 2013 (di Tirana Art Space, Yogyakarta) dan baru kembali menggelar pameran tunggalnya di tahun ini 2022 di Miracle Prints, Yogyakarta. Namun demikian, kiprah kekaryaan Tina di dunia seni rupa tak diragukan lagi seiring aktifnya dia mengisi berbagai ruang pamer di Indonesia maupun manca negara.
Tina memang tidak menempuh studi pendidikan seni rupa, latar belakang pendidikan dia adalah Jurusan Psikologi (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta) – tapi lingkungan, pertemanan bahkan pekerjaannya sejak dia lulus kuliah, banyak bersinggungan dengan seni rupa. Bahkan di kampus tempat dia studi, Tina berhasil menyabet penghargaan sebagai juara pertama lomba lukis (2003). Membuktikan bagaimana bakat kreatif sudah ada dalam dirinya. Kemampuan adapatasi Tina yang cepat, mudah, menyenangkan dan terbuka, membuat ia bisa menyerap berbagai teknik teknik berkarya untuk dia tuangkan dalam imajinasi dan idealismenya sendiri.
KARYA
Mari memasuki ruang pamer, kita akan disuguhi nuansa monokrom (= gradasi tone dalam satu warna), yaitu warna merah jambu dan putih di ruangan Miracle Prints. Totalitas nuansa merah jambu ini tak hanya didapatkan dari detail karya tapi juga ruang pamer (akan dicat dengan nuansa yang senada). Ia sudah menyiapkan empat karya dua dimensi, masing masing berukuran 110 x 110 cm (ada dua karya) dan ukuran 50 x 50 cm (dua karya).
Kemudian masih ada juga karya berupa boneka yang ditempel di kanvas ukuran 50 x 100 cm, berjumlah dua karya. Tina menggunakan media dari blacu, dakron, cat akrilik, kain tile dan beberapa ornamen. Dan sebuah karya instalasi yang disetting diatas karpet, yang merupakan karya kontemplasi. Kita bisa merasakan ada kelembutan sekaligus kekuatan dari setiap karya yang Tina hasilkan.
Studio kerja Tina adalah di rumah, dimana dia habiskan bersama keluarga besarnya. Maka persinggungan perkara domestik sangat kental bagi proses berkarya Tina. Beberapa keterbatasan mempengaruhi proses kreatif seniman menghasilkan karya, termasuk soal ruangan. Penanda baru di pameran tunggalnya saat ini adalah ia menampilkan karya dua dimensi yang cukup besar kali ini, dimana ia biasa memproduksi karya dengan dimensi yang tentengable atau mudah dibawa.
Tengok salah satu karya lukisnya berjudul “Ngekor” (50 x 50 cm), digambarkan setengah kepala seorang perempuan yang mendominasi separuh bidang kanvas. Dan tampak di belakang, banyak sekali figur badut-badut seolah-olah ingin mengikuti perempuan itu. Tina ingin menyampaikan tentang masyarakat yang cenderung suka ngekor (mengikuti) dengan berbagai tujuan. Ada yang tujuannya meniru, mengawasi (kepo), ingin menyamakan dirinya dengan idolanya dan seterusnya. Badut badut itu rata rata digambarkan serupa, tak nampak beda. Dan posisinya di belakang, ya karena mereka mengekor saja, ekor letaknya di belakang. Mau jadi siapakah kita, si perempuan yang ada di depan, atau rombongan badut yang di belakang?
Salah satu karya berdimensi besar, berukuran 110 x 110 cm, berjudul “Having Fun #1”. Menggambarkan seorang yang sudah dewasa naik kuda mainan. Setidaknya ada dua parodi yang ingin disampaikan Tina dalam satu frame ini. Pertama persoalan gender, Tina berhasil menggambarkan sosok yang kabur identitas gendernya. Tampaknya seperti seorang wanita, tapi dia berkumis. “Itulah parodi!”, ungkap Tina, tampak seperti wanita atau laki laki. Kedua, persoalan usia, yang digambarkan bermain disitu adalah seorang dewasa, bukan anak-anak. Parodi, orang dewasa yang masih kekanak-kanakan atau hati-hati “bermain” permainan orang dewasa. Bahwa dalam setiap orang pasti ada jiwa kanak-kanak. Hasrat ingin bermain akan tetap ada entah bentuk permainannya seperti apa.
Bagi seorang Tina yang lihai di perkara domestik wanita (menjahit, memasak, menata / dekor, merangkai bunga dll), membuat boneka atau soft toys merupakan kesukaan tersendiri, bahkan dulu dia sempat punya brand “Jahitangan”. Sesuai passion-nya, Tina masih menghadirkan karya berbahan boneka yang ditempel di kanvas bertajuk “Being Happy Clown” #1 dan #2. Bercerita tentang dedikasi. Bagaimana seseorang menjalankan profesinya dengan maksimal, idealisme dan sukacita. Kurang lebih menggambarkan dirinya sendiri yang menjalani totalitas dalam berkesenian dengan bahagia selama ini.
BADUT & MERAH JAMBU
Pameran tunggal kali ini mengangkat judul “Pembadutan Merah Jambu”. Hmm... terkesan agak politis ya. Sementara, jika kita kembali menelisik judul pameran tunggal sebelum-sebelumnya, Tina mengalir ringan saja dan menampilkan imajinasi bahkan hiburan. Tampaknya, pemberian judul ini juga penanda seiring kematangan proses berkarya ibu satu anak ini, disamping matang secara usia. Lalu apa yang ingin disampaikan dari “Pembadutan Merah Jambu”?
Pertama, Tina banyak menampilkan figur badut pada presentasinya kali ini. Menarik benang merah kekaryaan seorang Tina Wahyuningsih – ia masih konsisten menyukai dunia sirkus mau pun karnaval ala Eropa. Bahkan Tina sempat berkunjung ke Eropa (tepatnya Rusia) dalam konteks pekerjaan saat itu, dan membawa pengalaman estetis tersendiri bagi kekaryaan dia. Dunia sirkus itu banyak menampilkan warna yang terang, menarik fokus, menghibur, imajinasi diliarkan, ada unsur hiburan tapi juga kadang adrenalin kita dipermainkan. Kali ini, Tina memfokuskan diri mengambil satu ikon sirkus, yaitu badut.
Badut merupakan representasi sosok yang menghibur, periang, terkesan lugu atau bodoh, tolol tapi dia lucu dan apa adanya. Bagi Tina, sosok badut disamping lucu, dia juga misterius bahkan intimidatif. Seiring perkembangan jaman dan dunia hiburan - sosok badut bisa menjadi dua sisi penggambaran yang ambigu yakni lucu atau menakutkan. Maka Tina menyebutnya bahwa badut sebagai simbol kamuflase kehidupan. Untuk itu, karya Tina kali ini banyak menyoroti persoalan parodi kehidupan dan hubungan antar manusia.
Kedua, warna merah jambu itu sendiri. Warna merah jambu sering disebut warna pink. “Pembadutan Merah Jambu”, karena Tina sengaja menampilkan warna monokrom, pink dan putih sebagai nuansa utamanya. Menurut saya sebagai penulis, ini juga adalah proses kematangan Tina dalam berkarya. Dalam beberapa kesempatan, Tina mungkin sudah katam menampilkan warna warna cerah, terang dan menarik sesuai kesukaan dunia sirkus dan karnaval tadi. Maka kesempatan kali ini, dia gemas, dia ingin menantang diri sendiri untuk mengolah rasa dalam satu nuansa monokrom, pink dan putih saja. Toh dia tetap berproses menemukan warna pink yang dia inginkan, tidak melulu menerima warna cat pabrikan dalam koleksi cat akriliknya. Secara psikologis, warna pink diasosiasikan sebagai sesuatu yang menyenangkan, kreatif, feminim, kekanak-kanakan, menyegarkan, eforia dan menenangkan. Dimana ini sangat menggambarkan karakter personal seorang Tina Wahyuningsih jika Anda sudah mengenalnya.
Ketiga, perihal ambigu, kamuflase, dua sisi. Penulis melihat bagaimana Tina ingin menampilkan dua sisi dalam kehidupan. Si ikon badut yang memiliki sisi – menggemaskan tapi bisa jadi sosok menyeramkan. Kemudian, perihal warna pink itu sendiri. Dimana warna pink merupakan pencampuran warna merah dan putih, warna antara, antara merah dan putih. Melalui pameran dan karya karyanya, Tina menyampaikan pesan bahwa tidak semua yang tampak secara visual akan sama maknanya. Seorang badut yang selalu ceria, belum tentu hatinya sama seperti senyum lebar yang dilukis di bibirnya. Jangan pula mudah menilai seseorang semata dari penampakan dirinya. Sosok yang menenangkan, bisa jadi dia seorang pembunuh yang sangat keji. Sebaliknya, seseorang yang bertampang seram bisa jadi dia lembut hatinya. Sama halnya seorang Tina Wahyuningsih, seorang perempuan Jawa yang kalem dengan senyum manisnya, tapi didalam dirinya, di pikirannya selalu berputar dengan ide-ide karya yang tak berhenti.
Merah jambu tak melulu berarti rindu.
Merah jambu bisa ambigu.
Selamat atas pameran tunggalnya yang ketiga untuk seorang Ibu, seniman, pekerja seni, sahabat kesayangan – Tina Wahyuningsih.