Solo Exhibition Syahrizal Pahlevi
23 Juli – 30 Agustus 2019
Tempat : NALARROEPA RUANG SENI, Karangjati Rt. 05, Rw. XI, Tamantirto Kasihan-Bantul,
Yogyakarta 55183
Seniman : Syahrizal Pahlevi
Materi pameran: Sekitar 30 karya cetak cukil kayu, cat air dan cat minyak di atas kertas, kain dan kanvas buatan tahun 2019
Pembukaan : Selasa, 23 Juli 2019, pukul 16.00 – selesai
Dibuka oleh :Maya Sujatmiko
Penulis : A. Sudjud Dartanto
Penyelenggara : Miracle Prints dan Nalarroepa
CP : Ria Novitri/081529816190, Dedy Sufriadi/08112546376
Mengejar Cahaya : Cezanne, Pahlevi, dan Impresi Sains
Di tengah fenomena pameran seni rupa belakangan yang ‘banyak mengusahakan kebaruan ide, bentuk dan teknik’, pameran tunggal Pahlevi kali berbeda. Pahlevi melakukan apa yang sering dikatakan pengamat seni sebagai sebuah praktik ‘apropriasi’, yakni sebuah metode meminjam ide, bentuk, dan teknik dari karya yang tergolong ‘masterpiece’, atau yang menjadi ikon dalam sejarah, dalam hal ini sejarah seni. Pahlevi mengamati Paul Cezanne (1839-1906), satu ikon aliran posimpresionisme dari Barat. Konteks mengamati ini penting. Pahlevi tidak sedang/sekadar melakukan praktik membuat karya ala seniman Eropa, namun bisa diletakkan posisinya dari ‘perspektif oksidentalis’, yaitu bagaimana Pahlevi sebagai ‘orang dari Timur’ yang melihat hasil dari ‘kebudayaan Barat’ (pengetahuan posimpresionsime Paul Cezanne).
Dalam kajian poskolonial, persoalan perspektif tandingan ini banyak dibahas. Jika dulu, orientalisme dipakai oleh Barat dalam memproduksi pengetahuan atas timur, maka sebagai perspektif berbalik, oksidentalisme menjadi strategi untuk membaca Barat, yang pada awalnya untuk meneliti, membongkar dan memperlihat asumsi dasar ‘pengetahuan Barat’ yang keliru dalam memandang ‘kebudayaan Timur’. Percakapan mengenai itu kami lakukan di studio Pahlevi pada suatu hari dengan cahaya pagi yang hangat. Dengan semangat Pahlevi memperlihatkan karya dari beragam teknik, dari teknik cukil kayu, mokuhanga, cat air dan cat minyak dalam mengapropriasi karya-karya Paul Cezanne, terutama Ia memberi perhatian pada seri karya ‘Still Life with Apples’ Cezanne yang termahsyur itu, kemudian Ia petik sebagai tema pameran tunggalnya ini. Kalangan seni rupa tentu sangat mengenali sosok Cezanne, ia bahkan menjadi satu menu wajib dalam pelajaran sejarah seni rupa Barat, baik di sekolah, maupun di perguruan tinggi seni.
Sebagaimana Levi, demikian ia dipanggil, siapapun akan tergoda untuk ingin tahu, mengapa karya itu dianggap hebat, penting oleh sejarawan dan museum seni, khususnya di Barat? Kita tahu, kebudayaan pengetahuan di Barat sangat menaruh perhatian pada berbagai temuan, termasuk dalam hal ini adalah temuan aliran seni, bahwa impresionisme ditangan Cezanne terus dipakai, terutama dalam pokok pengamatan pantulan cahaya atas benda dan ruang, walaupun Cezanne dianggap sebagai posimpresionis, Ia tetap tergila-gila pada praksis pengamatan atas pantulan cahaya terhadap objek dengan berbagai eksperimen mengubah tata aturan komposisi(set of rules). Temuan Cezanne berharga dan penting, karyanya bukan sekadar persoalan artistik (yang banyak dituduh demikian oleh orang), namun dibalik itu mengandung pengetahuan ‘binocular vision’, yaitu pengetahuan yang datang dari penglihatan tiga dimensi, meskipun bayangan yang jatuh pada kedua retina adalah bayangan dua dimensi. Inilah pokoknya. Dari eksplorasi itu Cezanne menjadi bagian dari deretan modernis Barat yang dianggap berhasil menunjukkan kerja ‘sains’ atas seni. Mengapa sains penting? Kita perlu membaca dari arah perspektif lebar, bahwa pada semangat jaman(zeigeist), kurang lebih pada abad 17, semangat renaisans (pencerahan) masih tergetar kuat, dan renaisans dalam seni adalah reaksi dari para seniman untuk mencari pengetahuan baru, ditengah dirinya dalam berelasi dengan alam dan semesta. Dasar dari pencarian itu adalah empirisisime, termasuk dalam hal ini, baik impresionisme dan posimpresionisme juga berangkat dari semacam kerja empiris, yakni membuktikan nilai cahaya atas konstruksi ruang/benda.
Dari uraian itu dapat kita pahami, pada gilirannya, museum-museum seni di Barat, pada awalnya, terkait dengan fungsi pemanggungan pengetahuan-pengetahuan seni yang lahir dari para ‘avant-gardis’/‘seniman jenius’, yang dianggap memiliki ciri tiga ‘O’ besar: Otentik, Otonom, Orisinal, dan Cezanne, salah satu diantaranya, yang pada awalnya sulit menembusnya. Seni rupa modern adalah seni rupa dengan watak ‘sains’ yang kuat. Di Indonesia, adalah mazhab Bandung dengan ITB sebagai pusat akademianya, yang pada awal kelahirannya menggusung formalisme, disana sama, seni adalah sebuah sebuah praktik saintifik, dan ini berbeda dengan mazhab Yogyakarta, dengan ASRI sebagai pusat akademianya, disini adalah realisme, dimana seni adalah alat perjuangan revolusi. Dari konteks ini, kita bisa dengan gamblang membicarakan pameran Pahlevi dengan Cezanne, sebagai ilmuwan seni, tentu konteks ilmuwan ini berbeda dengan Leonardo Da Vinci yang paripurna dalam segala keilmuannya, Cezanne bukan Da Vinci, namun ia tetap menyisakan jejak saintifik dalam karya-karyanya.
Bagi saya, tema “Still Life with Apples” ini bermakna simbolis, ia menyatakan sebuah wacana saintifik atas pengamatan hal yang sehari-hari yaitu objek yang bisa berupa buah, atau benda-benda di atas meja. Potret objek diam ini terkenal dalam ajaran seni rupa, setiap pelajar seni diharap bisa menguasai bentuk, arah cahaya, dan sebagai sebuah laku impresionistik perlu melihat dampak cahaya atas benda, dan lebih dari itu, bagaimana volume objek itu akan tampil ketika tata aturan komposisinya diubah-ubah. Perkara “still life” ini menarik, dalam tradisi seni rupa modern di Barat, gambar “still life” dianggap sebagai bagian dari representasi seni lukis modern, diatasnya ada seni lukis lanskap, diatasnya lagi ada seni lukis tokoh/figur yang memiliki kekuasaan, entah raja, pangeran, hartawan, dan semacamnya, diatas atau sejajar dengannya adalah pengambaran injil, atau hal yang berkenaan dengan religi. Hirarki itu tanpa sadar terbangun dan menjadi refleksi atas struktur kesadaran modernisme seni di Barat. Saya kira, dititik ini Pahlevi beririsan, dan sekaligus berbeda.
Sepengenalan saya dengan Pahlevi, ia seperti seorang ilmuwan yang tertarik pada perkara keteknikan. Latar edukasi Levi dari studio seni lukis, namun Ia justru meminati seni grafis, dan kita tahu didalam seni grafis ada beragam teknik yang rumit untuk dipelajari. Justru kerumitan itu menjadi sebuah seni tersendiri, dengan segala efek cetaknya, dari manual hingga digital. Didalam studio ini, Levi seperti sebuah ilmuwan, Ia dikenal tekun dalam memperhatikan detil produksi, dan pada pamerannya ini, Levi mencari titik nikmat pada setiap percobaan teknik yang Ia lakukan. Kita perlu melihat semua teknik yang Ia tempuh dan mari nikmati bagaimana Cezanne disitu, sebagai tokoh, sebagai metode posimpresionis, dan dalam ruang hilir mudik pandangan dari peradaban ‘Timur’ ke ‘Barat’ dan sebaliknya. Apakah ini akan sama dengan para orientalis yang mengejar cahaya sempurna hingga ke Hindia-Belanda?
Yogyakarta, 22 Juli 2019
Sudjud Dartanto
....................................
Statemen seniman:
STILL LIFE WITH APPLES (dan aspek-aspeknya)
Ini adalah seri kedua dari proyek ‘rekonstruksi old master’ setelah seri pertama rekonstruksi berupa pengerjaan 20 karya grafis teknik woodcut reduksi dalam berbagai ukuran yang dibuat tahun 2017 – 2019. Seri pertama rekonstruksi ini sebagian telah dipamerkan di MDTL Yogyakarta Januari 2018 yang lalu dengan judul “Dari Guanlan ke Arles” (Trilogi Reduksi I) dan sebagian sisanya dipamerkan di Kebun Buku Yogyakarta setahun kemudian pada Januari 2019 dengan judul “Bedroom in Arles” (Trilogi Reduksi II). Karya-karya seri pertama rekonstruksi berangkat dari impresi visual atas sebuah karya old master seniman Vincent Van Gogh berjudul “Bedroom in Arles” yang menggambarkan interior kamar tidurnya semasa tinggal di kota Arles, Perancis tahun 1888-1889.
Dalam seri kedua rekonstruksi ini saya menggeser perhatian pada karya-karya seniman old master lainnya yaitu Paul Cezanne yang mendapat gelar sebagai Bapak Seni Rupa Modern. Dari sekian banyak objek dan periode kekaryaan Paul Cezanne, saya tertarik kepada periode still lifenya yang berobjekkan buah apel dalam berbagai komposisi dan keadaan. Judul “Still Life With Apples” adalah salah satu judul karya-karya periode still life Paul Cezanne yang saya gunakan sebagai judul pameran ini dan juga menjadi judul beberapa karya yang saya buat. Jika pada seri rekonstruksi pertama saya fokus hanya membuat karya grafis dengan teknik woodcut reduksi, dalam seri rekonstruksi kedua ini saya mencoba meluaskannya dengan merambah teknik dan media lain. Selain dengan teknik woodcut reduksi cetak di atas kertas, saya juga membuat karya woodcut satu pelat yang dicetak di atas kertas dan di atas kain polos ditambah teknik mokuhanga yang merupakan seni cukil kayu tradisional Jepang berbasis air cetak di atas kertas. Lalu ada lukisan cat air di atas kertas dan lukisan berbahan cat minyak di atas cardboard, kertas dan kanvas. Perluasan media ini selain untuk memaksimalkan berbagai potensi yang cukup lama saya tinggalkan karena tengah memfokuskan pada karya seni grafis, terutama didorong kesadaran karena ada ekspresi yang tidak dapat dicapai hanya dengan satu teknik atau satu media saja.
Proyek ‘rekonstruksi old master’ ini sebenarnya berangkat dari ide sederhana menggali memori masa lalu, yaitu memori atas pekerjaan sambilan saya semasa menjadi mahasiswa seni rupa di FSRD ISI Yogyakarta hampir 30 tahun lalu. Pada tahun 1990-1992 bersama beberapa teman mahasiswa seni rupa lainnya saya terlibat dalam industri reproduksi lukisan old master Eropa di sebuah galeri kecil di pusat kota Yogyakarta. Kami membuat lukisan-lukisan repro berdasar gambar di poscard dari karya-karya seniman seperti Van Gogh, Cezanne, Renoir, Gauguin, Degas dan lain-lain dalam berbagai ukuran kanvas dengan tingkat kepersisan 70-80 %. Dorongan tersebut mendapatkan momentumnya sekembali saya dari menjalani residensi di China pertengahan tahun 2017 lalu dimana saya sempat mengunjungi sebuah pusat pembuatan reproduksi lukisan karya old master terbesar di dunia bernama Dafen Artist Village yang terletak di Shenzhen, China.
Ide kemudian berkembang dengan menjadikan karya-karya old master Eropa yang pernah direpro dahulu menjadi titik berangkat untuk membuat karya-karya personal yang bebas. Saya menyebutnya sebagai ‘rekonsruksi’ karena ide yang berangkat dari visual karya maupun aspek-aspek pendukungnya berupa pengetahuan mengenai objek kemudian ditelusuri, dianalisa, digubah, dirusak dan disusun kembali menjadi bentuk-bentuk baru yang dinamis. Hasilnya sering kali menjadi tidak terduga karena proses berkarya yang dimulai dengan perencanaan seperti halnya mendisain bertemu dengan keliaran intuisi atau gerak hati dan perasaan pada saat bekerja. Pikiran bisa berkait kemana-mana; ke persoalan dalam diri dan persoalan-persoalan diluarnya. Komposisi, bentuk dan warna yang muncul kemudian adalah refleksi atas semua hal yang terasakan saat itu.
Syahrizal Pahlevi
Baca juga liputan Gatra.com https://www.gatra.com/detail/news/432710