PRESS RELEASE
Judul pameran : “PURBA”
Tempat : Miracle Prints, jl. Suryodiningratan 34 Yogyakarta
Waktu : 25 Maret – 10 April 2017, buka Selasa – Minggu, jam 11.00 – 19.00
Pembukaan : Sabtu, 25 Maret 2017, jam 16.00
Dibuka oleh : Jerry Chamberland (art lover)
Seniman peserta : Joko “Toying” Widodo, Meuz Prast, Tina Wahyuningsih, Eddy Sulistyo, Hotland Tobing, Ugo Untoro, Dona Prawita Arissuta, Robi Fathoni, Alie Gopal,, “Jon Paul“ Irwan, Desy Gitary, Syalabi Asya, Susilo Budi Purwanto, Wahyu Gunawan, Allatief, Yani Halim, Basori “Kang Basori”, Tohjaya Tono, Franky Pandana, Jonson Pasaribu, Widarsono Bambang & Mumtaz khan Chopan.
Penyelenggara : TERAS Management, cp: Ria Novitri/081539816190
Website : www.terasprintstudio.com
Deskripsi : Pameran akan menampilkan 22 karya “drawing” dari 22 seniman yang tinggal di Yogyakarta, Nganjuk, Surabaya, Jakarta dan Medan. Semua karya bermaterikan media kertas sebagai unsur utama pembentuk dengan eksekusi khas masing-masing seniman. Ukuran karya bervariasi dari yang paling kecil ukuran 21x16 cm sampai terbesar ukuran 80x110 cm.
Kuratorial:
“PURBA (Ikhtiar Drawing)”
“Sambil kembali mengingat Rembrandt, Degas, Van Gogh dan buku-buku pelajaran Biologi zaman dahulu”.
Sekalipun memiliki kategori masing-masing, membedakan antara “drawing” dengan “sketsa” kadang bukan perkara sederhana mengingat kedekatan kedua media ini yang sama-sama berpokok pada aktivitas menggaris dan menggores. Dari segi pengertian drawing dapat dikatakan sebagai “hasil dari penekunan yang cermat atas sebuah sketsa” sebagaimana dikatakan oleh M. Dwi Marianto dalam tulisan pengantar sebuah pameran drawing: “Drawing adalah ide dan tampilan dari sebuah sketsa yang dielaborasi menjadi karya visual dua-dimensional; berpotensi sebagai fine art dan sekaligus applied art; dibuat dengan berbagai macam instrument, misalnya: pena, pensil. Pensil warna, technical pen, charcoal, kuas, pena dan apa saja” (Leaflet pameran “Drawing Pemersatu”, Studio Kalahan, Yogyakarta, Oktober 2016).
Begitu juga membedakan “drawing” dengan “lukisan” kini sama susahnya karena seringkali drawing tampil atraktif dan meriah seakan tidak mau kalah dengan tampilan lukisan yang powerfull dan canggih tekniknya. Seorang William Kentridge melangkah jauh lagi dan membawa media drawingnya sebagai elemen karya videonya, namun yang menarik tetap saja karya drawingnya tersebut dapat berdiri sendiri sebagai karya yang kuat dalam sebuah pameran. Sementara sketsa yang lebih mengutamakan garis sederhana dan bersifat spontan, biasanya akan jauh lebih mudah dibedakan ketika bersanding sejajar dengan lukisan yang lebih kompleks, colorfull dan penuh pertimbangan.
Lalu dimanakah posisi drawing? Apakah ia berada diantaranya; antara sketsa dan lukisan, jika drawing merupakan “tindakan lanjut” atas sketsa namun dianggap belum sampai lukisan? Atau ia memang tidak berada diantara keduanya dan mencari jalannya sendiri? Perkembangan seni rupa kini yang mendorong kaburnya batasan atau kategori media memang memungkinkan mendukung sikap mendua seniman, seperti pada kasus drawing. Sepertinya seniman bebas saja menentukan kapan ia mengganggap sebuah karya yang akan dipamerkannya sebagai drawing dan kapan sebagai bukan drawing. Begitulah yang terjadi.
Kata “PURBA” membawa imaji kita perihal “ketuaan” atau tentang “masa/zaman silam”. PURBA sebagai judul pameran ini adalah “dramatisasi” persoalan drawing yang sering dimitoskan sebagai persoalan kuno atau masa lalu dan tidak perlu mendapat porsi lebih dalam kekaryaan maupun perbincangan. Padahal sebagai media pendahulu, kePURBAan media drawing dibanding media seni rupa yang tumbuh kemudian mestinya tetap menarik sebagai alat ekspresi bagi para seniman. Tetapi pameran ini sama sekali tidak bermaksud menggiring imaji kembali ke masa silam tapi justru memperluasnya. Untuk itulah dalam undangan kepada seniman selain ada “kewajiban” penggunaan media kertas sebagai unsur utama dalam karya tetap ada kebebasan (baca: anjuran) jika ingin menambahkan media lain selain kertas dalam eksekusinya. Penambahan media tersebut bisa saja berupa kolase, cetakan, instalasi, video, audio sampai performance art termasuk apapun. Alasannya karena media kertas termasuk media tua dan telah sejak awal dipakai untuk membuat drawing oleh para seniman pendahulu namun konteks kekinian yang luas seperti hasrat mixed media dan kebutuhan melakukan kolaborasi oleh berbagai seniman tidak dapat dihindari. Memang tidak semua seniman serta merta menanggapi anjuran kuratorial yang berbau eksperimental ini. Semua pilihan akhirnya dikembalikan kepada perupa.
Drawing memang selalu menarik, justru karena berbagai kemungkinan eksplorasi dan perdebatan yang menyertainya. Setiap seniman dalam pameran ini memiliki definisi masing-masing mengenai apa itu drawing yang secara tidak langsung berimbas pada eksekusi karya mereka. Barangkali seperti yang sudah-sudah tetap muncul kembali perdebatan; apakah ini masih drawing ataukah bukan drawing? Tidak ada seni yang mutlak. Barangkali kita hanya sedang berikhtiar: “Ikhtiar Drawing”.
Syahrizal Pahlevi