Solo Exhibition SYAHRIZAL PAHLEVI
“DARI GUANLAN KE ARLES”
(Paket Reduksi Bagian I)
Tempat pameran : Museum Dan Tanah Liat, Ds. Kersan Rt. 5, Tirtonirmolo, Kasihan-
Bantul, Yogyakarta 55181
Waktu : 20 – 30 Januari 2018
Materi pameran : 10 karya woodcut reduksi tahun 2017-2018
Pembukaan : Sabtu, 20 Januari 2018, jam 16:00 – selesai
Dibuka oleh : Trisni Rahayu, Hari Prayitno, Hans Knegtmans dan Bambang Toko
Jam buka pameran : Setiap hari pukul 11:00 – 16:00
Penyelenggara : Kerjasama antara Miracle Prints dengan MDTL
Kontak : Ria Novitri/ 087739315969
Deskripsi :
Pameran ini merupakan bagian pertama dari rangkaian 3 rencana pameran tunggal Syahrizal Pahlevi di tahun 2018 yang mengangkat teknik woodcut reduksi sebagai isu utama. Ditiap-tiap pameran akan menampilkan tema/cerita berbeda-beda namun masih terdapat benang merahnya satu sama lain. Teknik woodcut reduksi adalah salah satu teknik yang sering digunakannya dalam berkarya disamping teknik-teknik lainnya seperti woodcut single plate, woodcut multi plate dan mokuhanga. Terkadang ia juga membuat karya etsa dan polyester lithography. Dalam pameran Paket Reduksi Bagian I ini Pahlevi membuat judul “DARI GUANLAN KE ARLES” yang akan menampilkan karya-karya yang dibuat pada masa residensi di China-Guanlan Original Printmaking Base, Shenzhen, China pertengahan tahun 2017 lalu dan karya-karya terbaru yang dibuat di Yogya yang mendapat pengaruh dari masa residensi. Karya-karya terbaru mendapat inspirasi dari kunjungan ke Dafen Artist Village di Shenzen yang merupakan kampung pembuatan copy lukisan Vincent Van Gogh terbesar di dunia.
Pembukaan pameran akan bernuansa performance interaktif yang melibatkan seluruh pengunjung yang hadir sebagai performer. Akan ada 4 orang narasumber sebagai pembuka pameran yang memiliki peran berbeda-beda dan akan menyampaikan sambutan mengenai pameran sesuai peran yang mereka sandang. Mereka adalah: Trisni Rahayu selaku pemilik galeri yang akan memberi kata sambutan umum, Hari Prayitno selaku kritikus seni yang akan mengkritisi karya, Hans Knegtmans selaku orang Belanda yang akan menyampaikan opininya “mewakili suara pelukis Belanda Vincent Van Gogh” dan Bambang Toko selaku dosen mata kuliah seni grafis di ISI Yogyakarta yang akan berpendapat seputar teknik dan dinamikanya. Sementara Syahrizal Pahlevi selaku seniman akan menyampaikan statemennya melalui pemutaran slides. Acara pembukaan dipimpin seorang MC merangkap moderator yang akan memberikan kesempatan penonton melakukan tanya-jawab dengan para nara sumber.
Pernyataan Seniman:
“Dari Guanlan ke Arles”
Guanlan adalah nama kota kecil di Shenzhen, China tempat dimana saya melakukan residensi di Guanlan Original Printmaking Base sepanjang 23 Mei sampai 23 Juli 2017 lalu. Dalam masa residensi tersebut saya memutuskan kembali menekuni teknik woodcut reduksi yang akrab dengan saya namun untuk beberapa waktu tidak saya lakukan secara intens. Dimasa residensi ini juga saya menikmati proses woodcut reduksi secara bebas tanpa banyak dibebani aturan-aturan yang dapat menghambat berkarya. Saya menganggap Guanlan menjadi titik tolak keputusan kembali ke teknik woodcut reduksi.
Sementara Arles merupakan nama kota di Perancis yang letaknya di bagian selatan tepatnya dibawah departemen Bouches-du-Rhône di Provence-Alpes-Côte d'Azur. Kota yang terdaftar sebagai situs warisan dunia UNESCO pada tahun 1981 ini menjadi tempat tinggal pelukis impresionis-ekspresionis Belanda, Vincent Van Gogh tahun 1988-1989 dan menjadi salah satu masa produktifnya dimana banyak lukisan tercipta selama ia tinggal disana. Disana juga tercipta karya terkenal Van Gogh yaitu 3 lukisan dengan objek kamar tidurnya sendiri berjudul sama: “Bedroom in Arles” yang menjadi perhatian saya saat ini.
Kebetulan saat ini saya tengah membuat serial karya baru berdasarkan seri lukisan “Bedroom in Arles” yang saya kenal melalui reproduksi foto di berbagai publikasi cetak dan online. Gagasan membuat serial karya yang saya beri judul “Rekonstruksi Van Gogh” 1, 2 3, ,..............dst ini didorong oleh pengalaman mengunjungi “Dafen Artists Village” atau “Dafen Village” di kota Shenzhen, China ketika menjalani masa residensi tersebut. “Dafen Village” selain terkenal sebagai pusat grosir peralatan melukis juga terkenal sebagai kampung seniman dan tempat reproduksi lukisan Van Gogh terbesar di dunia. Konon ada seribuan seniman yang bekerja mencari nafkah dengan membuat bermacam lukisan disana dan diantaranya memproduksi copy lukisan terkenal seniman Vincent Van Gogh seperti “Stary Night”, Sun Flower”, Bedroom in Arles”, “The Potato Eaters” dan lain-lain pesanan art shop dan pedagang seni di Eropa. Kunjungan ini juga membawa ingatan pada diri saya kepada masa-masa kuliah menjelang 1990an di program studi seni lukis ISI Yogyakarta dimana saya sempat menjalani pekerjaan selama 2 tahun membuat copy lukisan karya-karya masa impresionis seniman Eropa seperti Cezanne, Monet, Manet dan termasuk juga Van Gogh untuk konsumsi sebuah ruang seni di Paris, Perancis. Pekerjaan sampingan disela-sela waktu kuliah tersebut dilakukan bersama beberapa teman mahasiswa ISI dan UNY di sebuah galeri kecil milik alm. Bp. Gunawan yang sudah lama tutup bernama Galeri Gajah, terletak di jalan Kranggan Yogyakarta. Dengan membuat serial Arles atau “Rekonstruksi Van Gogh” saat ini sepertinya saya ingin sedikit bernostalgia kembali membuat “copy” salah satu lukisan Van Gogh yang dulu pernah saya kerjakan namun kali ini dilakukan dengan cara lain.
Proses seni seringkali terjadi karena berbagai kebetulan. Pengalaman residensi di Guanlan secara tidak langsung membawa proses berkarya saya membuat serial Arles sekembalinya ke Yogyakarta dengan berbagai kebetulannya: “Mengunjungi Dafen Village, nostalgia pekerjaan sampingan di masa kuliah dan perdebatan dengan teman seniman”. Hal terakhir perlu ditambahkan karena keputusan membuat serial Arles hanya berdasarkan sebuah karya lukisan Van Gogh “berobjek kamar tidur” dan tidak memilih lukisan lainnya ini sedikit banyak juga didorong oleh perdebatan dengan beberapa teman seniman dalam grup WA tentang “objek-objek yang dekat/intim bagi seniman kini” yang tidak berkesudahan. Karena itu saya akan memamerkan beberapa karya dari episode Guanlan yang diantaranya pernah didisplay di Miracle Prints Art Shop & Studio awal Agustus 2017 lalu disatukan dengan beberapa karya dari serial Arles yang tengah saya kerjakan sampai saat ini. Karya episode Guanlan dipilih yang menunjukkan secara kuat teknik woodcut reduksi yang dimaksud mengingat disana saya membuat karya dengan beberapa teknik yaitu: woodcut reduksi, woodcut multi plat, mokuhanga, etching, karya sketsa tinta dan drawing pensil. Untuk karya serial Arles dipilih secara acak dari beberapa karya yang telah dikerjakan yang kesemuanya dibuat dengan teknik woodcut reduksi.
Paket Reduksi:
Persoalan teknik adalah keniscayaan dalam seni grafis dan tidak bisa dipisahkan antara proses berkarya dengan pengetahuan tentang teknik. Sejatinya selalu ada info terbaru dan penemuan-penemuan signifikan baik penemuan besar ataupun penemuan kecil berkaitan persoalan teknik seni grafis. Persoalan teknis terkadang menjadi hal sangat personal buat setiap seniman sehingga menjadikan hasil karyanya unik akibat metode-metode atau trik-trik tertentu yang mereka jalani dalam mensiasati berbagai problem teknik yang ditemukan dalam setiap prosesnya. Menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin misalnya seorang pegrafis atau komentator menyatakan bahwa persoalan teknik adalah perbincangan yang usang dan tidak perlu diperbincangkan lagi. Di negara luar yang maju apresiasi dan infrastruktur seni grafisnya dibanding negara kita teknis seni grafis terus diuji, dieksplorasi dan dicari terobosan-terobosannya disesuaikan kebutuhan kekinian. Ambil contoh misalnya munculnya istilah “Kitchen Lithography” 10 tahun terakhir ini yang membuat proses lithography seringan kerja di dapur.
Dalam seni grafis teknik (woodcut dan linocut) reduksi termasuk dalam keluarga relief print. Berbeda dengan teknik multi plat yang umumnya dipakai dalam membuat karya relief print berwarna, teknik reduksi hanya menggunakan satu plat untuk menghasilkan banyak warna yang bertumpuk. Dimulai dari warna pertama yang berasal dari bidang cetakan awal lalu diteruskan dengan warna-warna selanjutnya tetap menggunakan plat yang sama namun selalu merubah atau mengurangi bidang cetakannya setiap penumpukan warna baru. Teknik ini mempermudah seniman dalam membuat karya seni grafis banyak warna. Di Indonesia teknik reduksi sering diartikan sebagai teknik “cukil habis” barangkali dikarenakan plat kayu atau lino yang dipakai akan dicukil sampai habis atau hingga tidak berbentuk dan sulit dikenali sebagaimana proses awalnya untuk mencapai tumpukan warna paling akhir yang diinginkan oleh seniman. Teknik reduksi banyak diajarkan kepada mahasiswa jurusan seni grafis ISI Yogyakarta dan sering diselorohkan sebagai “teknik Jogja” mungkin dikarenakan banyaknya pegrafis Jogja yang menggemari berkarya teknik ini. Salah satu tokohnya adalah pegrafis Yamyuli Dwi Imam yang memiliki gaya personal “tekstur cetakan” memanfaatkan teknik reduksi dengan pressing secara manual atau menggunakan tangan. Dalam dunia internasional teknik ini memiliki banyak varian nama yaitu: reductive, reduction, progressive, elimination, ‘cut and come again’, ‘the suicide method’, waste block. Beberapa sumber mengatakan bahwa teknik reduksi dipergunakan pertama kali oleh pelukis Pablo Picasso di tahun 1956 saat ia membuat karya cetakan lino. Namun menurut Alisa Burbury dalam paper presentasinya dalam 4th Australian Print Symposium, National Gallery of Australia, Canberra, 2001, teknik reduksi “kemungkinan” ditemukan oleh pegrafis dari Melbourne, Murray Griffin yang membuat karya penuh warna hanya dengan satu plat linoleum di tahun 1932.
Teknik (woodcut) reduksi adalah salah satu teknik yang saya gunakan dalam berkarya disamping teknik (woodcut) multiplat, mokuhanga, monotype, polyester lithography, drypoint dan etching. Dari berbagai teknik itu memang teknik woodcut baik reduksi maupun multiplat paling banyak saya gunakan. Pameran ini adalah bagian pertama dari rencana “Paket” atau rangkaian pameran saya di beberapa tempat dalam waktu berbeda yang hanya memamerkan karya-karya dengan teknik reduksi. Antara satu pameran dengan pameran lainnya akan mengusung judul-judul tersendiri yang mengacu pada topik karya yang tengah dipamerkan dan akan saling bersinggungan.
Rencana selanjutnya:
Paket Reduksi Bagian II : “Bedroom in Arles”, bulan Juli 2018, tempat: Nalarroepa, Karang Jati, Kasihan Bantul, Yogyakarta.
Paket Reduksi Bagian III : Akhir 2018. Judul dan tempat belum ditentukan.
Yogyakarta, Januari 2017,
Syahrizal Pahlevi
Tabel KEUNGGULAN teknik Multiplat dan ReduksI
Problem
MULTIPLAT
REDUKSI
Keterangan
(Dibawah ini artikel yang dimuat oleh Harian Kompas, Sabtu, 6 Januari 2018, hal. 25)
REDUKSI=SUICIDE PRINTMAKING
Oleh Syahrizal Pahlevi
Di kancah seni grafis internasional teknik (woodcut, linocut) reduksi memiliki nama yang serem: “Suicide Printmaking” yang terjemahannya menjadi “Seni cetak grafis bunuh diri”. Tentu nama tersebut tidak bermaksud berseram-seram atau ingin membuat publik takut dan menjauh dengan salah satu varian teknik cetak tinggi atau relief print dalam seni cetak grafis ini. Penamaan ini diberikan karena dalam teknik ini pegrafis bertaruh “psikis dan fisik” dengan prosesnya yang sebenarnya sangat mudah dibandingkan teknik-teknik seni grafis lainnya seperti woodcut/linocut multi plate, drypoint, etching, aquatint, mezzotint, serigraphy hingga lithography hanya saja perlu kehati-hatian. Umumnya dalam membuat karya grafis berwarna diperlukan plat lebih dari satu atau multiplat agar proses pengedisian berjalan sistimatis dan lancar. Namun teknik (woodcut, linocut) reduksi hanya menggunakan sebuah plat kayu atau lembaran linoleum sebagai acuan cetak untuk menghasilkan karya seni grafis penuh warna dan tidak dapat diulang prosesnya jika terjadi kesalahan pengerjaan. Proses awal teknik reduksi dimulai dengan menyiapkan plat (biasanya dicukil) lalu diberi tinta merata diseluruh permukaan plat yang tinggi kemudian ditaruh kertas diatasnya dan dipres menggunakan tangan atau menggunakan bantuan mesin press. Setelah cetakan atau lapis warna pertama selesai, plat yang sama dibersihkan dan dicukil lagi untuk menyiapkan bidang cetak bagi warna kedua. Begitu seterusnya untuk melapis warna demi warna sampai bentuk plat menjadi semakin menjauh dari bentuk awal pengerjaan dan hanya menyisakan bidang cetak buat warna paling akhir.
Lawan dari teknik (woodcut, linocut) reduksi adalah teknik (woodcut, linocut) multiplat yang menggunakan lebih dari satu plat kayu atau linoleum untuk menghasilkan karya grafis penuh warna dan dapat mengulang prosesnya jika terjadi kesalahan pengerjaan. Teknik reduksi memang menjadi berbeda karena keluar dari kecenderungan metode membuat karya berwarna dengan teknik-teknik seni grafis lainnya dan membuat pegrafis tidak dapat memperbaiki kesalahannya. Sebenarnya teknik reduksi adalah sebuah cara paling mudah dan murah dalam membuat sebuah karya grafis penuh warna karena tidak perlu mengatur register yang rumit dan menghemat biaya penyediaan plat ekstra. Tidak heran teknik ini kerap diajarkan buat pemula atau amatiran di workshop-workshop dalam mengenalkan teknik grafis berwarna sebelum mereka dikenalkan teknik multiplat yang lebih sulit atau teknik-teknik lainnya. Namun kemudahan ini sebenarnya mengandung resiko “datangnya perasaan frustrasi” pada pegrafis karena pekerjaannya rentan menemui kegagalan dan tidak dapat diperbaiki/dilanjutkan. Disini pegrafis seakan mengambil sebuah tindakan sadar untuk “bunuh diri” jika tidak siap menerima dan tidak memahami prosesnya.
Siapa penemu teknik ini masih belum diketahui. Telah banyak publikasi mengatakan bahwa pelukis Pablo Picasso adalah seniman pertama yang menggunakan teknik reduksi saat ia bereksperimen membuat karya dari cetakan linoleum pada tahun 1956 termasuk ada juga yang buru-buru mengganggapnya sebagai penemu. Namun penelitian Alisa Burbury melalui paper presentasinya dalam 4th Australian Print Symposium, National Gallery of Australia, Canberra, 2001 telah menggugurkan pernyataan bahwa Picasso adalah penemu teknik tersebut. Penelitian Alisa menyatakan bahwa Picasso hanya dapat dikatakan sebagai seniman terkenal dan profesional pertama yang memakai teknik tersebut. Berdasar penelusurannya teknik reduksi telah diajarkan di highschool dan art collage di Inggris pada akhir 1940 setelah perang dunia sebagaimana diakui oleh pegrafis Righny Graham, Chris Thistlethwaite dan Pat Gilmor yang pernah melakukannya sebagai tugas dari para guru mereka saat mereka bersekolah. Lebih kebelakang berdasarkan arsip katalog pameran dari Grosvenor Gallery, Inggris, 1935 ditemukan bahwa pegrafis dari Melbourne, Australia, Murray Griffin telah mulai membuat karya penuh warna hanya dengan satu plat linoleum di tahun 1932. Walau belum berani menyebut Murray Griffin sebagai penemu namun Alisa meyakini bahwa teknik ini belum pernah ada yang melakukannya sebelum tahun 1930. Teknik reduksi memang tidak seterkenal teknik relief print lainnya seperti woodcut/linocut multiplate atau mokuhanga yang lebih dahulu muncul seiring ditemukannya teknik relief print di Eropa dan Asia. Teknik reduksi baru diketahui keberadaannya ketika dibawa oleh pegrafis Amerika Alfred Sesler tahun 1957 saat ia mendapat hibah belajar musim panas dari the Graduate School of the University of Wisconsin. Disana Sesler bereksperimen dengan teknik reduksi dan memamerkan karya-karyanya di bulan September pada tahun yang sama di Wisconsin Union Gallery, USA. Selain dinamai “Suicide Printmaking” atau “The Suicide Method” atau “Suicide Block” teknik ini juga memiliki banyak nama yang beberapa diantaranya jarang dipopulerkan disini seperti: reduction, reductive, cut and come again, progressive, elimination dan waste block.
Di Indonesia teknik reduksi sering diistilahkan sebagai teknik “cukil habis” atau “cetak rusak” karena sesuai logika plat acuan cetak akan dicukil terus sampai habis atau rusak dan hanya menyisakan bidang cetak terakhir untuk menghasilkan tumpukan banyak warna yang diinginkan pegrafis. Terkadang teknik ini diselorohkan sebagai “teknik Jogja” dikarenakan banyaknya pegrafis Yogyakarta yang berkarya dengan teknik reduksi, mulai dari pegrafis senior sampai mahasiswa seni grafis, mulai dari pegrafis profesional sampai amatir atau pembelajar. Sebut saja nama-nama seperti: Edy Sunaryo, Yamyuli Dwi Imam, Sutrisno, Agung Pekik Hanafi, Muhammad “Ucup” Yusuf, Devy Ika, Udien AE, Irwanto Lentho, Bonaventura Gunawan dan Sri Maryanto sebelum kepindahannya ke Jerman yang berkarya dengan teknik woodcut reduksi. Di Bandung ada Agung Prabowo (AGUGN) yang berkarya dengan teknik linocut reduksi.
Pembicaran teknik dalam seni grafis adalah keniscayaan bagaikan benda dan bayangannya, mengikat tak terpisahkan antara karya dan pengetahuan akan tekniknya. Persoalan teknik perlu terus diinformasikan dan diperbincangkan agar perkembangan seni grafis itu sendiri berjalan dan pemahaman publik tumbuh. Para komentator dan pelaku seni grafis tanah air yang terlalu kesengsem mengidam-idamkan “yang penting konten” hingga bernafsu meniadakan perbincangan teknis sepertinya perlu menegok keluar. Di negara-negara yang maju infrastruktur seni grafisnya seperti Eropa dan Amerika permasalahan teknis selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari persoalan konten ketika membahas seni grafis dan tak henti dibawakan di forum-forum pameran, kompetisi, workshop, art fair, diskusi, seminar, konferensi dan di jurnal-jurnal yang rutin diterbitkan. Disamping mengupas konten, teknis dalam seni grafis terus diuji, ditelusuri, didebat dan dicari terobosan-terobosan agar dapat diterima generasi kekinian. Ingat penemuan “Kitchen Lithography” oleh pegrafis Perancis Emilie Aizier yang mengganti beberapa bahan baku klasik membuat kerja lithography yang historik dan berat menjadi seringan bekerja di dapur dan kini para ‘remaja serta ibu-ibu’ dapat berkarya lithography tanpa harus mencari studio yang lengkap fasilitasnya. Walau katanya Amerika dan Eropa bukan bandingan kita buat membicarakan seni grafis namun ‘keseriusan dan kengototan’ mereka perlu kita pelajari. Di Amerika ada lembaga-lembaga tua seni grafis seperti International Print Center New York (IPCNY), Lower East Side Printshop dan Robert Black Burn Printmaking Workshop di New York dan Tamarind Institute lembaga setingkat S2 untuk master Lithography di New Mexico yang sejak mulai berdiri hingga saat ini tiada henti mengadakan kelas, workshop, pameran dan diskusi-diskusi segar tentang teknik seni grafis yang menarik banyak peserta. Jurnal-jurnal dan news letter pun tumbuh baik online maupun offline mencatat dan menginformasikan kegiatan apapun berkaitan dengan seni grafis seperti; studio seniman, pameran, kritik karya, pasar, kolektor, info material termasuk informasi penemuan-penemuan kecil baru seputar persoalan teknis oleh seniman dan studio-studio. Watak seni grafis yang unik yang tidak harus seragam dengan media seni rupa lainnya menjadi terbuka dan terang benderang sehingga publik menjadi paham dan apresiasipun berjalan.
Tapi pegrafis dan pelaku seni grafis disini cenderung ingin menyembunyikan watak seni grafis yang sarat dengan persoalan teknis dan melakukan “kamuflase-kamuflase merugikan” hanya karena takut dibilang konservatif dan tidak kontemporer. Para komentatorpun tak kalah sibuk mendorong tanpa didukung pengetahuan yang kuat agar pegrafis cepat-cepat meninggalkan perbincangan teknis yang dalam sahwat mereka dianggap ‘usang dan membosankan’ tertinggal dari seni kontemporer. Dalam segi ini kita jelas tertinggal dari China, Macao, Jepang dan India di kelas Asia yang ramai dengan berbagai pameran, kompetisi, workshop, art fair, konferensi, simposium, seminar baik berskala lokal maupun internasional. Jepang melakukan ekspansi besar-besaran teknik klasik mokuhanga atau ukiyo-e sehingga menarik minat pegrafis internasional mempelajarinya. China berhasil menghidupkan China-Guanlan Original Printmaking Base di Shenzhen sebagai laboratorium teknik dan menjadi barometer seni grafis dunia hanya dalam kurang dari sepuluh tahun. Mereka juga membangun China Print Museum yang megah dan berkelas internasional dan membuat seni grafis berdiri sejajar dengan seni-seni lainnya dimana pegrafis mendapat kedudukan sama pentingnya dengan seniman lukis kontemporer sekalipun. Namun kita juga telah tertinggal dari sesama negeri ASEAN seperti Thailand, Philipina dan Vietnam dalam memperlakukan seni grafisnya sebagai sebuah entitas seni rupa yang penting dan kuat daya pesonanya. Jika pegrafis tanah air telah bosan atau terus-terusan malu dan enggan membicarakan persoalan teknis maka artinya perlahan tapi pasti kita tengah melakukan upaya “bunuh diri” terhadap perkembangan seni grafis kita sendiri. Suicide in Indonesian Printmaking!
.
Syahrizal Pahlevi
Pegrafis, pengelola Teras Print Studio, Yogyakarta
CATATAN SENI, ANTARA IDE DAN WUJUD
Oleh: Hari Prayitno/Kritikus
Seni Art yang awal sejarahnya hanya merujuk pada fine art, sementara bentuk “seni” yang non-fine art hanya disebutkan sebagai poetry, musik tanpa sandangan art di depannya. Tetapi pada perkembangan selanjutnya seni mengembangkan diri sejalan dengan ilmu pengetahuan tentang estetika, objek seni dan pengalaman seni yang melahirkan Visual Art, Art Design dan sebagainya.
Manusia pasti memiliki pertama pengetahuan yang dimiliki, prasangka-prasangka dari pengetahuan dasar, kedua kecenderungan pada apa yang dilihat, dituju, dan ketiga yang dicita-citakan yang sehubungan tujuan ideologi, yang membentuk suatu pola tertentu sebagai rasionalisasi bukanlah hanya sebentuk cara berpikir sebab akibat dan keterbatasan pada penalaran sains terhadap alam dan hukum-hukumnya. Di dalam tulisan ini berkaitan dengan apa yang telah dilakukan oleh Syahrizal Pahlevi yang sudah bertahun-tahun menggeluti bidang seni grafis murni, walau sebenarnya disiplin studi awal yang di FSR-ISI-Gampingan dia menekuni seni Lukis.
Dari sisi idea, terinspirasi dari kunjungan ke Dafen Artist Village di Shenzen yang merupakan kampung pembuatan copy lukisan Vincent Van Gogh terbesar di dunia disaat dia residensi di China-Guanlan Original Printmaking Base, Shenzhen, China pertengahan tahun 2017. Mungkin dari suasana dimana di suatu desa terpencil yang seluruh aktivitas penduduknya bekerja sebagai “tukang/ artisan”.
Dari semangat merekalah yang serentak di dalam satu desa kecil jauh terpencil di pegunungan itu yang menjadikan dia tertarik hingga di sini akhirnya memunculkan ide untuk berpameran “Dari Guanlan ke Arles” sesi I, dari beberapa sesi ke depan yang akan dikerjakan untuk dipamerkan kemudian. Guanlan kota di China adalah tempat di mana dipertengahan 2017, 23 Mei-23 Juli dia diundang ke sana sebagai peserta Original Printmaking Base. Arles merupakan nama kota di Perancis yang letaknya di bagian selatan tepatnya dibawah departemen Bouches-du-Rhône di Provence-Alpes-Côte d'Azur. Kota yang terdaftar sebagai situs warisan dunia UNESCO pada tahun 1981 ini menjadi tempat tinggal pelukis impresionis-ekspresionis Belanda, Vincent Van Gogh tahun 1888-1889 dan menjadi salah satu masa produktifnya dimana banyak lukisan tercipta selama ia tinggal disana. Disana juga tercipta karya terkenal Van Gogh yaitu 3 lukisan dengan objek kamar tidurnya sendiri berjudul sama: “Bedroom in Arles”.
Pengalaman kedua adalah juga persoalan teknis yang ingin dikemukan di dalam seluruh rangkaian serialnya. Teknis, tentu seni grafis akan kental terhadap teknis karena sifat seninya bersifat tidak langsung, tidak langsung terlihat torehan stroke dan pewarnaannya seketika itu juga karena memang sifatnya print, tera yang mana hasilnya akan terlihat sesudah cetakan/panelnya di tera kan di atas kertas. Di dalam seni Grafis ini ada suatu misteri atau tanda tanya karena kekaryaannya harus melewati proses tera/ print yang tidak langsung terlihat, justru di sinilah keunikannya yang mana seniman tidak langsung bisa menikmati seketika, setelah melewati cetak maka proses harap-harap cemas yang dikatakan misteri itu saja akan terasa di saat seniman membuka secara perlahan antara kertas sebagai dasar karya tertempel dan plat cukil penghasil cetakannya. Jadi bagi saya pribadi moment “indah” menikmati sesuatu dengan harap-harap cemas itulah moment khas yang tidak dimiliki oleh seni-seni yang dikerjakan langsung atau non cetak sebelumnya. ***
Catatan Hans Knegtmans/Pencinta seni warganegara Belanda
Biassanya saya datang setiap tahun ke Jogja.
Tapi tahun lalu saya tidak bisa hadir
Karena saya masih di belanda bulan nopember ada kesempatan untuk mengunjungi festival film dokumenter internasional di amsterdam.
Di situ saya nonton film tentang orang cina
Dia pelukis
Setiap hari dia membuat lukisan
Tapi selalu hanya kopi karya van gogh.
Dia benar coba mengerti karya van gogh.
Dia membaca tentang kehidupan dan kesakitan dia.
Karya van gogh dia tahu dari internet aja.
Dia coba mengunakan ilmu tentang van gogh supaya lukisannya lebih dekat lukisan yang benar.
Sutradara mengundang dia untuk datang ke belanda.
Supaya dia bisa lihat karya van gogh.
Dia takut karena jika 2 minggu tidak kerja tidak ada uang masuk
Ternyata dia ikut ke amsterdam
Di situ di lihat karya.
Dia heran tentang warna dan tekstur karya.
Dia mengerti karya dia dan karya van gogh masih jauh berbeda
Terus dia lihat tempat dimana orang belanda bisa beli karya dia
Dia kecewa karena tempatnya bukan galeri tapi warung untuk turis.
Turis beli karya dia di warung oleh2 di samping museum van gogh
Pahlevi bukan orang cina
Tapi dia kerja 2 bulan di cina
Karya yang dia membuat berinspirasi dari apa yang dia lihat di situ
Ada karya yang sudah membuat di cina dan ada karya dia membuat di Indonesia
Yang terakhir adalah karya tentang van gogh
Dia lihat pelukis yang kopi karya van gogh
Tetapi pahlevi seniman dan bukan alat fotokopi.
Untuk dia karya van gogh inspirasi aja
Pahlevi melewati jalan dari guanlan ke arles
Jalan yang van gogh tidak pernah melalui.
Karya ini tidak kopi van gogh tapi interpretasi seniman pahlevi
Saya suka karya van Gogh, siapa tidak?
Membuat dengan langgam Pahlevi karya ini tidak butuh bantuan van gogh
Karya ini sudah bisa mandiri karena kuat sekali
Untuk Pahlevi tidak perlu membuat copy karya van gogh