Dalam seni pembatas antara ‘kesadaran’ dan ‘bawah sadar’ seringkali tipis. Seni yang baik adalah yang mampu mengelola keduanya dengan seimbang. Terlalu mengandalkan kesadaran ia hanya akan menjadi teknik belaka dan terasa kering seninya. Sementara terlalu mengagung-agungkan kekuatan bawah sadar dapat membuat seninya terasing, absurd dan hanya dapat dimengerti oleh dirinya sendiri. Padahal seni selain sebagai ekspresi diri juga digunakan penciptanya untuk menyampaikan pesan, untuk berkomunikasi dengan penonton.
Tiga seniwati yang berpameran ini sekalipun mengajukan judul 'bawah sadar' tidak serta merta menihilkan kesadaran. Karya-karya mereka
dibuat dengan kesadaran penuh lewat perencanaan yang dilandasi pengetahuan dan pengalaman hidup yang mereka jalani. Selanjutnya ide atau rencana dieksekusi dengan kemampuan teknik yang mereka punya. Sementara bawah sadarnya mengambil bagian dalam intensitas untuk memunculkan ruh dan semangat pada karya-karya mereka.
***
Dari tiga seniwati yang akan berpameran di Miracle Prints ini, saya telah lebih dahulu mengenal Sekar Tsu (Sekartaji Suminto). Karena sama-sama berkuliah di FSRD ISI Yogyakarta. Kami beda jurusan, saya kuliah di Seni Lukis dan Sekar di Seni Kriya. Ia kalau tidak salah satu atau dua tahun dibawah angkatan saya.
Sementara Peni saya lebih dahulu berteman di facebook, kerap saling like dan saling berkomentar di halaman masing-masing. Tapi baru bertemu muka di penghujung Desember 2021 yang lalu saat saya membawa pameran 4th JIMB ke Galeri Rakuti STKW Surabaya. Kesan saya ia seorang yang haus akan pengetahuan. Ia saat itu cukup banyak menggali tentang seni grafis dan seni rupa kepada saya dan saya menjawab sebatas pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki.
Sedangkan dengan Uzzaer Ruwaidah, kami berteman di facebook dan juga sesekali saling like dan berkomentar di laman masing-masing, tetapi belum pernah tatap muka sama sekali.
Sepengamatan saya, Peni dan Uzzaer cukup aktif di media sosial dengan mengunggah foto karya, kegiatan dan tulisan-tulisan. Peni yang penulis artikel kerap menggunggah tulisannya yang mengisi rutin di sebuah penerbitan online di Surabaya. Kadang saya terpancing membacanya dan mengomentarinya.
Dari tulisannya saya berpendapat Peni seorang yang tidak bisa diam kala melihat hal yang tidak/kurang pas di mata dan hatinya. Ia selalu ingin menggugatnya.
Uzzaer juga kerap mengunggah foto karya, kegiatan dan tulisan berupa pemikiran dan unek-uneknya. Tulisannya yang mengandung banyak pertanyaan dan gugatan cenderung 'ingin memaksa' orang lain agar ikut menjawabnya. Saya menilai ia tipe pemberontak dan anti kemapanan dan anti stereotipe.
Sedangkan Sekar saya jarang melihat kegiatannya di media sosial. Saya hanya tahu ia menjadi pengajar di FSR ISI Yogyakarta sejak tamat kuliah tahun 90an. Pernah saya melihat satu dua kali unggahannya itupun kebanyakan unggahan berupa foto-foto dirinya yang tidak utuh memperlihatkan berbagai tatto yang menghiasi tubuhnya. Saya jadi mengenalnya sebagai seorang pencinta seni tatto.
Tetapi saya cukup sulit mengetahui pemikirannya karena selama di ISI pun kami cenderung hanya sekedar saling menyapa saat kebetulan berpapasan atau nongkrong bersama teman-teman mahasiswa lain. Namun saya merasakan semangat pemberontakan cukup kental di dirinya yang terlihat dari penampilannya yang cuek dan kegemarannya akan seni tatto. Sedangkan latar belakang keluarganya yang seniman (ayahnya Suminto dan paman-pamannya Sun Ardi dan Suatmaji adalah para perupa penting Yogyakarta) tidak lebih sebagai rangsangan atmosfir pembentuk sikap kesenimannya saat ini. Belakangan saya mengetahui ia juga seorang performer. Saya pernah melihatnya perform di acara pembukaan sebuah pameran.
Jadi rasanya komposisi ketiga seniwati ini cukup seimbang tampaknya. Ketiganya sama-sama tipe pemberontak dalam berbagai kadar dan implementasinya. Sama-sama menolak kemapanan dan stereotipe. Barangkali hal itulah yang paling mendasari perkongsian pameran bertiga mereka kali ini. Saya tidak tahu kapan dan bagaimana mereka bertemu dan memiliki kesadaran bahwa mereka perlu tampil bersama dan berpameran bertiga ini. Selain karena tidak ada informasi sejarah pertemuan dan pertemanan mereka bertiga. Peni hanya menyebutkan ia telah lama berteman dengan Sekar dan dengan Uzzaer baru belakangan.
Adakah kesadaran ingin tampil berbeda setelah melihat tampilan kebanyakan karya-karya perupa (terutama perupa perempuan) belakangan ini yang memicu mereka perlu menampilkan diri?
Sebetulnya hal demikian lumrah saja karena sejatinya setiap seniman ingin terlihat lebih menonjol dari yang lainnya dalam artian positif. Dan kali ini mereka tampil membawa topik masing-masing dengan kecenderungam rupa personal. Mereka berharap dapat mencuri sedikit perhatian publik dengan karya-karya mereka.
***
Sekar Tsu mengangkat visual ‘kartu tarot’ yang sejak masa kecilnya dilihatnya terus menjadi subjek kreativitas banyak ilustrator. Tak habis-habisnya ide mereka membuat corak dan gaya baru kartu tersebut. Dari yang bergaya klasik hingga pop. Dari yang murni dikerjakan manual hingga memanfaatkan teknologi digital. Sekar merasa tertantang karenanya.
Sekar yang karyanya bercorak dekoratif kekanakan dalam pameran ini memanfaatkan teknologi digital guna membuat serangkaian 'disain baru' kartu tarot dengan warna-warna meriah. Ia seakan ingin melepaskan beban ‘magis dan berat’ kartu tarot biasanya menjadi layaknya hal sehari-hari, menggembirakan dan ringan saja. Ibaratnya membuatnya serenyah saat kita menonton pertunjukan K-Pop.
Peni memilih membaca ‘peradaban’ manusia dengan melakukan penjelajahan atas diri sendiri yang bersentuhan dengan kemudahan fasilitas komunikasi-informasi zaman sekarang; internet. Peni yang gemar menggambar sejak kecil melakukan permainan komposisi dan lapisan-lapisan warna yang teduh. Ada tumpukan-tumpukan objek kekanakan mengisi ruang-ruang permukaan kertasnya.
Latar belakangnya yang kuliah psikologi sepertinya berperan kuat dalam cara kerjanya. Ia bukan tipe ekspresionis dan tidak ingin cepat-cepat menyelesaikan gambarnya. Sepertinya ia tengah mempraktekkan ilmu psikologinya yang harus sabar menggali pikiran pasien hingga mereka mau bercerita banyak. Namun kali ini ia menggalinya dengan media lukisan.
Melihat karyanya seakan diajak menjelajah pikiran yang bergerak perlahan kemana-mana.. Pelan tapi pasti. Sesekali nampak berhenti di objek-objek kecilnya namun sejurus kemudian berkelana lagi membuat objek-objek baru.
Dan Uzzaer dengan kekuatan garis gambarnya yang garang ber’kontemplasi’ menelusuri riset artistiknya tentang tubuh manusia. Dalam sebuah seri gambarnya ia menelusuri lekuk bagian intim wanita dan pria yang disajikan dengan teks-teks layaknya terdapat dalam buku-buku pelajaran biologi. Tapi ia tidak sedang menyalin informasi dalam buku biologi. Teks-teksnya adalah serangkaian uneg-uneg dan solilokui yang terang tanpa tedeng aling-aling. Cenderung provokatif. Ia sempat mempersoalkan dimana batas 'paparan yang vulgar' dan tidak tidak vulgar yang barangkali membuat kaum lelaki yang beraliran liberalpun akan cukup tersipu. Uzzaer juga tertarik bermain media dengan menampilkan gambar, lukisan dan keramik sekaligus.
Begitulah tiga seniwati ini unjuk diri dengan cara masing-masing. Nampak berbeda satu sama lain tapi ada benang merah yang menyatukan ketiganya.
Diksi 'bawah sadar' yang menjadi judul pameran mereka bertiga adalah pengikat. Silahkan nikmati dan menilai karya-karya mereka di ruang pameran.
Yogya, awal Juni 2022.
Syahrizal Pahlevi
Miracle Prints
katalog_pameran_bawah_sadar.pdf |