katalog_bahagia.pdf |
Kata Sambutan Miracle Prints
Menjelang Idul Fitri 1442 H ini Miracle Prints memamerkan karya-karya lukis, sketsa dan gambar Justina TS.
Seharusnya pameran ini diselenggarakan tahun lalu, pada tanggal dan bulan yang sama. Namun pandemi Covid 19 yang tengah ganas-ganasnya menunda pameran ini hingga setahun kemudian.
Justina TS adalah seorang perempuan perupa yang boleh dianggap tengah memunculkan kembali dirinya setelah sejak lama vakum.
Perupa didikan Seni Lukis ISI Yogyakarta angkatan tahun 1994 ini seangkatan dengan perupa Heri Purwanto, Zulfahendra, I Made Mustika dan I Wayan Sudarna Putra yang namanya telah familiar di mata publik seni rupa selama ini.
Terakhir kami ingin mengucapkan selamat ulang tahun untuk Justina yang lahir tanggal 10 Mei bertepatan dengan tanggal pembukaan pameran ini. Semoga pamerannya berjalan lancar.
Yogyakarta, 2 Mei 2021
Ria Novitri
*******
Artist Statement
Bahagia tak perlu dicari
Bahagia kita sendiri yang menciptakan
Karena bahagia itu tentang rasa
Rasa yang tumbuh ketika melihat orang lain bahagia salah satunya
Bahagia terkadang tumbuh juga dari hal-hal yang sepele
Pada pameran kali ini, mencoba menorehkan rasa bahagiaku sendiri
Kadang terselip diantara tangis dukalara, rasa prihatin/empati dengan keadaan orang lain
Terselip juga pesan moral
Ya, bahagiaku sederhana saja, kuabadikan lewat karya
Semoga menjadi KEbahagiaAN tuk semua. SESEDERHANA ITU.
Justina TS
*******
Seni Menghayati Bahagia
Oleh Syahrizal Pahlevi
Tulisan pengantar pameran tunggal Justina TS di Miracle Prints.
Nama Justina TS cukup jarang saya dengar dalam pameran-pameran seni rupa khususnya di Yogyakarta. Melihat lukisannyapun belum. Namun sekitar 1 tahun belakangan nama tersebut mulai terdengar muncul dalam beberapa pameran bersama. Tetapi saya belum berkesempatan melihat karyanya.
Memang medan seni rupa Yogyakarta begitu aktif dan keras. Nama-nama perupa baru bermunculan menggilas nama-nama perupa lama yang tidak atau kurang aktif. Salahkah perupa-perupa lama yang tidak aktif tersebut? Sementara nama-nama barupun bukan jaminan akan selalu diingat dan diperhatikan oleh publik seni rupa. Jika mereka tidak mampu menjaga kontinyuitas berkarya dan berpameran maka umur berkeseniannya akan pendek saja.
Kemunculan (kembali) Justina TS tentu perlu disambut dengan suka cita. Bagi teman-temannya atau mereka yang pernah mengetahui aktifitas berkarya dan berpameran Justina di masa lalu ini adalah kemunculan kembali. Namun bagi generasi sekarang yang sama sekali tidak pernah mengenal aktifitas Justina maka ini adalah momen kemunculan seorang perempuan perupa.
********
Mengusung judul “Bahagia Itu Sederhana” melalui sekitar 15 lukisan cat akrilik di kanvas, beberapa sketsa dan gambar di kertas, Justina seakan ingin mengajak pemirsa melakukan monolog terhadap diri masing-masing, termasuk monolog untuk dirinya sendiri. Apakah bahagia itu? Sudah bahagiakah kita? Bagaimana mencapai bahagia itu? Dan kemudian disimpulkan olehnya sendiri dengan sebuah ungkapan: “Bahagia Itu Sederhana”.
Sesederhana itu?
Tentu Justina tidak serta merta menemukan ungkapan tersebut yang kemudian ia mantapkan menjadi judul pameran tunggal perdananya di Miracle Prints saat ini. Ada rentetan panjang situasi personal yang dihayatinya dan nampaknya kuat berkontribusi atas pemilihan judul pameran di atas.
Justina lahir di Surabaya 10 Mei 1970. Sejak kecil ia sudah ditinggalkan sosok ayah dan hanya dirawat oleh ibunya seorang diri. Umur 7 tahun memasuki usia SD ia pindah ke Ngadiwinatan, Yogyakarta dititipkan ibunya tinggal di rumah eyangnya. Setidaknya sepuluh tahun ia tinggal bersama eyang dan lingkungan yang ketat menerapkan aturan bergaul dan bertingkah laku ala kalangan ningrat.
Menjalani kehidupan di lingkungan yang ketat, jiwa merdeka Justina terusik. Setumpuk unggah-ungguh, tata cara berpakaian, berucap dan sebagainya yang diterapkan oleh eyangnya dirasanya sebagai belenggu. Ia berusaha mengikutinya sebisanya. Namun tak jarang ia dianggap suka membangkang karena tidak mengikuti aturan dengan tertib seperti melenceng dalam cara berpakaian dan dalam bertingkah laku.
Sejak kecil Justina sudah suka melukis. Karena tidak banyak memiliki mainan seperti boneka atau alat masak-masakan, ia menciptakan permainan sendiri dengan membuat gambar-gambar menggunakan pensil jahit ‘merah-biru’ milik ibunya. Kesukaannya menggambar bebek dan koboi lengkap dengan pistolnya.
Semasa tinggal bersama eyangnya di Yogyakarta ia kerap mengikuti lomba melukis dan mendapatkan kejuaraan mulai tingkat lokal, nasional hingga internasional. Diantaranya ia beberapa kali menjuarai lomba lukis anak Kyoto Jepang yang bergengsi tersebut.Masa tinggal bersama eyangnya ini ia lewati hingga menempuh pendidikan di SMSR Yogyakarta.
Lalu selepas SMSR ia menikah muda dan pindah ke Jakarta bersama suami di tahun 1990.
Kemudian anak pertamanya lahir. Praktis hari-harinya disibukkan dengan tugas ibu rumah tangga yang harus mengurus suami dan mendidik anaknya.
Sementara jiwa melukisnya yang dibawa sejak kecil tetap membara menuntut untuk diberi ruang. Namun kesibukan selaku ibu muda dengan anak ternyata sangat menyita hari-harinya. Antara keinginan dan kenyataan yang harus dihadapi ternyata tidak berjalan mudah dimatanya. Karena sulit membagi waktu, Ia harus menunda keinginannya tersebut untuk waktu yang cukup lama.
Baru di tahun 1994 ia memutuskan mendaftar di ISI Yogyakarta dan diterima sebagai mahasiswa jurusan seni murni program studi seni lukis. Tahun itu juga ia resmi pindah ke Yogyakarta sementara suaminya tetap di Jakarta.
Sebetulnya keputusannya berkuliah di ISI dimaksudkannya sebagai ‘pelarian’ dari rutinitas kesehariannya mengurus anak dan suami yang begitu membelengu kesibukannya. Ia membutuhkan kesibukan yang lain yang dapat memberi suasana baru, dan pilihannya masuk ke suasana akademis di seni rupa yang juga menjadi hobinya sejak kecil. Ia berharap dengan kesibukan barunya sebagai mahasiswa seni lukis kehidupannya menjadi bervariasi dan berwarna.
Namun setelah beberapa tahun menjalani kuliah, ia merasa harapannya kurang terpenuhi. Ia merasa pengajaran di kampus tidak sebagaimana ia bayangkan sebelumnya. Perkuliahan dijalaninya tidak terlalu bersemangat walaupun secara akademik ia tidak mengalami kesulitan mengikuti setiap mata kuliah. Menurutnya ia justru merasa banyak menimba ilmu lewat pegaulannya dengan kakak kelas dan para seniman yang telah meninggalkan kampus yang sarat pengalaman dan praktek lapangan. Dua nama dicatatnya: Eddie Hara dan Klowor Waldiono. Khusus nama yang terakhir terasa sangat spesial buatnya karena tak lelah menyemangatinya agar terus berkarya dan berproses.
Cukup lama ia menyelesaikan studi di ISI. Bertepatan anak kedua dan ketiganya lahir sehingga ia harus mengambil cuti dan menunda skripsinya yang separuh jalan. Namun pihak kampus memotivasinya agar menyelesaikan kuliahnya mengingat capaian akademiknya dianggap baik. Sebagai informasi, tahun-tahun tersebut pihak kampus ISI Yogyakarta gencar memanggil para mahasiswanya yang cuti untuk menyelesaikan studinya. Baru di tahun 2004 ia berhasil menyandang gelar sarjana S1 seni lukis.
Perjalanan hidup Justina berlanjut. Untuk mengamalkan ilmunya dan membantu memenuhi kebutuhan keluarga, selepas dari ISI atau tepatnya mulai 2003 ia menjadi pengajar melukis di beberapa sekolah dan les privat di Yogyakarta yang berlangsung cukup lama hingga 2014. Kesibukannya memang bertambah, tapi ia tetap tidak mampu membagi waktu melukis untuk dirinya sendiri. Hari-harinya berkubang dalam rutinitas mengajar dan mengurus rumah tangga.
*******
Momentum. Momentum menjadi hal penting buat seorang Justina. Ia tidak ingin kehilangan momentum dan berusaha menandai setiap momentum yang dialaminya. Baginya momentum-momentum yang berhasil ditandainya adalah ruang katarsis dirinya sambil menimang-nimang masa lalu sebagai persiapan dalam melangkah ke depan.
Justina gemar berada di keramaian. Ia mempunyai kebiasaan mengunjungi pasar tradisional yang menjadi tempat pavoritnya keluar dari rutinitas kesehariannya. Saking kerapnya, kegiatan mengunjungi pasar menjadi semacam ritual buatnya. Tidak lengkap hari-harinya jika tidak berkunjung ke pasar.
Dalam satu hari ia mengaku bisa bersafari ke beberapa pasar tradisional yang ada di Yogyakarta sekaligus. Tidak selalu bertujuan membeli barang. Sering ia hanya ingin menenggelamkan dirinya di keramaian pasar sembari mengamati tingkah polah manusia disana. Termasuk juga berbincang dengan para penjual, buruh gendong, penarik becak, tukang parkir dan pembeli adalah agendanya di pasar.
Selain berbincang atau sekedar menyapa, di pasar ia kerap membuat sketsa atau gambar apa saja yang menarik baginya di atas kertas sembarang yang ia temukan. Bisa kertas pembungkus barang/makanan, kertas nota pembelian dan kertas apa saja. Namun ia tak hendak menyimpan apalagi menjadikannya dokumentasi. Karena baginya tangkapan-tangkapan visual berupa sketsa atau gambar-gambar tersebut tidak lain sebagai upaya dirinya dalam memahami situasi. Setelah dirasanya cukup dinikmati gambar-gambar tersebut kemudian kerap dibuang atau dimusnahkannya. Hanya sedikit yang ia sisakan dan disimpan.
Justina berpandangan, dengan memperhatikan orang-orang yang begitu beragam di pasar, ia dapat membandingkan persoalan dirinya sendiri dengan persoalan orang lain dan belajar menyikapinya agar bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Memang demikianlah adanya, Dengan membuka mata terhadap permasalahan orang lain, kita akan mendapatkan pembanding. Jika sebelumnya kita merasa bahwa persoalan hidup kitalah yang terberat, bisa jadi setelah mengetahui persoalan orang lain kita mendapati betapa sebenarnya kita masih dipihak yang beruntung. Bisa jadi persoalan hidup kita bukan apa-apa.
Pameran tunggal ini seharusnya dilaksanakan tanggal 10 Mei 2020 yang lalu tepat dimana ia berulang tahun ke 50. Namun mengingat pada saat itu pandemi Covid 19 tengah panas-panasnya dan banyak aktifitas pameran ditangguhkan, Justina menunda pamerannya.
Momentum 50 tahun (saat ini ia berusia 51 tahun) dirasanya sebagai momen penting. Pada usia inilah ia memutuskan mewujudkan kegemaran masa kanak-kanaknya, yaitu melukis secara lebih intens. Ia berharap kedepannya dapat lebih aktif lagi dalam berkarya dan berpameran. Pameran tunggal pertama ini baginya sebagai titik awal untuk ambil bagian dalam seni lukis Yogyakarta serta mengobati kerinduannya berkarya.
******
Bahagia Itu Sederhana. ‘Bahagia’, sekalipun sama-sama urusan perasaan hati, ia berbeda dengan ‘senang’ atau ‘gembira’. Jika gembira biasanya hanya berlangsung pendek dan senang lebih sedikit panjang umurnya di atas bahagia, maka bahagia umumnya berlangsung panjang atau lebih lama lagi.
Rasa gembira biasanya berlangsung sesaat karena setelahnya orang bisa marah atau bersedih dengan cepat. Seperti seseorang yang gembira karena baru saja mendapatkan undian berhadiah dari sebuah produk makanan, namun sesaat kemudian ia bersedih karena ternyata hadiah yang dijanjikan ternyata bohong. Rupanya undian tersebut hanya akal-akalan produsen makanan tersebut agar produknya laku keras.
Perasaan senang sedikit berada di atas gembira. Seseorang yang merasa senang karena baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan yang diinginkannya. Ia senang karena sudah terpikir akan hari-harinya kemudian dan terbayang akan besaran gajinya nanti. Perasaan senang ini bisa berlangsung cukup lama sampai tiba saat bekerja ternyata hari-harinya cukup meletihkan. Belum lagi waktunya habis dengan kemacetan di jalan yang kian hari semakin padat saja. Rasa senangnyapun berkurang atau justru menghilang.
Berbeda dengan bahagia. Bahagia biasanya mengacu pada perasaan positif yang berlangsung cukup lama, bisa berhari-hari, berminggu-minggu, bulanan hingga tahunan. Dalam bahagia bukan tidak ada saat-saat sedih atau kecewa, namun ia akan mampu mengatasinya dan percaya bahwa kebahagiaannya akan tetap dapat dipertahankannya.
Ambil contoh misalnya, orang yang bahagia dengan pekerjaan barunya yang dirasakannya sudah sesuai dengan apa yang menjadi minatnya sejak remaja. Walaupun ketika menjalani ia sering kelelahan harus lembur dan berjibaku dengan kemacetan lalu lintas setiap hari, tetap tidak menghilangkan kebahagiaannya. Atau seseorang yang bahagia dengan perkawinannya dan kehadiran anak-anaknya. Sekalipun sering ada percekcokan dengan pasangannya dan rasa jengkel terhadap sikap anak-anaknya perasaan bahagia tidak dapat diabaikannya.
Sementara Aristoteles membagi bahagia dalam 2 hal: 1. Hedonia, yaitu rasa bahagia yang berakar dari hal menyenangkan. Umumnya berkaitan dengan perasaan yang muncul saat melakukan hal disukai, menyayangi diri sendiri, mewujudkan impian dan merasa puas. 2. Eudaimonia. Berakar dari tentang pencarian makna hidup. Komponen penting dalam hal ini adalah perasaan memiliki tujuan hidup dan nilai. Kaitannya sangat erat dengan pemenuhan tanggung jawab, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain dan menjalani hidup sesuai idealisme.
Karya-karya lukis dan drawing Justina yang dipamerkan dalam kesempatan ini secara umum memang nampak berusaha menampilkan dunia bahagia baik bahagia yang berakar dari hal menyenangkan hingga bahagia yang berakar dari pencarian makna hidup.
Boleh dikatakan lukisan dan drawing dalam pameran tunggal ini adalah semacam motivasi personal yang ia yakini dan berdasarkan penghayatan atas kehidupannya sendiri. Setidaknya dapat ditelisik dari pemilihan warna yang cenderung cerah; kuning muda, hijau, biru dan warna kulit manusia yang cerah. Wajah tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam keadaan tersenyum (atau berusaha tersenyum?). Dan adegan penggambaran tokoh-tokohnya dalam berbagai aktifitas sosial yang sering ditemui di masyarakat.
Lukisan berjudul “Akrobat”, cat akrilik di atas kanvas, 40x30 cm, 2021 secara gamblang menyiratkan itu. Lukisan berobjekkan seorang badut sirkus tengah bermain juggling berbagai benda ditangannya dari atas sepeda roda satu. Ada buku, kuas lukis, telenan untuk memasak, kaca hias, tas tangan perempuan dan botol susu bayi. Diatas kepalanya masih ada cangkir minuman dan tatakannya. Dan badut itu? Ia nampak tersenyum riang. Bukankah demikian tugas seorang badut?
Menurut Justina, badut itu adalah personifikasi dirinya. Badut, bagaimanapun kondisi hatinya, ia harus tetap menghibur, menunjukkan kegembiraan dan keterampilan dalam memainkan atraksi di hadapan penonton. Justina mengatakan: “Peran ibu dalam keluarga seperti badut sirkus. Susah senang harus terlihat ceria. Tertutup oleh polesan make up yang selalu terlihat tertawa ceria menghibur orang lain yang berarti menghibur diri sendiri juga”. Badut atau dirinya sendiri dalam lukisan tersebut harus tetap terlihat ceria dan cekatan dalam mengerjakan tugas sebagai istri dan ibu anak-anak, menjalankan kodrat sebagai perempuan kebanyakan dan mengambil hak sebagai individu mandiri (diwakili oleh benda-benda yang dimainkan oleh badut).
Dalam “Perkasa”, akrilik di atas kanvas, 50x50 cm, 2020 Justina berpendapat bahwa perempuan haruslah sosok yang perkasa, tangguh mengarungi samudra kehidupan (karena tugas-tugas rumah tangganya?) dan tetap bahagia menjalaninya. Ia melukiskan dua orang perempuan tengah berjuang mendayung perahu ditengah gemuruh ombak dan ikan-ikan yang berloncatan. Wajah perempuan tersebut nampak gembira, menepiskan segala ketakutan, keletihan dan keraguannya.
Yang cukup lucu adalah “Ada Apa Dengan Cinta”, akrilik di atas kanvas, 35x25,4 cm, 2020. Lukisan berlatar kuning tersebut menggambarkan sebuah keluarga; ibu, ayah dan anak. Sang ibu sangat besar dan gemuk sementara sang ayah terlihat kecil dan kurus.Anak perempuannya diantara keduanya. Keluarga tersebut nampak saling menyayangi. Cinta memang bukan masalah fisik belaka. Ada misteri yang tak terlihat dan hanya yang menjalaninya yang tahu.
Menurut Justina memelihara binatang kucing akan membangkitkan semangat hidup, karena kucing binatang tangguh yang akan terus bangkit setiap mengalami jatuh. Ia melukiskan sosok seorang perempuan yang suka cita memelihara kucing-kucingnya yang banyak. Sepertinya sang perempuan sangat menikmati kegiatannya. “Joanna dan Kucing Kesayangan”, akrilik di atas kanvas, 40x40 cm, 2021.
Nyaman itu tanda bahagia. Terlihat seorang anak perempuan tengah tertidur sambil memeluk kucing kesayangannya. Anak tersebut terlihat begitu nyaman, begitu juga kucingnya yang nampak tenang dipelukan tuannya. Memang kita sering menyaksikan betapa anak-anak nampak begitu nyaman dan bahagia dengan binatang piaraannya sehingga kerap dibawa tidur bersama. “Lelap”, akrilik di atas kanvas, 30x30 cm, 2021.
Sementara lukisan yang tampaknya merespon pandemi Covid 19. “Brokat Masker”, akrilik di atas kanvas, 50x50 cm, 2020. Tampak seorang perempuan bergaya mengenakan “masker fashion” terbuat dari kain brokat yang berenda tembus pandang. Sementara di belakangnya sederetan perempuan paramedis berbaju APD tertutup mengenakan masker medis. Fashion kadang mengalahkan logika kesehatan yang seharusnya diutamakan dalam menghadapi pandemi ini.
Melihat caranya melukis nampak ia tidak ada kesulitan sama sekali. Garis-garisnya luwes, lancar. Deformasi bentuk kekanakan dan warna cukup terolah. Penempatan figur-figurnya enak saja. Terlihat ilmu seni lukis yang pernah didapatnya di masa kuliah terterapkan.
Kedepan, finalis Philip Morris Indonesia Art Award tahun 1997 ini hanya perlu konsisten dan jangan sampai putus melukis. Melukis apa saja tidak perlu ada keraguan. Melukis apa yang disukai, apa saja yang dirasakan dan ingin diungkapkan.
Jika ada yang perlu dikritisi dalam pameran ini barangkali penggambaran beberapa figur yang gemuk, makmur nampak stereotif terpengaruh karya beberapa seniman lain yang kerap menggarap figur serupa, sebut saja contoh Arifien Nief dan Wahyu Gunawan dalam lukisan-lukisan awalnya. Mengapa simbol bahagia/makmur mesti identik dengan tubuh gemuk? Justina perlu lebih percaya diri dengan penggambaran bentuk figur yang fundamental miliknya.
Untuk melengkapi apa yang telah ditampilkan oleh Justina melalui karya-karyanya dalam pameran ini, perlu saya kutip beberapa kata bijak “Bahagia Itu Sederhana” yang banyak bertebaran di sekitar kita. Tidak perlu dipikirkan terlalu dalam. Cukup dinikmati dan diresapi saja:
“Bahagia itu…..sederhana. Tersenyumlah dan selalu bersyukur”.
“Bahagia itu mudah. Berpikirlah dan bertindaklah dengan sederhana”.
“Bahagia itu sederhana, sesederhana melihat orang yang kita sayangi bahagia”.
“Bukan kemewahan yang akan membuatmu bahagia. Tapi kesederhanaan yang akan membuatmu tampak istimewa”.
“Bahagia itu sederhana, bersyukur dengan apa yang kita miliki bukan dengan apa yang dimiliki orang lain”.
”Bahagia itu sederhana, hanya saja standar kebahagiaan kita yang terlalu tinggi makanya sulit bahagia”.
Bahagia itu sangat sederhana, selalu menghargai apa yang telah diraih walau sekecil apapun”.
Suryodiningratan, akhir April 2021
*****
TESTIMONI:
Bagi saya, pameran tunggal sahabat saya ini sangat surprise. Setelah sekian belas tahun tak terdengar aktivitas dalam pameran-pameran.
Bahkan saya sempat bertanya-tanya sendiri kemanakah gerangan Justina selama ini, ada apakah dengan kehidupan dan sekeliling Justina?
Dan hari ini terjawab sudah, tiba-tiba dia muncul lagi dengan penyegaran baru. Ya Justina telah kembali lagi kedunianya.
Karya-karya Justina ini seketika mengingatkan saya ke masa lampau saat kami masih berstatus mahasiswi ISI Yogyakarta, Jurusan Seni Rupa Murni, dimana seorang Justina memiliki semangat besar untuk membuat karya.
Melukis adalah salah satu kebahagiaan sejatinya.
Laksmi Sitaresmi
Justina Tri Sudjatmi, saya memanggilnya Mbak Yus. Salah satu dari lima perempuan yang waktu itu satu angkatan, jurusan seni murni, Seni Lukis ISI Yogyakarta.
Kami masuk ditahun 1994 bersama dengan 25 kawan seminat utama yaitu seni lukis.
Terakhir saya lihat karya Mbak Yus kisaran tahun 2000 pada pameran angkatan “PERTEMUAN 94” di Taman Budaya-Bulak Sumur Yogyakarta. Lama sudah saya tidak melihat karya-karyanya, sudah sekitar 20 tahun Saat ini Mbak Yus kembali berkarya dengan spirit baru.
Selamat berkarya, selamat berpameran, dan sukses selalu
Heri Purwanto
Kreativitas Justina
Catatan nama ini tidak begitu asing diingatanku “Justina,” seolah memoriku dibuka kembali diantara 1987-1989, dengan aktifitas kegiatan sketsa yang begitu kental dimalam hari.
Perempuan sendiri diantara teman-temannya yang kebanyakan laki-laki di SMSR, merupakan adik kelasku di SMSR.
Dua tahun selalu aktif berkegiatan sketsa dimalam hari, karena siangnya kita harus masuk sekolah.
Ada juga waktu yang cukup lama setelah kelulusanku dari SMSR dan Justina masihkah melanjutkan kegiatan sketsanya? Karena kesibukan tugas masing-masing kami jarang bertemu.
Talenta melukisnya tidak diragukan lagi, dengan prestasi kejuaraan lomba melukis yang sudah dicapainya.
Justina seangkatan dengan Erica dimasanya. Karya demi karya diciptakan dengan keriangan warna dan obyek-obyek keseharian yang biasa dilakoninya. Di SMSR selama 4 tahun, cukup tegas dan lantang untuk menentukan sebuah obyek dan permainan linier di lukisan dekoratifnya.
Perjalanan berlanjut saat masuk ISI Prodi Seni Lukis tahun 1994. Penggemblengan selama studi, karya Justina semakin terasah, intuisi terlatih, mengolah obyek, garis, bentuk, warna, dan teknik apapun.
Dipenghujung pameran Mei 2021 ini, terlihat jelas peningkatan dalam karyanya, ini berkat ketekunan dan daya juangnya untuk berkarya dengan sungguh-sungguh.
Sukses untuk sebuah prosesmu Justina..…hingga tercapainya pameran tunggalmu di Miracle Art Space.
Semangat tentunya! Ini sebuah awal melangkah untuk menuju agenda berkesenian dengan waktu yang panjang.
Yogyakarta, 27 April 2021
Klowor W