27 Desember 2021 - 10 Januari 2022
Bienal dan Presses
RMS menjelajah bienal/trienal seni grafis internasional hingga etching presses.
Reno Megy Setiawan aka. RMS dalam kurun 2011-2017 banyak mengikut sertakan karyanya dalam bienal/trienal seni grafis internasional di berbagai negara. Tidak kurang puluhan bienal/trienal seni grafis dunia bergengsi telah dijelajahinya antara lain: Macao Bienal di Macao China, Bangkok Print & Drawing Trienal di Thailand, Bienal Print ROC Taiwan, Bienal Krakow Polandia, Guanlan Print Biennale China, Kochi Print Biennale Japan, KIWA Japan, Bienal Varna Bulgaria, dan sebagainya.
Karya-karyanya pada waktu itu umumnya cukil kayu tidak hanya lolos sebagai finalis dan dipamerkan namun mampu meraih gelar bergengsi yaitu hadiah Print Terbaik di 4th Guanlan Print Biennale China 2013 dan Nagi Pal Prize pada 3th Graphic Art Biennial of Szeklerland, Romania 2014.
Alasannya menjajal even-even seni grafis dunia tersebut selain sebagai ajang membandingkan pencapaian karyanya sendiri dengan karya pegrafis luar, ia ingin agar ada perwakilan pegrafis Indonesia yang hadir di perhelatan-perhelatan tersebut. Ia ingin menunjukkan bahwa di Indonesia seni grafis juga bergeliat dan ada pegrafis aktifnya.
Memang, dibanding pegrafis di kawasan Asia lainnya seperti Thailand, Bangladesh, Korea, India, Jepang, China, Vietnam dan Philipina, nama pegrafis Indonesia relatif jarang/sedikit hadir di even-even seni grafis dunia. Entah mengapa. Sepertinya kebanyakan pegrafis Indonesia enggan bertarung dengan pegrafis luar. Mungkin merasa cukup nyaman dengan pencapaiannya sendiri atau mungkin memang merasa tidak memerlukan adanya perbandingan. Atau mungkin ada alasan lain?
Namun tidak bagi RMS, ajang seni grafis diluar negeri yang memang banyak itu pernah menjadi fokus utamanya dalam berkarya grafis.
RMS juga tipe seniman yang gemar bereksperimen teknik dan meminati hal teknik. Bermula dari keinginannya memiliki mesin etching press sendiri guna melancarkan kerja grafisnya namun untuk membeli jadi dirasakannya cukup mahal pada waktu itu.
Dibantu temannya yang memiliki bengkel kerja dan hasil browsing di internet ia kemudian membuat prototipe mesin etching press sendiri yang bisa digunakan bekerja. Mesin tersebut menggunakan perpaduan material besi dan kayu dan terlihat unik. Namun kemudian mesin tersebut diminati pegrafis lain yang juga membutuhkan mesin etching press hingga kemudian membelinya.
Sejak itulah karena banyaknya permintaan ditambah insting bisnisnya yang memang sudah ada sejak lama ia menyibukkan diri memproduksi mesin etching press dan berbagai peralatan lain seperti pisau engraving, burin, rocker, baren dan lain-lain guna berkarya grafis. Tercatat sudah puluhan pegrafis/kelompok dan lembaga kampus yang membeli pralatan grafis darinya yang dimata konsumen tersebut harganya cukup bersahabat untuk kantung pegrafis lokal.
Selain mendapatkan keuntungan finansial dari membuat dan menjual peralatan grafis apa sesungguhnya yang mendorong ia melakukan hal tersebut ?
Menurut pengakuannya, ia ingin seni grafis di Indonesia berkembang dan para pegrafis tidak kesulitan mendapatkan peralatan menggrafis.
Dari sini kita boleh berpendapat bahwa RMS adalah figur yang pantang menyerah di seni grafis. Sementara banyak pegrafis menyerah dan berpaling ke media lain namun RMS mampu melihat dan memanfaatkan celah yang dapat dieksplorasi dan membuahkan peluang buat dirinya. Berkiprah dalam even seni grafis internasional dan mengusahakan pengadaan peralatan menggrafis adalah peluang-peluang dalam seni grafis yang tidak banyak terpikirkan banyak pegrafis untuk menunjang aktivitas berkaryanya. Umumnya pegrafis akan memaksakan karyanya diserap pasar dan berusaha keras bersaing dengan pasar seni lukis yang sangat dominan. Hingga ketika pasar yang diharapkan tersebut belum atau tidak kunjung menghampirinya ia seakan dibutakan dan tidak mampu melihat peluang lain. Alih-alih mencari jalan bagaimana mensubsidi aktivitas berkarya grafisnya, yang terlihat di depan justru perlahan atau sesegera mungkin beralih media dan lambat laun melupakan mimpinya berkarya grafis.
Padahal keberadaan seorang pegrafis tidak ditentukan oleh faktor pasar semata namun lebih ditentukan oleh seberapa tangguhnya ia mampu konsisten berkarya dan apa saja upaya yang ia lakukan untuk itu.
RMS setidaknya hingga saat ini membuktikannya. Ia tetap berkarya dan membuka peluang-peluang yang tercipta oleh seni grafis itu sendiri.
ABU, karya super mini dan Pandemi
Melalui 50 cetakan super mini berteknik cetak tinggi dan intaglio di atas kertas RMS seakan ingin menunjukkan betapa seni grafis penuh potensi yang dapat dikerjakan. Sepanjang si pegrafis bersemangat dan tak kenal kata berhenti tentunya.
Image cetaknya berukuran terkecil 2,5 cm x 3 cm sampai ukuran terbesar tidak lebih dari 4 cm x 5 cm.
Bayangkan bagaimana mengerjakan pelat engraving dan etsa aquatint dengan torehan yang cukup rinci.
Sebagian adalah gambar potret tokoh-tokoh tertentu (terkait isu pandemi katanya) yang dibuat memanfaatkan garis torehan pisau engraving yang berbeda dengan pisau cukil kayu. RMS membuat sendiri pisaunya dan menggunakan potongan kayu yang juga ia usahakan sendiri.
Inilah upaya seniman Jogja kebanyakan. Semangat Do It by Yourself bukan hanya disebabkan ketiadaan bahan atau fasilitas saja, namun terlebih karena semangat mencari, mencoba, menemukan hal-hal unik di sekitarnya yang dapat dimanfaatkan.
Seni grafis yang dikenal cukup bergantung dengan peralatan khusus disatu sisi memunculkan keunikan tersendiri yang membuatnya berbeda dengan media senirupa lainnya. Namun di sisi yang lain kerap membuat ragu dan putus asa mereka yang ingin berkarya namun minim fasilitas. Disinilah kreatifitas dan semangat pegrafis diuji. Apakah ia akan menunda ide-idenya hingga fasilitas idealnya tercukupi yang entah sampai kapan, ataukah ia akan mencari dan mengusahakan sendiri dengan memanfaatkan hal-hal yang tersedia didekatnya yang dapat mensubstitusi yang tidak tersedia.
Masa pandemi yang tak kunjung selesai ini tentu membuat semua orang gusar, tak terkecuali RMS.
Ia yang ingin terus kreatif memilih bermain-main dengan gagasan betapa situasi pandemi menimbulkan berbagai pertanyaan, keraguan, ketakutan, kecurigaan, ketidakpercayaan, sikap apatis, pasrah menerima dan sebagainya dari masyarakat. Sikap tersebut terutama ditujukan kepada pihak berwenang yang memiliki otoritas menangani.
Sebetulnya ini hal yang logis saja mengingat daya tahan manusia terhadap sebuah situasi mengekang dan membingungkan ada batasnya sehingga memunculkan beragam spekulasi: Benarkah pandemi ini terjadi secara wajar? Siapakah yang paling diuntungkan dengan adanya situasi ini? Kapankah situasi ini akan berakhir? Siapa yang paling bertanggung jawab atas situasi ini?
Jika kita membaca berita yang beredar di media ada beragam pendapat, opini, spekulasi, teori mengenai pandemi Covid 19. Sebagai konsumen media, kita semua termasuk RMS tentulah memiliki sikap beragam pula.
Bukan soal apakah pendapat siapa yang benar dan pendapat siapa yang salah.
Pameran ABU oleh RMS kali ini menawarkan sikap khas seniman grafis.
Format karya yang kecil bahkan termasuk super kecil membutuhkan kecermatan khusus agar torehan-torehan di pelat tetap muncul ketika dicetak di kertas.
ABU yang dalam teori warna adalah warna antara putih dan hitam muncul lewat pigmen warna hitam yang tidak terlalu tajam. Apakah ini juga sikap RMS selama ini yang seakan berada di wilayah abu-abu.
Sekalipun gambar-gambar yang dibuatnya sepintas ingin mempertanyakan apa yang tengah terjadi di masa pandemi ini, namun jika dicermati potret-potret tersebut tidak menjadi verbal. Ia tetap menjadi lahan bermain garis, torehan dan gradasi warna untuk wujud yang artistik. Apalagi mengingat ukuran gambarnya yang super kecil. Ia menjadi seperti gumaman yang sesungguhnya tidak ditujukan ke siapa-siapa. Terkecuali buat dirinya sendiri. Untuk menuntaskan kegalauan dan kegelisahannya. Dan itu tersampaikan melalui berkarya grafis.
Ini menarik. ABU dalam gagasan RMS tidak sampai menjadi abu. Ia tidak sia-sia atau 'habis panggang menjadi abu'. Ia menjadi karya itu sendiri.
Mantrijeron, akhir Desember 2021.
Syahrizal Pahlevi